close
Feature

Bom Waktu itu Bernama Mikroplastik

Sumber Foto: Freepik

“Pada 2050, kita mungkin memiliki lebih banyak plastik daripada ikan di laut.” Begitu peringatan dari Ellen MacArthur, seorang pelaut kawakan Inggris yang mendedikasikan hidupnya untuk menjelajahi lautan, yang kini memperoleh gelar kehormatan Dame dari Kerajaan Inggris.

Dilansir dari The World Economic Forum, diperkirakan ada sekitar delapan juta ton sampah plastik yang berakhir di laut setiap tahunnya. Plastik-plastik ini, kita tahu, tidak akan terurai. Ia akan rusak hingga kemudian menjadi mikroplastik.

Di Indonesia, berdasarkan data dari Asosiasi Industri Plastik Indonesia (Inaplas) dan Badan Pusat Statistik (BPS), dalam satu tahun, keberadaan sampah plastik mencapai angka 64 juta ton. Sebanyak 3,2 juta ton dari sampah plastik tersebut selanjutnya dibuang ke laut.

Karena bentuknya yang kecil, yang berukuran sekitar 5 milimeter hingga 100 nanometer, mikroplastik berpotensi besar menjadi polutan yang cukup tinggi. Plastik juga sangat mungkin—dan itu sudah terjadi—dikonsumsi oleh binatang di laut, begitu pula oleh burung laut.

Sebagaimana dilansir dari Theconversation, 20% dari burung laut yang secara tidak sengaja memakan mikroplastik nyaris seketika mati. Menurut sebuah studi, burung laut tersebut sering kali mengira bahwa mikroplastik itu merupakan makanan mereka sehingga memutuskan untuk memakannya.

Mikroplastik yang dimakan oleh ikan-ikan di laut bisa berakhir pula ke dalam tubuh kita. Karena kandungannya yang berbahaya, mengonsumsi ikan yang tercemar tersebut sangat memungkinkan bagi kita mengidap berbagai penyakit yang mematikan.

Dikutip dari Klikdokter, mikroplastik yang dimakan (termakan) oleh manusia akan melapisi permukaan pencernaan, masuk darah, dan berinteraksi dengan partikel di dalamnya serta akan tersebar ke berbagai organ-organ dalam tubuh.

Berbagai penelitian telah mengungkapkan beragam dampak buruk yang ditimbulkan dari pengonsumsian mikroplastik secara berkelanjutan, mulai terganggunya sistem saraf, hormon, sampai dengan kekebalan tubuh. Ia juga dapat meningkatkan risiko kanker, mengubah protein penting dalam darah, seperti albumin, globulin, dan fibrinogen serta dapat mengurangi kadar testosteron pada janin.

Mikroplastik dalam Rantai Makanan Kita

Greenpeace Indonesia, bekerja sama dengan Laboratorium Kimia Anorganik Universitas Indonesia, menemukan kontaminasi mikroplastik dalam pengujian mikroskopis terhadap dua sampel air kemasan dalam galon sekali pakai yang beredar di Jabodetabek.

Dr. rer.nat. Agustino Zulys, M.Sc., dari Universitas Indonesia, mengatakan bahwa, “Galon sekali pakai dipilih sebagai objek penelitian karena belum terdapat penelitian terdahulu yang spesifik merespons penggunaan galon sekali pakai ini.”

Hasil penelitian menemukan bahwa kedua sampel air galon sekali pakai tersebut sama-sama terkontaminasi mikroplastik jenis PET, dengan jumlah partikel yang berbeda. Terdapat sebanyak 85 juta partikel per liter pada sampel B dan 95 juta partikel per liter pada sampel A. Adapun mikroplastik jenis PET (polyethylene terephtahlate) ini adalah jenis plastik yang sama dengan yang dipakai pada kemasan galon sekali pakai.

Kontaminasi mikroplastik ini pada dasarnya sudah terjadi di mata air kedua sampel Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) tersebut, yaitu Mata Air Sentul dan Mata Air Situ Gunung. Akan tetapi, AMDK mengandung mikroplastik yang lebih banyak dari sumber mata airnya. Artinya, permasalahannya juga terletak pada degradasi plastik itu sendiri.

Baca Juga: Apa Pengaruh Plastik terhadap Ekosistem Kita

Jumlah mikroplastik yang ditemukan dalam kedua sampel galon sekali pakai tersebut memang tidak melebihi batas aman yang ditetapkan oleh WHO. Namun, penggunaan yang dilakukan secara berkelanjutan tentu akan berdampak buruk bagi Kesehatan konsumen.

Bila merujuk pada Data BPS tahun 2016, ada lebih dari 31% masyarakat Indonesia memperoleh sumber konsumsi air minumnya dari air minum dalam kemasan (AMDK). Angka tersebut tentu terus bertambah seiring berjalannya waktu dan meningkatnya intensitas konsumsi AMDK.

Oleh karena itu, pegiat lingkungan Greenpeace Indonesia mengajak masyarakat untuk membatasi atau bahkan tidak lagi mengonsumsi air mineral dalam kemasan galon sekali pakai. Hal tersebut disebabkan ditemukannya migrasi mikroplastik dari galon tersebut ke dalam produk airnya yang akan memberi dampak buruk terhadap kesehatan.

Selain itu, sebuah artikel jurnal berjudul “Microplastic contamination in the Skipjack Tuna (Euthynnus affinis) collected from Southern Coast of Java, Indonesia” juga mengungkapkan bahwa mikroplastik telah mencemari ikan tongkol yang biasa masyarakat konsumsi. Sebagaimana diberitakan oleh Theconversation, tim peneliti menemukan bahwa lima dari sembilan ikan tongkol yang ditangkap di perairan Laut Selatan Jawa turut terpapar mikroplastik dengan kandungan yang mengkhawatirkan.
 

Penulis: Haris Syahputra
Editor Substantif: Nauval Pally Taran
Editor Naskah: Teuku Zulman Sangga Buana

Tags : alamlautlingkunganmasa depan manusiaplastiksorotan

The author Redaksi Sahih

Leave a Response