close
Kalam

Hasrat dan Cinta dalam Pernikahan, Suatu Permenungan

Sumber Foto: Unsplash

Saya ingin memulai dengan coba menjelaskan kepada Anda perbedaan antara hasrat (bahasa Arab: hawa) dan cinta (mahabba).

Hasrat adalah sesuatu yang Anda alami; Anda pasif sebelumnya, dan ia muncul merasuki Anda; ia tampak kuat (memengaruhi) dan Anda tampak lemah. Ia dibangkitkan oleh apa yang saya sebut persepsi langsung—penampilan, warna, bentuk, rasa, aroma, suara, irama suara, dan bentuk gerakan. (Anda akan mengenali, dalam daftar kecil itu, sebagian besar unsur dari lagu-lagu cinta populer yang ditemukan di semua budaya: “Aku menyukaimu karena … dsb.”) Dan hasrat ini tumbuh dan berkembang dan tidak berhenti sampai Anda memiliki objek yang diinginkan. Kepemilikan di sini bukan berarti sekadar mengagumi dari kejauhan, tetapi memegang, menyentuh, atau lebih dari itu.

Begitu rasa ingin memiliki itu terwujud, hasrat itu melemah dan terkuras habis. Kemudian, rasa puas itu sendiri berlalu. Setelah itu, hasrat muncul kembali, selama objeknya masih mempertahankan sebagian besar hal-hal tadi—penampilan, dll.—yang membangkitkannya pada kali pertama. Ia juga akan hidup kembali, dan memang memperoleh kekuatan, jika objek itu direbut—misalnya, jika ada pemisahan fisik yang lama darinya atau jika orang lain mengambilnya.

Lalu, hasrat bercampur dengan emosi kuat lainnya—kesedihan yang tak dapat dimengerti, kemarahan, kecemburuan, dan sejenisnya. Pengalaman semua manusia sepanjang zaman tentang hal yang didorong oleh hasrat (penampilan, dll.) pasti dan tak terelakkan akan memudar. Ini terjadi tanpa pengecualian.

Sekarang, jika hasrat yang menjadi alasan pernikahan, dan pernikahan dimaksudkan untuk bertahan, hasrat itu perlulah berkembang menjadi sesuatu yang lain, atau pernikahan lebih baik didasarkan pada sesuatu yang lain dan disertai pula oleh hasrat. Jika tidak, pernikahan pun akan gagal.

Cinta adalah hal lain yang sama sekali berbeda. Ia adalah apa yang Anda berikan; Anda adalah pelakunya, ia membutuhkan kehendak dan niat Anda; dan ia membutuhkan alasan baik Anda untuknya. Dan bila hasrat itu mudah, cinta itu sulit.

Untuk merasakan betapa sulitnya, bayangkan Anda hidup pada masa fitnah awal dalam sejarah Islam. Kaum muslim saling berperang; sebagian berada di pihak Utsman, yang lainnya di pihak ‘Ali, semoga Allah meridai keduanya. Akan tetapi, Anda tahu sunnah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mencintai mereka berdua. Jadi, Anda tahu bahwa Anda juga harus mencintai mereka berdua.

Boleh jadi teman dan keluarga Anda ada di satu sisi atau di sisi yang lain. Bisa jadi Anda juga memihak di satu sisi atau di sisi yang lain, kejadiannya mungkin tidak memberi Anda pilihan. Namun, hati Anda adalah ruang yang tidak bisa diganggu gugat; tidak ada yang bisa merenggut itu dari Anda: Pencipta Anda selalu tahu setiap detail apa yang semestinya hati Anda perjuangkan.

Bahkan, ketika Anda harus mengucapkan kata-kata, Anda semestinya dapat memilih dengan bijaksana; Anda dapat memberikan dalih jika mereka tidak mengizinkan Anda untuk diam—bersikap netral. Dalam keadaan ini, Anda tahu apa yang benar dan sikap yang benar—dan Anda mungkin berhasil dalam upaya ini pada titik tertentu–inilah yang membedakan antara cinta dan hasrat.

Orang yang lemah dalam mencintai para sahabat Rasulullah, akan segera melupakan semua sifat baik Ali atau Utsman, atau akan membesar-besarkan atau menyebut-nyebut kesalahan mereka, dan seterusnya. Akan tetapi, orang yang teguh dalam cinta itu tidak akan melupakan sifat-sifat baik dari keduanya, dia akan mengingat kualitas-kualitas itu setiap kali salah satu atau keduanya disebutkan, dan ingatan itu akan cukup untuk membuatnya tetap berada dalam sunnah.

Begitu juga, pasangan dalam pernikahan harus ingat bahwa Allah telah berfirman bahwa Dia telah memuliakan anak-anak Adam di atas semua makhluk-Nya; kita berutang kepada tiap-tiap mereka, bahkan kepada musuh kita sendiri ataupun juga agama kita, untuk mengingat hal itu dan untuk membentuk sikap kita, kata-kata kita, cara kita berbicara, dan tindakan kita, sesuai dengan yang diperintahkan-Nya. Pernikahan bisa jadi tidak dimulai atas dasar hasrat ataupun cinta, tetapi jika ingin menjadikannya berkelanjutan, kita harus menemukan dasar itu; hasrat atau cinta atau keduanya. Ia bisa jadi dimulai atas dasar hasrat, tetapi ia hanya akan bertahan dengan nyaman dan mudah atas dasar cinta.

Cinta, seperti yang baru saja saya gambarkan, adalah sikap, untuk melakukan sesuatu yang benar (sesuatu yang diperintahkan), untuk mengingat alasan demi apa melakukannya, dan kemudian menempatkan hati Anda untuk melakukannya dengan baik. Apa pun yang Anda tempatkan ke dalam hati, itulah yang Anda cintai. Sisanya hanya hasrat atau sebuah keharusan, atau campuran keduanya yang tidak tetap.

Sebuah pernikahan membutuhkan, sama seperti hal lainnya, suatu kelanggengan—kedua belah pihak harus selalu tahu di mana mereka berdiri satu sama lain, dan bahwa mereka dapat saling percaya. Ada perilaku standar–kesopanan, kebaikan dan kelembutan dalam berbicara dan menyentuh, kepentingan bersama, dan rasa hormat–yang membantu menjaga kelanggengan itu, dan saya akan membahas beberapa di antaranya. Ada juga alasan yang baik untuk pernikahan, dan mengingatnya membuat lebih mudah dan lebih bermanfaat untuk menegakkan cinta dalam contoh khusus yang Anda jalani, atau sebuah pertimbangan untuk menjalani pernikahan Anda sendiri.

Sebelum saya beralih ke sunah dan fikih pernikahan, saya ingin memperjelas lebih lanjut istilah yang saya gunakan. Beberapa dari Anda mungkin merasa bahwa cinta bukanlah kata yang tepat. Oleh karena itu, saya harus menggunakan kata lain, seperti kewajiban atau kesadaran. Akan tetapi, tidak, saya cukup yakin bahwa yang saya maksud adalah cinta, yang saya definisikan sebagai menempatkan hati Anda untuk melakukan hal yang benar. Contoh yang saya berikan kepada Anda (mencintai Utsman dan Ali secara bersamaan) bukanlah contoh kewajiban belaka atau hanya kesetiaan yang dingin, kaku, atau formal. Itu merupakan sikap kebijaksanaan, kemurahan hati, menjaga hati Anda selalu terbuka akan kualitas diri Anda.

Mari saya jelaskan dengan bantuan analogi kasar yang berhubungan dengan perangsang yang berbeda; makanan. Makanan berfungsi untuk mempertahankan fungsi tubuh, jika ia bergizi. Nilai gizi yang tepat mungkin dikonsentrasikan dalam makanan tablet atau minuman olahan. Namun, Anda akan segera merasa bosan dengan itu. Anda juga perlu mempertimbangakan berbagai hal, seperti pertimbangan dari sisi bisnis, pemerolehan bahan, keterujian kesegaran dan kualitas, bagaimana memasak dan menyajikannya, apa perusahaannya, dan seterusnya.

Kemudian, nutrisi muncul dalam berbagai pilihan, yang sebagian besar menggugah Anda. Anda mendapatkan makanan Anda, dan di atas itu Anda menikmatinya. Dan jika Anda bersyukur akan gizi dan kenikmatannya serta tidak berlebihan maka tuntutan agama juga terpenuhi. Sekarang, pertimbangkan situasi yang sulit. Anda benar-benar lapar dan ingin makan. Namun, makanan yang disajikan kepada Anda tidak membangkitkan nafsu makan Anda. Anda mungkin memutuskan untuk tidak repot dan membiarkan diri Anda makin lapar, yang merupakan pilihan sementara. Atau, Anda bisa memakannya sambil marah untuk setiap suapannya, setelah itu Anda akan gelisah dan mengasihani diri sendiri, bahkan mungkin merasa lapar meskipun Anda sebenarnya hanyalah tidak puas.

Atau, Anda dapat menerima saja kebutuhan berdasarkan keadaan, melihat kembali makanan yang disajikan kepada Anda, dan fokus pada fakta bahwa itu ada, diletakkan di hadapan Anda setelah segenap usaha yang saya sebutkan, dan terlebih lagi itu bisa mengatasi kebutuhan Anda akan makanan saat itu. Dengan begitu, ketika Anda merasa cukup, Anda akan memakannya untuk memenuhi setidaknya kebutuhan minimum Anda.

Itu adalah contoh sikap kemurahan hati Anda, sikap yang positif, dan makanan tersebut akan memuaskan, dan keadaannya akan menjadi lebih baik. Sikap kemurahan hati ini, yaitu sikap terbuka atas kualitas yang ada di dalam diri Anda, jika Anda mampu melakukannya, adalah salah satu tolok ukur, salah satu langkah, yang menempatkan hati Anda pada sesuatu atau mencintai sesuatu. Dibutuhkan sedikit kesulitan memang. Adapun untuk menerima apa yang membangkitkan keinginan atau nafsu makan Anda—itu sama sekali bukan masalah.


Penulis: 
Mohammad Akram Nadwi

Penerjemah: Muhajir Julizar
Editor Naskah: Teuku Zulman Sangga Buana
Editor Substantif: Nauval Pally Taran

 

Sumber: Al Salam

Tags : cintaislamkalampernikahan

The author Redaksi Sahih

Leave a Response