close
Opini

Jihad Pada Abad ke-21: Jihad Ilmu Pengetahuan (Bagian Pertama)

Jihad Pada Abad ke-21: Jihad Ilmu Pengetahuan

Pendahuluan
jihad di jalan Allah termasuk seutama-utamanya pendekatan kepada Allah Ta’ala dan ketaatan paling agung. Bahkan, jihad adalah suatu amalan taqarrub paling utama yang dilakukan oleh orang-orang yang ingin mendekatkan dirinya kepada Allah dan telah berlomba-lomba orang-orang yang berlomba tentangnya sesudah perkara-perkara yang wajib.

Diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Mas’ud rodhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata, aku bertanya kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam,1

سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ: اَلصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا، قَالَ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: بِرُّالْوَالِدَيْنِ،قَالَ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: اَلْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ

Amal apakah yang paling dicintai Allah?’ Beliau menjawab, ‘Shalat pada waktunya. “Lalu apa lagi?’ Tanyaku. Beliau menjawab, ‘Berbakti kepada kedua orang tua.” Lebih lanjut, kutanyakan, ‘Lalu apa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Jihad di jalan Allah.”

Kedudukan jihad di dalam ajaran Islam merupakan tulang punggungnya, telah digambarkan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,2

رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلَامُ وَعَمُوْدُهُ الصَّلَاةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْـجِهَادُ فِـي سَبِيْلِ اللهِ

Pokok dien (agama) ini adalah Islam, dan tiangnya adalah shalat, sedang ujung tulang punggungnya adalah jihad fi sabilillah.

Keutamaan jihad sebagai suatu perniagaan yang Allah telah tunjukkan bisa menyelamatkan dari azab yang pedih, memperoleh ampunan atas dosa-dosa kita, sebab yang memasukkan ke dalam surga, mendapatkan tempat tinggal yang baik di surga ‘Adn, semuanya itu merupakan kemenangan yang agung (Surah ash Shoff ayat 10—12).

Kedudukan orang-orang yang berjihad teramat tinggi di surga, begitu juga di dunia. Mereka mulia di dunia dan di akhirat. Sebagaimana Allah Subhaanahu wa Ta’ala menyatakannya di firman-Nya surah at Taubah ayat 20—22,

ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَهَاجَرُوا۟ وَجَٰهَدُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ بِأَمْوَٰلِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِندَ ٱللَّهِ ۚ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَآئِزُونَ (٢٠) يُبَشِّرُهُمْ رَبُّهُم بِرَحْمَةٍ مِّنْهُ وَرِضْوَٰنٍ وَجَنَّٰتٍ لَّهُمْ فِيهَا نَعِيمٌ مُّقِيمٌ(٢١) خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدًا ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عِندَهُۥٓ أَجْرٌ عَظِيمٌ(٢٢))

Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan” (ayat 20) “Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat dari pada-Nya, keridhaan dan surga, mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal”, (ayat 21) “mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (ayat 22)

Kemuliaan orang-orang mukmin yang berjihad di jalan Allah adalah karena mereka telah menjual diri dan harta mereka kepada Allah dengan imbalan surga. Termaktub firman-Nya di dalam surah at Taubah ayat 111,

إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْداً عَلَيْهِ حَقّاً فِي التَّوْرَاةِ وَالْأِنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.

Jihad dalam bentuk berperang di jalan Allah (al qitaal fi sabilillah) itu diperintahkan sebagai suatu kewajiban oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam setiap keadaan, seperti yang Allah nyatakan di dalam firman-Nya pada surah at Taubah ayat 41,

انْفِرُوا خِفَافاً وَثِقَالاً وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Berangkatlah kamu, baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”

Makna ayat ini, bahwasanya semua orang diperintah untuk berangkat, baik bergerak ringan maupun berat.3 Entah, orang-orang yang beriman di dalam keadaan kaya atau miskin, masih muda atau sudah tua, orang kuat ataupun orang lemah.

Baik ia seseorang yang memiliki kesibukan atau tidak memiliki kesibukan, mempunyai kegiatan ataupun tidak memiliki kegiatan, sudah berkeluarga atau belum berkeluarga, menyimpan tanah yang sedang dikerjakan atau tidak mempunyai tanah, pemberani ataupun pengecut dan seterusnya.

Ketika kaum muslimin meninggalkan kewajiban untuk berjihad tanpa udzur syar’I, maka hanyalah kehinaan yang menimpa mereka sebagaimana diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,4

إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرَعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ، سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوْا إِلَى دِيْنِكُم

“Apabila kalian telah berjual beli dengan cara ‘inah, dan kalian telah disibukkan memegang ekor-ekor sapi, dan telah ridha dengan bercocok tanam dan juga kalian telah meninggalkan jihad, niscaya Allah akan kuasakan (menimpakan) kehinaan kepada kalian, tidak akan dicabut kehinaan tersebut hingga kalian kembali kepada (dien) agama kalian.”

Kewajiban Jihad
Hukum jihad telah dibahas, diuraikan dan disepakati oleh para ulama. Apabila belum ada yang melaksanakan jihad, hukum jihad adalah fardlu kifayah, yaitu ia diwajibkan atas seluruh umat Islam. Namun, jika sudah ada sekelompok orang yang mencukupi untuk menegakkannya maka gugurlah kewajiban tersebut bagi yang lainnya (QS at Taubah ayat 122).

Jihad menjadi fardlu ‘ain atas setiap muslim yang mampu dalam beberapa situasi dan kondisi, yaitu (1) jika sudah berada di medan pertempuran dan telah berhadapan-hadapan di antara dua kelompok, maka haram bagi seorang muslim untuk berpaling dari medan pertempuran, kecuali ada udzur syar’i, (2) musuh (orang kafir) telah mengepung ataupun menyerang negeri (kaum muslimin), maka tiap individu harus memeranginya maupun mempertahankannya, (3) apabila seorang Imam (pemimpin) kaum muslimin telah meminta atau menugaskan untuk berangkat berjihad, maka harus melaksanakan jihad bersama Imam (QS at Taubah ayat 38) dan hadist nabi, “…Apabila kalian semua diminta berangkat (untuk jihad) maka berangkatlah” (HR. Muttafaqun Alaihi).5

Mengenai sebab disyariatkan jihad, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama. Sebagian ulama berpandangan bahwa jihad disyariatkan karena ia adalah suatu jalan dari beragam jalan untuk menyeru kepada Islam, atas dasar ini maka orang-orang nonmuslim harus beragama dengan ajaran Islam baik secara sukarela dengan hikmah (ilmu/kebijaksanaan) dan pengajaran yang baik, maupun terpaksa dengan jalan peperangan dan jihad.

Yang berpandangan lain, ini pendapat jumhur ulama, sesungguhnya jihad disyariatkan untuk menjaga dakwah Islam dan membela kaum muslimin dari musuh, maka barang siapa yang belum menjawab dakwah Islam sepanjang tidak menolak/memerangi dakwah serta tidak memulai penyerangan terhadap kaum muslimin, maka tidak halal adanya peperangan, tidak pula menggantikan rasa aman dengan ketakutan.6

Beberapa uraian di atas menjelaskan konsep jihad dalam artian, jihad adalah ajakan kepada dien (agama) yang haq dan memerangi dengan harta dan jiwa terhadap orang yang tidak menerima ajakan kebenaran (menurut Hanafiyah), memerangi orang-orang kafir untuk menolong Islam (menurut Syafi’iyyah) dan menghabiskan segenap daya dan kemampuan di dalam memerangi orang-orang kafir dan memerangi mereka dengan menggunakan harta, jiwa dan lisan.7

Alasan (tujuan) dari disyariatkan jihad telah diterangkan oleh Allah dalam surah al Baqarah ayat 193,

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ ۖ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ

Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.”

Perintah untuk memerangi orang-orang kafir (حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ) sehingga tidak ada lagi fitnah, maksudnya adalah tidak ada lagi kesyirikan. Demikian yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas, Abul ‘Aliyah, Mujahid, al Hasan al Bashri, Qatadah, ar Rabi’ bin Anas, Muqatil bin Hayyanas Suddi, dan Zaid bin Aslam.

(وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ) maksudnya, sehingga agama Allah Ta’ala benar-benar nampak dan unggul di atas semua agama yang ada. Allah Ta’ala berfirman kepada nabi-Nya, Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan perangilah orang-orang musyrik yang mereka memerangi kamu (حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ),” yakni: sehingga tidak ada kesyirikan bagi Allah, dan hingga tidak ada yang diibadahi suatupun dari selain-Nya, serta menanggalkan peribadahan kepada patung-patung dan berhala, tuhan-tuhan dan tandingan-tandingan (Allah), serta menjadikan ibadah dan ketaatan hanya bagi Allah semata.

Dari Rabi’ tentang (وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ), ia berkata, “Sehingga tidak diibadahi selain Allah, dan itulah Laa Ilaaha illallah, karenanya nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam berperang dan kepada (tauhid) beliau menyeru, maka bersabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,8

أمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَمَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَقَدْ عَصَمَ مِنِّي مَالَهُ وَنَفْسَهُ إِلَّا بِحَقِّهِ وَحِسَابُهُ عَلَى اللَّهِ

Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengatakan Laa Ilaaha illallah. Apabila mereka mengatakannya, maka terpeliharalah darah dan harta mereka dariku, kecuali dengan haknya dan hisab (perhitungan) mereka terserah kepada Allah.”9

Surat al Baqoroh ayat 193 dan hadits tersebut di atas menunjukkan bahwa sesungguhnya alasan peperangan adalah kekufuran, karena firman-Nya (حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ) yaitu kufur, maka dijadikan tujuannya adalah tidak adanya kekufuran.

Telah berkata Ibnu Abbas, Qotadah, Rabi’, as Suddi, dan selain mereka bahwa al fitnah di sini adalah kesyirikan dan apa pun yang mengikutinya berupa mengganggu orang-orang yang beriman.10

Dan firman Allah (فَإِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ), “Jika mereka berhenti (memusuhimu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.” Allah Ta’ala memerintahkan, jika mereka telah menghentikan perbuatan berupa kesyirikan dan pembunuhan terhadap orang-orang mukmin, maka berhentilah menyerang mereka.

Dan orang yang tetap memerangi mereka setelah itu, maka ia termasuk orang-orang yang zalim, dan tidak ada lagi permusuhan, kecuali terhadap orang-orang yang zalim. Inilah makna ungkapan Mujahid, bahwa tidak dibolehkan bagi seseorang untuk memerangi orang lain kecuali terhadap orang-orang yang memeranginya.11

Alasan jihad dalam artian perang di jalan Allah adalah untuk memerangi orang-orang yang memerangi orang-orang yang beriman sebagaimana firman Allah di dalam surat al Baqoroh ayat 190,12

وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kalian), maka tidak ada permusuhan (lagi) kecuali terhadap orang-orang yang zalim.”

Mengenai ayat ini, Abu Ja’far ar Razi meriwayatkan dari ar Rabi’ bin Anas, dari Abul ‘Aliyah, ia mengatakan, “Ini adalah ayat pertama yang Allah turunkan tentang perang di Madinah. Setelah turunnya ayat ini, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam memerangi orang-orang yang telah memerangi beliau dan menahan diri dari orang-orang yang tidak memerangi beliau hingga turun surat at Taubah. Demikian pula pendapat Abdurrahman bin Zaid bin Aslam hingga ia mengatakan bahwa ayat ini dihapus dengan surah at Taubah ayat 5,

فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ

Maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kalian jumpai mereka.”

Akan tetapi, pendapat ini masih perlu ditinjau kembali, mengingat firman-Nya (الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ) “Orang-orang yang memerangi kalian.” (Surat al-Baqarah ayat 190). Sesungguhnya makna ayat ini merupakan penggerak dan pengobar semangat untuk memerangi musuh-musuh yang bertujuan memerangi Islam dan para pemeluknya. Yaitu, sebagaimana mereka memerangi kalian, maka perangilah mereka oleh kalian. Seperti makna yang terkandung di dalam firman-Nya,

وَقاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَما يُقاتِلُونَكُمْ كَافَّةً

Dan perangilah kaum musyrik itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kalian semuanya” (at-Taubah: 36).

Terdapat ayat dan hadits yang menunjukkan secara eksplisit atas wajibnya berjihad terhadap orang-orang kafir dan musyrik dan memerangi mereka, namun itu semua sesudah menyampaikan dan mengajak mereka ke dalam Islam kemudian mereka justru memerangi Islam dan kaum muslimin bahkan hingga mengusir dari negeri-negeri umat Islam. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,13

لَا تُقَاتِلْ قَوْمًا حَتَّى تَدْعُوَهُمْ

Janganlah engkau perangi suatu kaum sampai engkau mendakwahkan mereka (untuk masuk ke dalam Islam).”

Kewajiban bagi kaum muslimin untuk memulai berdakwah sebelum perang, didasarkan pada hadits yang diriwayatkan dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata,14

Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam jika mengangkat komandan tentara atau angkatan perang, beliau memberikan wasiat khusus agar bertaqwa kepada Allah dan berbuat baik kepada kaum muslimin yang menyertainya. Kemudian beliau bersabda, ‘Berperanglah atas nama Allah, di jalan Allah, perangilah orang yang kufur kepada Allah. Berperanglah, jangan berkhianat, jangan mengingkari janji, jangan memotong anggota badan, jangan membunuh anak-anak. Jika engkau bertemu musuhmu dari kaum musyrikin, ajaklah mereka kepada tiga hal. Bila mereka menerima salah satu dari ajakanmu itu, terimalah dan jangan apa-apakan mereka, yaitu: ajaklah mereka memeluk agama Islam, jika mereka mau, terimalah keislaman mereka; kemudian ajaklah mereka berpindah dari negeri mereka ke negeri kaum muhajirin, jika mereka menolak, katakanlah pada mereka bahwa mereka seperti orang-orang Arab Badui yang masuk Islam, mereka tidak akan memperoleh apa-apa dari harta rampasan perang dan fai’ (harta rampasan tanpa peperangan), kecuali jika mereka berjihad bersama kaum muslimin. Bila mereka menolak (masuk Islam), mintalah mereka agar membayar upeti. Jika mereka menyetujui, terimalah hal itu dari mereka. Lalu, bila mereka menolak, mintalah perlindungan kepada Allah dan perangilah mereka. Apabila engkau mengepung penduduk yang berada dalam benteng dan mereka mau menyerah jika engkau memberikan kepada mereka tanggungan Allah dan Rasul-Nya, maka jangan engkau lakukan, namun berilah tanggungan kepada mereka. Karena sesungguhnya jika engkau mengurungkan tanggunganmu adalah lebih ringan daripada engkau mengurungkan tanggungan Allah. Apabila mereka menginginkan engkau memberikan keamanan atas mereka berdasarkan hukum Allah, jangan engkau lakukan. Tetapi lakukanlah atas kebijaksanaanmu sendiri, karena engkau tidak tahu, apakah engkau tepat dengan hukum Allah atau tidak dalam menetapkan hukum kepada mereka.’”

Menurut Imam al Baghawi di dalam hadits ini terdapat dalil untuk tidak memerangi orang-orang musyrik, melainkan sesudah menyeru mereka kepada Islam. Berkata Imam Malik, “Mereka (kaum musyrik) tidak diperangi sehingga mereka diajak dan dipanggil (kepada Islam). Adapun orang yang belum sampai kepadanya dari kalangan orang kafir yang jauh daerahnya, terisolir tempatnya, maka sesungguhnya tidak diperangi sampai ia diajak kepada Islam. Sekiranya terbunuh salah satu diantara mereka sebelum adanya dakwah maka wajib di dalam perkara ini, kaffarat dan diyat.”15

Berkata penulis al Ahkaam al Sulthoniyyah,16“Dan barangsiapa yang belum sampai kepada mereka dakwah Islam, haram bagi kita mendahulukan memerangi mereka secara tidak terduga-duga dan malam hari dengan pembunuhan dan pembakaran, dan haram untuk kita mengawali mereka dengan peperangan sebelum menampakkan dakwah Islam bagi mereka serta pemberitahuan untuk mereka dari mukjizat kenabian dan kecemerlangan argumentasi dengan hal-hal yang dapat membimbing mereka untuk menjawab (seruan Islam)”

Pada prinsipnya, jihad dalam artian perang tidak lain adalah untuk menolong orang-orang yang beriman, meninggikan kalimat dien, menekan orang-orang kafir dan munafik, memudahkan penyebaran dakwah Islam di seluruh alam, mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya, mempromosikan keindahan-keindahan Islam dan hukum-hukumnya yang penuh keadilan di tengah umat manusia seluruhnya, dan sebagainya dari berbagai kemaslahatan dan akibat-akibat yang terpuji bagi kaum muslimin.

Terkait dengan jihad, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling tinggi derajatnya dalam jihad. Beliau telah berjihad dalam segala bentuk dan macamnya. Beliau berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad, baik dengan hati, jiwa, dakwah, keterangan (ilmu), pedang dan senjata. Semua waktu beliau hanya untuk berjihad, dengan hati, lisan dan tangan beliau. Oleh karena itu, nama beliau amat tinggi diantara manusia dan kedudukan beliau paling agung di sisi Allah.

Allah memerintahkan beliau untuk berjihad semenjak beliau diutus, firman Allah,

وَلَوۡ شِئۡنَا لَبَـعَثۡنَا فِىۡ كُلِّ قَرۡيَةٍ نَّذِيۡرًا فَلَا تُطِعِ الۡكٰفِرِيۡنَ وَ جَاهِدۡهُمۡ بِهٖ جِهَادًا كَبِيۡرًا

Dan andaikata Kami menghendaki, benar-benar Kami utus pada tiap-tiap negeri seorang yang memberi peringatan (rasul). Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan al Qur’an dengan jihad yang besar” (al-Furqon ayat 51—52).

Surat ini termasuk surat Makiyah yang di dalamnya terdapat perintah untuk berjihad melawan orang-orang kafir dengan hujjah (argumentasi) dan keterangan serta menyampaikan Al-Qur’an.

Demikian juga, jihad melawan orang-orang munafik dengan menyampaikan hujjah karena mereka sudah ada dibawah kekuasaan kaum muslimin, Allah Ta’ala berfirman,

يٰۤاَيُّهَا النَّبِىُّ جَاهِدِ الۡـكُفَّارَ وَالۡمُنٰفِقِيۡنَ وَاغۡلُظۡ عَلَيۡهِمۡ‌ؕ وَ مَاۡوٰٮهُمۡ جَهَـنَّمُ‌ؕ وَبِئۡسَ الۡمَصِيۡرُ‏‏

Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahannam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya” (at-Taubah ayat 73).

Jihad melawan orang-orang munafik (dengan hujjah) lebih sulit daripada jihad melawan orang-orang kafir (dengan pedang), karena (jihad dengan hujjah) adalah jihad orang-orang khusus saja dan para pewaris nabi (yaitu ulama).

Yang bisa melaksanakannya, yang ikut serta dan membantu mereka adalah sekelompok kecil dari manusia, maka mereka adalah orang-orang termulia di sisi Allah. Termasuk semulia-mulianya jihad adalah mengatakan kebenaran (qaul al haqq) meski banyak orang yang menentang dengan keras, seperti menyampaikan kebenaran kepada orang yang dikhawatirkan gangguannya.

Oleh karena inilah, para rasul sholawatullahi ‘alaihim wa salaamuhu tergolong yang paling sempurna, dan Nabi kita sholawatullahi wa salaamuhu ‘alaihi termasuk dalam jihad yang paripurna.17

Secara terminologi syar’i, jihad adalah mencurahkan kesungguhan di dalam memerangi orang-orang kafir. Diistilahkan juga untuk mujahadah nafsi (jihad hawa nafsu), jihad melawan setan dan jihad terhadap orang-orang fasik.

Adapun jihad mengalahkan hawa nafsu meliputi mempelajari perkara-perkara dien, mengamalkannya kemudian mengajarkannya. Adapun jihad melawan setan, yaitu menolak syubhat dan tipuan hiasan syahwat. Adapun jihad memerangi orang-orang kafir dilakukan dengan tangan, harta, lisan, dan hati, sedangkan jihad menghadapi orang-orang fasik, maka pertama dengan tangan, lalu dengan lisan, selanjutnya dengan hati.18

Jihad nafs terdiri dari 4 (empat) tingkatan. Pertama, berjihad dalam mempelajari petunjuk dan dien yang benar, di mana tidak akan ada kemenangan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat, kecuali dengannya. Barangsiapa yang ketinggalan ilmu dien, maka dia akan sengsara di dunia dan di akhirat.

Kedua, berjihad dalam mengamalkan ilmu yang telah dia pelajari, karena ilmu tanpa diamalkan, jika tidak me-mudharat-kannya, minimal ilmunya tidak bermanfaat. Ketiga, berjihad dalam dakwah (menyeru manusia) kepada ilmu tersebut dan mengajarkannya kepada yang tidak tahu. Jika tidak, maka dia termasuk orang yang menyembunyikan ilmu yang telah diturunkan Allah dari petunjuk dan penjelasan, serta tidak akan bermanfaat ilmunya dan dia tidak akan selamat dari adzab Allah. Keempat, berjihad dalam bersabar menghadapi kesulitan di jalan dakwah dan gangguan manusia, serta ia menyerahkan semuanya itu karena Allah.

Jika seorang hamba telah menyempurnakan keempat tingkatan ini, maka dia tergolong robbaaniyyiin (orang-orang robbani). Para salaf dahulu telah sepakat bahwa seorang ‘alim (berilmu) tidak bisa dikatakan robbani hingga dia mengetahui kebenaran, lalu mengamalkan dan mengajarkannya. Barangsiapa yang mengetahui (kebenaran) lalu dia mengamalkan dan mengajarkannya, maka dia akan tersanjung di kalangan para penghuni langit.19

Penulis: Dr. Tjahjo Suprajogo, Msi
Judul Asli: “Jihad Abad 21: Jihad Ilmu Pengetahuan (Bagian 1 dari 3 Bagian)”.
Sumber: Kipmi.or.id

 

Daftar Rujukan

1.Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al Bukhari, ”al Jaami as Shahih al Bukhari”, Juz 2, Kitab al Jihad wa Siyar, Bab Fadhlu Jihad wa Siyar, Hadits No. 2782, Cetakan Mathba’ah Salafiyah wa Maktbatuha, Mesir, hal. 301
Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma di dalam ath Thabrani dan Sunan at Tirmidzi, Kitab al Iman
3. Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr al Qurthubi, “ al Jaami’ li Ahkaam al Qur’an”, Juz 10, Mu’asassah ar Risalah, Birut, Libanon, Cetakan Tahun 2006, hal.220-225, Imaduddin Abi al Fida’ Ismail Ibn Katsir ad Dimasyqy,”Tafsir al Qur’an al Azhiim,” Jilid 7, Mu’asassah al Qurthubah,Mesir, Cetakan Tahun 2000, hal. 206-209, Abi Ja’far Muhammad bin Jarir at thobary,”Jaami al Bayaan ‘an Ta’wil Ay al Qur’an”, Juz 11, Hajr li Thoba’ah wa Nasyr, Dar Hajr, Cetakan 2001, hal.468-476
4. Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 3003 dalam kitab al-Buyu’, bab “an-Nahyu ‘anil ‘Inah” dan al- Imam Ahmad (2/28),asy-Syaikh al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini sahih dalam kitabnya Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no.11
5. Dr. Wahbah Zuhaily, “al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu”, Juz 6, Bab ke-4, al Jihad wa Tawaabu’uhu, Dar al Fikr li at Thoba’ah wa at Tauzi’ wa Nasyr, Damsyiq, Cetakan Ke-2, Tahun 1985, hal. 411-417; Syekh Abdul Aziz bin Baz,” Fadlu al Jihad wa al Mujaahidin”, ar Ri’asah al ‘Ammah li Idarah al Buhuts al Ilmiyah wa al Ifta wa ad Dakwah wa al Irsyad, Riyadh, Mamlakah Arabiyah Su’udiyah, Tahun 1990, hal. 7-8,
6. Syekh ‘Adil Ahmad Abdul Maujud dkk,”Takmilatu al Majmu Syarah al Muhadzdzhab li al Imam asy Syairazi”, Jilid 24,Dar al Kutub al Ilmiyyah, Beirut, Libanon, hal.113-119, baca selengkapnya
7. Dr. Wahbah Zuhaily, Op.cit., hal.413-414
8. Ibnu Jarir at Thobary, Op.Cit., Juz 3, hal. 299-301
9. Imam Bukhari, Op.Cit., Juz 1, Kitab al Iman, Bab Fain Taabu wa Aqaamu as Sholat wa Aatawu az Zakat Fakhallu Sabiilahum, Hadits No. 25,
10. al Qurthuby, Op.Cit., Juz 3, hal,246-247
11. Ibn Katsir, Op.Cit., Juz 2, hal.217-218;
12. Ibn Katsir, Op.Cit., Jilid 1, Terbitan Dar al Fikr, Cetakan Tahun 1992, hal. 281-282
13. Lihat Silsilah al-Ahaadiits as-Shahiihah (no. 2641).
14. Abi al Husaini Muslim bin al Hajjaj al Qusyairiy an Naisabury,”Shahih Muslim”, Juz 2, Kitab al Jihad wa Siyar, Bab Ta’mir al Imam al Umara ‘ala al Bu’uts wa Washiya Iyyahum bi Aadab al Ghozwi wa Ghoiriha, Terbitan Dar al Fikr, Beirut, Libanon, Tahun 1988, Imam al Husain bin Mas’ud al Baghawi, “Syarhu as Sunnah”, Juz 11, al Maktab al Islamiy, Beirut, Libanon, Cetakan 3, Tahun 1983, hal.5-6; lihat juga Sayyid Sabiq,”Fiqh as Sunnah”, Jilid 3, Wujub ad Da’wah Qobla al Qitaal,
15. al Baghawi, Op.Cit., hal. 7-8
16. Baca di dalam Sayyid Sabiq, Op.Cit., hal. 99
17. Kutipan dari Imam Syamsuddin Abi Abdillah Muhammad bin Abi Bakr az Zar’i (Ibnu Qoyyim al Jauziyah,”Zadul Ma’ad fi Hadyi Khoiri al ‘Ibad”, Juz 3, Mu’asassah ar Risalah, Birut, Libanon, Cetakan Tahun 2000, hal.5
18. Hafizh Ahmad bin Ali bin Hajar al ‘Asqalany, ”Fathu al Baary bi Syarah Shahih al Bukhary”, Ta’liq Muhimmah Syekh Abdurrahman bin Nashir al Barrak, Jilid 7, Kitab al jihad wa Siyar, Terbitan Dar Thoyyibah li an Nasyr wa at Tauzi’, Riyadh, Saudi Arabia, Cetakan Pertama Tahun 2005, hal.38; lihat juga Ibnu Qoyyim al Jauziyah, Op.Cit.hal.6-10
19. Ibnu Qoyyim al Jauziyah, Ibid., hal. 9

Tags : amaldakwahilmujihad

The author Redaksi Sahih

Leave a Response