close
KalamResonansi

Menerapkan Protokol Kesehatan dalam Salat Berjamaah Tidaklah Menyelisihi Semangatnya Ulama Salaf

Menerapkan Protokol Kesehatan dalam Salat Berjamaah Tidaklah Menyelisihi Semangatnya Ulama Salaf

Ada sedikit faedah yang pernah saya pelajari soal fahmu as-salaf (pemahaman para salaf), yang itu dibagi menjadi dua. Pertama, fahmu as-salaf yang merupakan sesuatu yang pernah terjadi atau berlaku di kalangan as-salaf, kemudian dipraktikkan dengan persis pada zaman kita.

Kedua, fahmu as-salaf adalah sesuatu yang disepakati oleh para aimmatu as-salaf (para imam salaf) dari kaidah-kaidah dalam agama ini, walaupun itu sesuatu yang belum ada kejadian atau praktiknya pada zaman tersebut. Namun, kita tidak terhalangi untuk mempraktikkannya pada zaman sekarang, selama hal tersebut dibangun di atas hal yang disepakati oleh mereka (para ulama as-salaf).

Di antara kaidah yang makruf dalam agama bahwasanya agama itu dibangun untuk menciptakan maslahat dan menyempurnakannya serta menutup pintu kejelekan atau menyedikitkannya. Ini dibangun dari hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, laa dharara wa laa dhiraara ‘Jangan kamu memudaratkan dirimu dan jangan kamu memudaratkan orang lain’.

Hal itu juga berkaitan dengan tujuan syariat, hifzhu nafs (menjaga nyawa). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah tidak jadi masuk ke Makkah untuk tawaf demi menjaga nyawa, dan begitu juga hal-hal lainnya dari kaidah-kaidah yang makruf di sisi para ulama salaf.

Sekarang, ketika terjadi pandemi atau wabah, di sini kita sepakat untuk tidak bermudah-mudahan, tetapi juga tidak terlalu paranoid. Akan tetapi, sesuatu yang sifatnya standar atau jelas untuk menjaga nyawa, untuk menjaga kebaikan, dan untuk menutup segala pintu kemudaratan, maka kaidah tersebut berlaku di mana saja dan kapan saja. Walaupun, misalnya, pada zaman salaf terdahulu, mereka tidak pernah memakai masker atau menutup wajah atau yang semisalnya.

Wallahualam bissawab, virus itu terjadi dan menginfeksi dengan cara yang berbeda-beda. Penyebarannya dan penularannya itu berbeda-beda antara satu virus dan virus lainnya. Maka dari itu, tentu cara menyikapinya bisa berbeda-beda pula.

Ketika memang diketahui suatu virus, Covid-19 ini, misalnya, menyebar dengan cara tertentu dan para dokter telah berbicara bahwa solusinya adalah ini dan ini, kita mengikuti. Dengan itu, kita telah mempraktikkan kaidah yang dipegang oleh para salaf pula; adalah kaidah salaf bahwa kita harus mengembalikan sesuatu kepada ahlinya.

Maka dari itu, kalau dikatakan tidak ada salaf yang mengamalkan demikian—misalnya, memakai masker dan semisalnya atau menjarangkan saf saat salat—ya, kalaupun memang tidak ada dalam praktik, tetapi jelas ada dalam kaidah beragama para salaf.

Lagi pula, kalau kita telaah lebih jauh, apa yang telah kita praktikkan pada hari ini, misalnya soal merenggangkan saf saat salat berjamaah, bukanlah tidak ada contohnya sama sekali dari para ulama terdahulu. Ternukilkan dari Masaail Imam Ahmad yang diriwayatkan oleh Imam Abi Daud (rahimahullah), bahwa ketika Abi Daud bertanya pada Imam Ahmad (rahimahullah) tentang orang-orang yang salat berjamaah dalam satu perperangan; mereka salat di atas hewan kendara masing-masing dengan saling berjarak sampai dua atau tiga hasta dan tidak beraturan, dan Imam Ahmad ketika ditanya tentang hal itu, maka beliau berfatwa bahwa hal itu absah dan beliau menganggap itu tetap lebih utama daripada salat sendirian.

Dan, perihal keabsahan suatu ibadah, penting pula untuk dipahami, bahwa ibadah itu ada yang sifatnya ketika batal sebagiannya, batal seluruhnya. Ada pula yang sifatnya ketika sesuatu itu bisa dilakukan sebagiannya, jangan ditinggalkan yang sebagian itu. Misalnya, puasa; seseorang yang tidak mampu berpuasa, maka keseluruhan puasanya itu tergugurkan darinya. Namun, ada ibadah-ibadah ketika dia tidak bisa melakukan sebagiannya, dia jangan meninggalkan sebagian besar yang lainnya. Misalnya, salat, ketika dia tidak mampu berdiri, dia salat dalam keadaan duduk, ketika dia tidak mampu duduk, dia salat dalam keadaan berbaring, dan seterusnya. Berbeda dengan puasa, tidak ada puasa kalau tidak mampu puasa penuh.

Jadi, menerapkan prokes saat salat berjamaah sebagaimana hari ini banyak difatwakan oleh para ulama negeri Islam—termasuk ulama negeri haramain—dan juga pemerintah kaum muslimin, sama sekali tidak mengeluarkan kita dari koridor berpegang teguh pada manhaj salaf. Dan, penting untuk diingat, kembali kepada pemerintah dan ulama dalam masalah-masalah besar, juga merupakan kaidah yang diterapkan oleh para salaf. Dalam Al-Qur’an Allah dengan terang menyatakan,

وَاِذَا جَاۤءَهُمْ اَمْرٌ مِّنَ الْاَمْنِ اَوِ الْخَوْفِ اَذَاعُوْا بِهٖ ۗ وَلَوْ رَدُّوْهُ اِلَى الرَّسُوْلِ وَاِلٰٓى اُولِى الْاَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْۢبِطُوْنَهٗ مِنْهُمْ

Artinya: “Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya. (Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).…” (An-Nisa`: 83).

Maka hari ini, di tengah tumpah ruahnya informasi, yang kerap membuat kita bingung dalam menilai dan bersikap, maka kembali kepada ulil amri dan ulama adalah sikap terbaik. Itu penting untuk mencegah banyak mudarat dan perpecahan yang justru akan semakin melemahkan kita dalam menghadapi krisis wabah ini.

Dalam keadaan seperti sekarang ini, setiap kita hendaknya lebih berhati-hati dalam berpendapat dan memilih pendapat. Dan memang untuk perkara-perkara baru yang menyangkut perkara besar dalam agama, tidak semua individu—yang meskipun dikenal dengan latar belakang ilmu agamanya—dapat begitu saja berpendapat di hadapan publik.

Masyhur bagi kita sebuah atsar, bagaimana Abu Musa Al-Asy`ari, ketika menemui suatu praktik ibadah yang tak lazim pada masyarakat Islam zamannya—satu bentuk praktik zikir yang baru—ia tidak serta merta mengingkari. Saat itu, Ibnu Mas`ud, sahabat Rasulullah yang dikenal kefakihannya masih hidup. Abu Musa merasa bahwa Ibnu Mas`ud lebih punya otoritas untuk memberikan pandangan soal perkara baru itu, datanglah Abu Musa kepada Ibnu Mas`ud untuk menanyakan tentang perkara itu. Dan Ibnu Mas`ud-lah yang kemudian dengan tegas mengingkarinya.

Hari ini, berbagai perdebatan terjadi soal penerapan protokol kesehatan saat salat berjamaah, dan itu agaknya karena memang kita kurang sedia untuk memahami dan menerapkan kaidah-kaidah beragama yang secara terang sudah berlaku sejak zaman ulama salaf. Padahal, dengan kita memahami dan menerapkan kaidah-kaidah itu, akan mudah bagi kita untuk menjalani amaran yang diseru oleh ulama dan umara, demi maslahat bersama. Allahu a’lam bish shawab.

Penulis: Ustaz Harits Abu Naufal
Editor: Teuku Zulman Sangga Buana

Tags : covidsalafwabah

The author Redaksi Sahih

2 Comments

  1. Jazakumulloh Khoir ustadz atas ilmunya.. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat.. Aamiin

Leave a Response