close
Opini

Ironi Kehidupan Guru: Potret Suram Para Pahlawan

Sumber Foto: Pixabay

Surakarta, 100 hari pasca-tunainya proklamasi 76 tahun silam. Dalam sidang perdana, setelah terhenti pada masa penjajahan Jepang, PGI (Persatuan Guru Indonesia) sepakat pada satu hal untuk menghapus segala bentuk persatuan guru yang berdiri atas dasar kelompok dan demi Indonesia yang lebih baik, mereka membentuk persatuan baru yang universal melingkupi seluruh guru di segala penjuru Indonesia (baca: PGRI). Maka dari itu, hari itu diperingati hingga kini sebagai hari guru nasional, peringatan yang tak ubahnya peringatan-peringatan lainnya, hanya seremoni tanpa isi dan arti.

Dewasa ini, tak jarang memang kita mendengar atau membaca tentang betapa bejatnya oknum guru, dari berita tentang pencabulan, kekerasan, pemerasan, suap jabatan, hingga korupsi, kolusi dan nepotisme yang semuanya dilakukan oleh orang yang seharusnya digugu dan ditiru.

Namun, media dengan segala kepentingannya selalu saja berat sebelah, berita tentang keburukan guru kerap kali lebih berat, sering tak berimbang dengan kebaikannya. Padahal, di banyak tempat, yang sering kali tidak diekspos oleh media, guru acap kali berkorban lebih, bahkan lebih daripada kepada dinas pendidikan.

Pada dua dasawarsa lalu, guru, entah apa pun jenjang dan bidang ilmu yang diampunya masihlah dimuliakan dan dihargai, khususnya oleh masyarakat. Sementara itu, di lingkungan pendidikan (sekolah dan universitas), siswa dan mahasiswa senantiasa diarahkan agar bersikap sopan dan penuh hormat kepada mereka.

Namun, kian kemari sikap tersebut kian tergerus. Moral dan karakter peserta didik tereduksi hebat, guru yang dihormati dan disegani tak jarang justru di-bully dan digugat, bahkan sering juga dimaki dan dikasari. Pelakunya bukan hanya para murid, wali murid pun turut serta. Mereka tidak terima anak-anak baik budi mereka sedikit dimarahi atau “dipukul” dengan sebilah rol di sekolah. Padahal di sekolah, anak-anak baik budi mereka menjelma nakal dengan sempurna.

Guru sebagai Fondasi Utama Peradaban

Syahdan, pada suatu hari A’masy sedang mengajar sekelompok anak-anak, kemudian seorang bertanya tentang mengapa seorang A’masy yang masyhur mengajar sekelompok anak-anak, dengan tegas A’masy menjawab, “merekalah yang akan menjaga agama kamu nantinya”. Mungkin, barangkali dalam konteks kebangsaan bisa dimaknai bahwa merekalah (anak-anak) yang akan menjaga bangsa ini ke depannya, dan mengajar mereka (yang menjaga bangsa ini ke depannya) merupakan tugas berat yang dibebankan kepada orang yang disebut guru.

Guru tidak diragukan lagi adalah fondasi utama bagi majunya sebuah peradaban. Pengoptimalan potensi murid sedikit banyak bergantung pada seorang guru dalam mengajar. Oleh karena itu, pepatah guru kencing berdiri murid kencing berlari senantiasa relevan dan tak akan lekang oleh masa. Karena guru, ilmuwan-ilmuwan yang berdedikasi ada, pemimpin-pemimpin besar lahir, polisi, tentara, dan apa pun profesi juga bermuara kepadanya. Guru tidak diragukan lagi adalah salah satu faktor penentu masa depan bangsa ini.

Sebagai sosok yang digugu dan ditiru, sudah semestinya guru menjadi teladan dalam bersikap, perkataannya mencerahkan, kehadirannya menghangatkan murid-muridnya, wejangannya menginspirasi. Demikian sejatinya hakikat seorang pahlawan.

Walaupun begitu, perlu juga untuk diketahui, bahwa guru adalah manusia yang sama seperti manusia umumnya. Ia tidaklah purna dalam segalanya, terkadang ia khilaf dalam bertutur kata, khilaf dalam bertindak, atau terlampau lelah dengan hari-harinya sehingga tidak maksimal dalam mengajar. Hal-hal tersebut perlulah dimaklumi oleh setiap orang.

Akan tetapi, penghormatan untuk mereka tidaklah berkurang dengan adanya kekurangan mereka, dedikasi mereka tetap hebat, perannya tidak terganti. Guru adalah pelita bagi banyak orang di tengah kegelapan.

Nasib Guru Pelosok dan Tenaga Honorer

Menyoal dedikasi para guru, tentulah sudah seharusnya mereka diberikan ganjaran yang layak atas sumbangsih besarnya bagi beradabnya bangsa ini. Namun, halnya tidak demikian, kesejahteraan hanya dimiliki guru PNS, itu pun tidak seluruhnya, setidaknya begitulah gambaran kondisi tidak sedikit guru di negeri ini. Ujung tombak yang bertugas mencerdaskan kehidupan bangsa justru hidup dengan ironi.

Pak Sukardi misalnya, yang rumahnya menjadi tempat bermalam Pak Mendikbudristek, hanya mendapat honor 200 ribu rupiah per bulannya. Nasib seperti Pak Sukardi juga dialami oleh guru-guru tidak tetap di sekolah perbatasan Jember, mereka digaji hanya 300 ribu rupiah per bulannya.

Nasib yang sama juga dialami oleh guru-guru di wilayah perbatasan, tak jarang di antara mereka harus pergi jauh hingga berkilo-kilo meter, terkadang harus menyeberang sungai dengan kondisi jembatan yang skaratulmaut. Namun setelah itu semua, yang perjuangannya sungguh luar biasa, gaji yang mereka dapatkan tidak sebanding dengan upaya yang mereka tempuh.

Ketimpangan upah para guru ini memang menyesakkan. Di beberapa wilayah, bahkan upah para buruh bisa tiga hingga empat kali lipat upah para guru. Daerah Kabupaten Karawang misalnya, UMK buruh di kabupaten tersebut Rp4,7 juta, tetapi guru honorer di SD negeri hanya diupah Rp1,2 juta. Di samping itu, UMP/UMK Sumatera Barat Rp2,4 juta/bulan, sedangkan upah guru honorer jenjang SD negeri di Kabupaten Lima Puluh Kota dan Kabupaten Tanah Datar Rp500–800 ribu/bulan. Ironinya lagi, upah tersebut terkadang dibayarkan per triwulan, sudah kecil, dirapel lagi.

Meski kata Mas Nadiem para guru menyalakan obor perubahan, nasib guru tak kunjung juga berubah. Walaupun berbagai kebijakan terus digalakkan oleh pemerintah guna menyejahterakan para guru, seperti jalur sertifikasi, tetapi itu masih dalam skala yang terbatas sehingga belum semua guru akan bisa langsung menerima tunjangan ini karena ada prosedur, aturan, dan mekanisme yang mengaturnya.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, sampai kapan mereka (para guru) akan terus diupah jauh dari yang mereka upayakan? Dan sejauh mana keseriusan pemerintah dalam menjamin upah yang cukup bagi mereka? Tentu, besar harapan agar mereka minimal dapat mencukupi kehidupannya alih-alih berharap sejahtera yang tak kunjung diupayakan oleh pemerintah.

Guru: Tanggung Jawab dan Perlakuan

Makin masifnya perkembangan zaman membuat banyak hal berubah, tetapi tanggung jawab para guru tak kunjung berubah. Sejak dahulu, kemarin, hari ini, dan hari esok tugas mereka tetaplah satu, mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, perlakuan terhadap mereka kian kemari kian berubah, mereka tak lagi “sesakral” dahulu. Jika dahulu kami akan duduk diam tunduk patuh kepada para guru, hari ini hal-hal tersebut kian jarang kita dapati di sekolah-sekolah formal.

Anak-anak makin kemari makin sulit untuk patuh, entah sebab guru yang tidak pandai mengajar, padahal sudah puluhan tahun jadi guru atau sopan santun anak-anak yang kian tereduksi oleh perkembangan teknologi dan juga kesibukan orang tua yang sehingga makin abai kepada anak di rumah. Agaknya, reduksi sopan santun memainkan peran lebih besar dalam hal tersebut, terlebih didukung juga oleh orang tua yang sangat protektif, anak mereka tak boleh disentuh. Sedikit sentuhan rol, dan guru akan berakhir di meja hijau, atau minimal dimaki dengan lembut.

Tanggung jawab besar yang dipikul para guru sudah menjadi beban tersendiri bagi mereka, ditambah lagi dengan anak-anak “gelas kaca” yang tidak boleh disentuh, orang tua yang “sangat cinta” anaknya, dan tuntutan agar terus meng-upgrade diri. Di samping itu, ada juga guru-guru yang diupah jauh dari cukup, tetapi tetap ikhlas berdedikasi. Sekelumit hal tersebut seharusnya sudah cukup untuk kita menghargai para guru dengan sebaik-baiknya.

Para gurulah pahlawan utama di balik lahirnya Soekarno dan Hatta, juga Pangsar Soedirman, Sjahrir, Agus Salim, Tan Malaka, dan segenap pejuang kemerdekaan lainnya. Sudah seharusnya penghormatan kepada guru diletakkan di tempat yang tinggi. Mau jadi apa bangsa ini jika pahlawannya saja tidak dihargai?

 

Penulis: Misbahul

Editor: Teuku Zulman Sangga Buana

Tags : guruhari guruindonesiapahlawan

The author Redaksi Sahih

Leave a Response