close
Kabar Daerah

Dari Terigu ke Mocaf: Potensi Kedaulatan Pangan Aceh

Sumber Foto: Freepik

Kapasitas konsumsi terigu di Aceh mencapai 400 ton per hari. Tingginya intensitas konsumsi publik terhadap tepung terigu ini dipicu oleh banyaknya olahan pangan kita yang masih menggunakan terigu sebagai bahan dasarnya. Zubir Marzuki, founder Mocaf Cap Seulawah Aceh Timur, mengatakan bahwa fenomena ini cukup disayangkan karena ketergantungan pangan ini akan berimbas pada perlambatan laju kemandirian sebuah negeri dan merosotnya peningkatan ekonomi masyarakat.

Untuk membangun kemandirian pangan dengan potensi cukup besar ini, ia kemudian mengembangkan usaha produksi tepungnya dengan menciptakan mocaf (modified cassava flour) dengan sumber produk pangan lokal. Namun ironisnya, singkong yang diolah menjadi tepung mocaf sejauh ini masih dipasok dari Kota Medan. Hal tersebut karena tidak memadainya bahan baku yang tersedia di Aceh.

Upaya untuk mensubstitusi terigu dengan mocaf ini ia lakukan dengan cara mengedukasi para produsen dan pedagang mi Aceh tentang cara mengolah mocaf menjadi mi, mengingat sebagian besar terigu di Aceh diolah menjadi mi. Menurutnya, edukasi ini perlu dilakukan untuk mengenalkan mocaf kepada pihak-pihak yang rutin menggunakan terigu. Di samping itu, cara pengolahannya memiliki sedikit perbedaan, serta agar pihak-pihak ini tahu jika cita rasa mi dari mocaf tidak kalah enak dari yang berbahan olahan terigu.

Uji coba dan pengajaran cara membuat mi Aceh versi tepung mocaf ini sudah ia lakukan di beberapa kabupaten/kota di Aceh. Di Banda Aceh sendiri, uji coba ini pernah dilakukan di warung Mie Abu Dzar, Pango. Saat itu, mi sehat ini bahkan sempat dicicipi langsung oleh Sandiaga Salahuddin Uno, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Indonesia, yang ketika itu sedang berkunjung ke Aceh.

Implementasi mocaf terhadap mi Aceh sebenarnya tidak memiliki banyak hambatan. Hanya saja, masih banyak elemen terkait yang mengabaikan potensi ini. Kendala utama hanya terletak pada mesin pengolah yang berbeda. Mesin untuk produksi mi dari mocaf dengan skala usaha juga tergolong mahal, yaitu berkisar antara 30–70 juta per buah. Adapun soal harga mi yang sudah jadi tidak mengalami peningkatan yang berarti. Apalagi jika dilihat dari segi mi sehat yang bebas gluten dan kaya nutrisi serta kemandirian pangan yang dapat terwujud.

Ia juga memberi gambaran bahwa, jika saja Aceh mampu mensubstitusi setengah saja dari terigu yang beredar, yaitu 200 ton per hari, cukup banyak lapangan kerja baru yang akan terbuka. Untuk memproduksi 200 ton mocaf per hari, dibutuhkan 800 ton singkong dalam sekali panen, dan ini menuntut luasan lahan pertanian singkong sekitar 30 hektar untuk sekali produksi saja. Jika ini mampu diwujudkan, tentu sangat besar lapangan pekerjaan yang akan terbuka.

Jika diasumsikan dengan operasional pabrik Cap Seulawah-nya di Peureulak Aceh Timur saat ini, untuk memproduksi 200 ton tepung mocaf, ia membutuhkan tiga ribu orang untuk mengupas singkong saja, dua ribu orang dalam proses penjemuran dan pengeringan, serta seribu orang dalam proses produksi di pabrik. Angka-angka ini belum termasuk pihak yang memanen dan mengangkut singkong di lahan pertanian dan pihak-pihak lainnya yang turut terlibat.

Artinya, untuk mengurus setengah dari kebutuhan terigu per hari saja, sangat banyak kesejahteraan yang akan tercipta. Ia juga menambahkan, Aceh akan hebat bila sudah mampu mengurus masalah perut masyarakatnya sendiri. Menurut kalkulasinya, dalam setahun akan ada sekitar 35 triliun rupiah perputaran uang di Aceh dari proses kemandirian pangan ini dan kita tidak lagi bergantung pangan kepada pihak lain, saat Aceh punya lahan dan potensi untuk mengurus masalah pangannya sendiri.


Penulis: M. Haris Syahputra
Editor: Teuku Zulman Sangga Buana

Tags : acehkulinermocafpangansorotan

The author Redaksi Sahih