close
Kalam

Posisi Ideal Akal dan Prosedur Akal Sehat

Sumber Foto: Artikula

Mereka bertanya: Para filsuf adalah orang-orang yang intelek dan berbobot, ahli dalam berpikir dan bernalar, maka atas dasar apa Anda berselisih dengan pernyataan mereka dan menyimpangi pandangan mereka? Dan mengapa mereka begitu saling berbeda pandangan di antara mereka sendiri dengan perbedaan yang mencolok yang tidak ditemukan dalam disiplin ilmu lain atau dalam komunitas lain?

Saya menjawab: Karena mereka salah dalam (pengambilan) sumber-sumber ilmu itu sendiri, mengandalkan tebak-tebakan dan spekulasi, sesat dan menyesatkan orang lain.

Mereka bertanya: Lalu, apa sumber ilmu itu?

Saya menjawab: Sifat bawaan (fiṭrah), pancaindra, dan wahyu.

Mereka bertanya: Bagaimana kamu menganggap sifat bawaan (fiṭrah) sebagai sumber pengetahuan, ketika Allah berfirman, “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur.”

Saya menjawab: Maksud dari ayat tersebut adalah pengetahuan lahiriah yang diperoleh seseorang melalui indranya—bukan apa yang saya maksudkan. Akan tetapi, maksud saya, pengetahuan primordial (paling dasar atau fitrah) yang telah ditanamkan dalam penciptaan manusia karena manusia telah diberkahi dengan kemampuan untuk mengenali Tuhan yang memeliharanya, untuk mengabdikan diri kepada-Nya, untuk membedakan antara yang benar dan yang salah, untuk menikmati kebaikan, dan untuk terusik oleh kejahatan. Allah berfirman, “Dan arahkan wajahmu dengan satu pikiran ke Iman yang benar dan patuhi fitrah sejati yang di atasnya Allah telah menciptakan manusia.” Dan Dia berfirman, “Dan demi jiwa dan demi Dzat yang menyempurnakannya, dan mengilhaminya dengan (kesadaran) keburukannya dan ketakwaannya.”

Mereka bertanya: Di manakah letak akal di antara sumber-sumber ilmu ini?

Saya menjawab: Akal bukanlah sumber pengetahuan, ini bertentangan dengan pandangan para filsuf dan para ahli ilmu yang mengikutinya (mutakalim)—yang mempercayainya (akal) dengan apa yang ia tidak diberdayakan untuk menanggungnya, dan ini adalah akar kesesatan dan kebodohan mereka dan asal mula kesesatan dan kebodohan mereka karena akal tidak melahirkan pengetahuan dan tidak menghasilkan kesadaran.

Sebagai contoh, seseorang yang belum pernah melihat Taj Mahal atau mendengarnya, tidak akan pernah dibimbing menuju [realitas itu] melalui kecerdasannya, juga [Taj Mahal] itu tidak akan pernah muncul dalam pikirannya. Ketika makanan dihidangkan di hadapan seseorang, dia tidak akan pernah bisa merasakan rasanya hanya melalui akalnya saja. Demikian pula, pengalaman penciuman dan persepsi sentuhan tidak pernah dapat dicapai melalui akal. Betapa tidak berdayanya akal dan tidak mampu mencapai apa yang berada di luar indra atau bahkan untuk sekadar membayangkannya.

Mereka bertanya: Lalu, apa fungsi akal?

Saya menjawab: Akal memiliki empat fungsi:

  1. Untuk memelihara informasi yang diperoleh dari sumbernya;
  2. Untuk mengatur [informasi] itu dan menyelaraskannya;
  3. Untuk mengembangkan dan mengolahnya lebih lanjut; dan
  4. Untuk menguji dan menyelidikinya.

Sebagai contoh, jika seseorang menggunakan fakta bahwa huruf alif sama dengan ba dan ba sama dengan jim, akal memelihara kedua hal ini dan menyusunnya untuk mengembangkan dalil ketiga, bahwa alif juga sama dengan jim. Jadi, jika seseorang membuat dalil ketiga bahwa alif sama dengan daal, akal akan mengungkapkan kesalahan itu.

Mereka berkata: Tinggalkan abstraksi itu dan jelaskan empat peran akal dengan contoh nyata.

Aku berkata: Allah berfirman bahwa “Muḥammad adalah utusan Allah” dan bahwa “Kami tidak mengutus seorang rasul, kecuali untuk ditaati dengan izin Allah”. Akal menjaga kedua pernyataan ini dan mengaturnya sehingga mengarah pada pernyataan ketiga, “Muhammad tidak diutus kecuali untuk ditaati dengan izin Allah.” Maka dari itu, ketika seorang mukmin melanggarnya, akal mampu menunjukkan kesalahannya sehingga dia kembali kepada ketaatan.

Mereka berkata: Jelaskan kepada kami kesalahan para filsuf dan pengikut mereka dari para teolog skolastik dalam pemahaman mereka tentang peran akal.

Saya menjawab: Kesalahan mereka terkandung dalam tiga hal:

  1. Mereka menganggapnya (akal) sebagai sumber pengetahuan, dan apakah adalah sebuah rahasia bagi siapa pun bahwa akal kadang-kadang bisa gagal, penyebabnya bisa tidak dapat dipertahankan, dan dalil-dalilnya bisa lemah dalam mencapai apa yang dapat dipahami oleh indra? Bagaimana kemudian akal dapat melihat, mendengar, mengecap, mencium, atau menyentuh? Lalu, bagaimana ia bisa menembus relung-relung pengetahuan primordial, atau mendengarkan wahyu Ilahi?
  2. Mereka tidak mengenali batas-batas akal, yang, pertama, hanya mengembangkan apa yang diketahui dan membawanya kepada yang tidak diketahui tanpa mampu secara intrinsik memperoleh dan mengembangkan apa yang tidak diketahui. Dan kedua, mengembangkan dan menyelidiki apa yang hanya diketahui di dalam batas-batas tertentu tanpa dapat melampauinya, yaitu berhubungan erat dengan pancaindra eksternal dan setara dengannya, dan tidak dapat melewati atau melampaui batasnya.
  3. Mereka mempertentangkan alasan pribadi dengan alasan yang masuk akal.

Mereka bertanya: Apa yang Anda maksud dengan alasan pribadi dan sehat?

Saya menjawab: Alasan pribadi adalah yang muncul dari kebiasaan seseorang atau sekelompok orang, serta kecenderungan, pendapat, tradisi, dan budaya mereka. Akal sehat adalah yang mengambil bahannya dari sumber-sumber pengetahuan. Yang pertama disebut sebagai hasrat (hawā), sedangkan yang kedua dikenal sebagai akal sehat.

Sebagai contoh, setiap orang pada umumnya lebih menyukai dan menikmati makanan dari bangsanya sendiri, tempat ia dibesarkan. Hal ini tunduk dan sejalan dengan hasrat. Namun, ketika orang lain lebih memilih makanan yang lebih sesuai dengan tubuhnya dalam hal kesehatan dan kekuatan, ia kini mengikuti perintah akal sehat. Faktanya, mayoritas pandangan dan preferensi para filsuf dan teolog skolastik, baik timur maupun barat, kuno dan kontemporer, termasuk golongan yang mengikuti hawa nafsu dan menjadikannya dominan.

Mereka bertanya: Dapatkah akal menghasilkan pengetahuan tentang Tuhan?

Saya menjawab: Tidak, sebagaimana ia tidak dapat memunculkan pengetahuan tentang apa yang dirasakan. Pengetahuan tentang segala sesuatu hanya diperoleh dari sumber-sumber yang Allah tetapkan untuk itu, dan kemudian akal datang untuk mengembangkan dan menyelidiki apa yang sudah diketahui. Sumber pengetahuan tentang Tuhan adalah sifat bawaan (fiṭrah), dan akal mengembangkannya lebih lanjut dan meningkatkannya dengan mengandalkan bukti-bukti lain, mengatur, dan menyelaraskannya.

Dan inilah metodologi yang Tuhan telah ajarkan kepada kita dalam Kitab-Nya. Dia merujuk pengetahuan tentang diri-Nya kepada sifat bawaan manusia, dan memperluasnya dengan bukti-bukti melalui tanda-tanda alam-Nya yang disaksikan dalam penciptaan serta ayat-ayat-Nya yang dibacakan dalam Kitab-Nya. Jika pengetahuan tentang Tuhan tidak didasarkan pada sifat bawaan (fitrah), tanda-tanda ini tidak akan cukup sebagai indikasi dan bukti tentang-Nya.

Mereka bertanya: Tidakkah para filsuf dan teolog skolastik mengakui Pencipta, Yang Harus Ada, Penyebab dari semua sebab, Penyebab Pertama, dan Penggerak Utama melalui akal mereka?

Saya menjawab: Anda telah disesatkan oleh generalisasi sesat mereka dan tertipu oleh bukti-bukti memuakkan dan pemaknaan buruk mereka, beberapa di antaranya adalah penyimpangan dan kesesatan yang menyaratkan kejelasan. Dan lebih buruk dari itu, juga yang paling keji, adalah metodologi mereka dalam mencari petunjuk dan bukti yang, jika mendapati kebijaksanaan, akan merusaknya dan membuatnya kehilangan tempatnya.

Mereka bertanya: Maukah Anda menyingkap kesesatan pernyataan mereka dan kerusakan jalan mereka?

Saya berkata: Dengan gembira, hal ini karena saya senang dengan semangat Anda akan pengetahuan, menyenangkan mata Anda, dengan suatu pengujian kelayakan, dalam apa yang telah saya jelaskan untuk Anda.


Penulis: Syekh Mohammad Akram Nadwi
Penulis adalah peneliti dari Universitas Oxford

Penerjemah (ke dalam bahasa Inggris): Dr. Abu Zayd
Penerjemah (ke dalam bahasa Indonesia): Muhajir Julizar
Editor Naskah: Teuku Zulman Sangga Buana
Editor Substantif: Nauval Pally Taran

Sumber: As Salam

Tags : akalilmukalam

The author Redaksi Sahih