close
Sains

Ateisme Tidak Selaras dengan Metode Ilmiah: Wawancara Bersama Fisikawan Teoretis Pemenang Templeton Prize

Sumber Foto: Pixabay

Marcelo Gleiser, fisikawan teoretis kelahiran Brasil berusia 60 tahun di Dartmouth College dan pengarang populer sains yang produktif, telah memenangkan Templeton Prize tahun ini. Dengan nilai sekitar $1,5 juta, penghargaan dari John Templeton Foundation itu setiap tahun memberikan pengakuan terhadap individu yang telah memberikan kontribusi luar biasa untuk menguatkan dimensi spiritual kehidupan. Di antara penerima sebelumnya termasuk tokoh ilmiah, seperti Sir Martin Rees dan Freeman Dyson, serta pemimpin agama atau politik, seperti Ibu Teresa, Desmond Tutu, dan Dalai Lama.

Selama 35 tahun karier ilmiahnya, penelitian Gleiser telah menjangkau banyak topik, dari sifat-sifat alam semesta awal hingga perilaku partikel fundamental dan asal-usul kehidupan. Namun ketika memberinya penghargaan paling bergengsi, Yayasan Templeton secara khusus mengakui statusnya sebagai intelektual publik terkemuka yang mengungkapkan hubungan historis, filosofis, dan budaya, antara sains, humaniora, dan spiritualitas. Dia juga orang Amerika Latin pertama yang menerima hadiah tersebut.

Scientific American berbicara dengan Gleiser tentang penghargaan tersebut, bagaimana ia berencana untuk menggalakkan pesannya tentang konsistensi, perlunya kerendahan hati dalam sains, mengapa manusia itu istimewa, dan sumber dasar keingintahuannya sebagai seorang fisikawan.

Scientific American: Pertama, selamat! Bagaimana perasaan Anda ketika mendengar berita itu?

Marcelo Gleiser: Itu cukup mengejutkan. Saya merasa sangat terhormat, merasa rendah hati, dan agak gugup. Ini semacam perbauran emosi, jujur. Perhatian saya terfokus pada fakta bahwa saya orang Amerika Latin pertama yang mendapatkan ini. Bagi saya, itu penting—dan saya merasakan beban di pundak saya sekarang. Saya punya pesan (misi), Anda tahu. Pertanyaannya sekarang, bagaimana menyampaikannya seefisien dan sejelas mungkin karena sekarang saya memiliki panggung yang jauh lebih besar untuk melakukannya.

Anda telah menulis dan berbicara dengan fasih tentang sifat realitas dan kesadaran, asal-usul kehidupan, kemungkinan kehidupan di luar Bumi, asal-usul dan nasib alam semesta, dan banyak lagi. Bagaimana semua topik yang berbeda itu bersinergi menjadi satu pesan yang kohesif untuk Anda?

Bagi saya, sains adalah salah satu cara untuk terhubung dengan misteri keberadaan. Dan jika Anda berpikir seperti itu, misteri keberadaan adalah sesuatu yang membuat kita penasaran sejak orang-orang mulai bertanya-tanya tentang siapa kita dan dari mana kita berasal. Jadi, karena pertanyaan-pertanyaan ini sekarang menjadi bagian dari penelitian ilmiah, mereka jauh lebih tua dari sains. Saya tidak berbicara tentang ilmu material, atau superkonduktivitas suhu tinggi, yang luar biasa dan sangat penting, tetapi itu bukan jenis ilmu yang saya lakukan.

Saya berbicara tentang sains sebagai bagian dari pertanyaan yang jauh lebih besar dan lebih tua tentang siapa kita dalam gambaran besar alam semesta. Bagi saya, sebagai fisikawan teoretis dan juga seseorang yang menghabiskan waktu di pergunungan, pertanyaan semacam ini menawarkan hubungan spiritual yang mendalam dengan dunia, melalui pikiran dan tubuh saya. Einstein akan mengatakan hal yang sama, saya pikir, dengan perasaan religius kosmiknya.

Benar. Jadi, aspek mana dari pekerjaan Anda yang menurut Anda paling relevan dengan orientasi spiritual Templeton Foundation?

Mungkin keyakinan saya pada kerendahan hati. Saya percaya kita harus mengambil pendekatan yang lebih rendah hati terhadap pengetahuan, dalam arti bahwa jika Anda melihat dengan cermat cara kerja sains, Anda akan melihat bahwa ya, itu luar biasa—menakjubkan!—, tetapi ia memiliki batas. Dan kita harus memahami dan menghormati batasan itu. Dan dengan melakukan itu, dengan memahami bagaimana sains berkembang, sains benar-benar menjadi percakapan spiritual yang mendalam dengan hal-hal misterius, tentang semua hal yang tidak kita ketahui.

Jadi, itu salah satu jawaban untuk pertanyaan Anda. Dan itu tidak ada kaitannya dengan suatu agama yang terorganisasikan, tentu saja, tetapi itu menginformasikan posisi saya melawan ateisme. Saya menganggap diri saya seorang agnostik.

Mengapa Anda menentang ateisme?

Sejujurnya, saya pikir ateisme tidak konsisten dengan metode ilmiah. Yang saya maksud dengan itu adalah, apa itu ateisme? Itu adalah sebuah pernyataan, sebuah pernyataan kategoris yang mengungkapkan kepercayaan pada ketidakpercayaan. “Saya tidak percaya meskipun saya tidak memiliki bukti yang mendukung atau menentang, saya hanya tidak percaya saja, titik.” Ini adalah sebuah deklarasi. Namun, dalam sains, yang kita kemukakan bukanlah suatu deklarasi. Kita berkata, “Baik, Anda dapat memiliki hipotesis, Anda harus memiliki beberapa bukti yang menentang atau mendukungnya.”

Jadi, seorang agnostik akan berkata, lihat, saya tidak punya bukti untuk Tuhan atau Tuhan apa pun itu (Dewa Maori, Tuhan Yahudi, Kristen, atau Muslim). Di sisi lain, seorang agnostik tidak ada hak untuk membuat pernyataan akhir tentang sesuatu yang tidak dia ketahui. “Tidak adanya bukti bukanlah bukti dari ketiadaan,” begitu. Hal ini menempatkan saya dalam posisi sangat menentang “New Atheist (Atheis Baru)”—meskipun demikian, saya ingin berpesan bahwa saya dapat menghormati keyakinan dan penalaran orang lain, yang mungkin berbasis komunitas, atau berbasis kedudukan, dan sebagainya. Dan saya pikir jelas, Yayasan Templeton menyukai semua ini karena ini adalah bagian dari dialektika yang muncul. Bukan hanya bagi saya; juga bagi kolega saya, ahli astrofisika Adam Frank, dan banyak lainnya, yang berbicara lebih banyak tentang hubungan antara sains dan spiritualitas.

Jadi, pesan kerendahan hati, keterbukaan pikiran, dan toleransi. Selain dalam diskusi tentang Tuhan, di mana lagi Anda melihat kebutuhan yang paling mendesak untuk etos ini?

Anda tahu, saya adalah seorang yang percaya bahwa bumi adalah sesuatu yang berbeda. Saya pikir situasi kita mungkin agak istimewa, pada skala planet atau bahkan galaksi. Jadi, ketika orang berbicara tentang Copernicus dan Copernicanisme—”prinsip medioker (mediocrity principle)” yang menyatakan bahwa kita harus mempunyai pandangan yang biasa saja (tentang bumi kita), saya berkata, “Tahukah Anda? Sudah waktunya untuk melampaui itu.”

Ketika Anda melihat di luar sana di planet lain (dan exoplanet yang dapat kita pahami), ketika Anda melihat sejarah kehidupan di Bumi, Anda akan menyadari bahwa tempat yang disebut Bumi ini benar-benar menakjubkan. Dan mungkin, ya, ada orang lain di luar sana, mungkin—siapa tahu, kita tentu mengharapkan itu—, tetapi saat ini yang kita tahu adalah bahwa kita memiliki dunia ini, dan kita adalah mesin molekuler menakjubkan yang mampu menyadari diri sendiri, dan semua itu membuat kita memang sangat istimewa. Dan kita tahu pasti bahwa tidak akan ada manusia lain di alam semesta; mungkin ada beberapa humanoid di suatu tempat di luar sana, tetapi kita adalah produk unik dari sejarah panjang planet kecil kita.

Intinya adalah, memahami sains modern dalam kerangka ini berarti mengembalikan umat manusia ke dalam semacam pusat moral alam semesta, yang kita memiliki kewajiban moral untuk melestarikan planet ini dan kehidupannya dengan segala yang kita miliki karena kita memahami betapa langkanya seluruh sistem ini dan bahwa untuk semua tujuan praktis kita sendiri. Untuk saat ini. Kita harus melakukan ini! Ini adalah pesan yang saya harap akan menggema bagi banyak orang karena bagi saya apa yang benar-benar kita butuhkan saat ini di dunia yang makin terpecah belah ini adalah “mitos” pemersatu baru.

Baca juga: Ilmu Pengetahuan Modern Mencari Kekuatan, Bukan Kebijaksanaan

Mitos yang saya maksud adalah cerita yang mendefinisikan budaya. Jadi, mitos apa yang akan mendefinisikan budaya abad ke-21? Itu pasti mitos spesies kita, bukan tentang sistem kepercayaan atau partai politik tertentu. Bagaimana mungkin kita bisa melakukan itu? Nah, kita dapat melakukannya dengan menggunakan astronomi, menggunakan apa yang telah kita pelajari dari dunia lain, untuk memosisikan diri kita dan berkata, “Dengar, teman-teman, ini bukan tentang kesetiaan suku, ini tentang kita sebagai spesies di planet yang sangat unik yang akan berlalu bersama kita—atau tanpa kita.” Saya pikir Anda memahami pesan ini dengan baik.

Saya paham. Akan tetapi, izinkan saya mengambil posisi berlawanan sejenak (devil`s advocate). Hanya karena sebelumnya Anda mengacu pada nilai kerendahan hati dalam sains, beberapa orang akan mengatakan sekarang bukan waktunya untuk menjadi rendah hati, mengingat meningkatnya gelombang permusuhan terbuka dan aktif terhadap sains dan objektivitas di seluruh dunia. Bagaimana Anda menanggapinya?

Ini tentu saja sesuatu yang orang telah katakan kepada saya, “Apakah Anda benar-benar yakin ingin mengatakan hal-hal ini?” Dan jawaban saya adalah ya, tentu saja. Ada perbedaan antara sains dan apa yang bisa kita sebut “saintisme”, yaitu gagasan bahwa sains dapat memecahkan semua masalah. Untuk sebagian besar, bukanlah soal ilmu pengetahuan itu sendiri, melainkan bagaimana umat manusia telah menggunakan ilmu pengetahuan yang telah menempatkan kita dalam kesulitan kita saat ini. Hal ini karena kebanyakan orang pada umumnya tidak memiliki kesadaran tentang apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan oleh sains.

Jadi, mereka menyalahgunakannya, dan mereka tidak berpikir tentang sains secara lebih pluralistik. Jadi, baik, Anda akan mengembangkan mobil self-driving (swakemudi)? Bagus! Akan tetapi, bagaimana jika mobil itu akan menghadapi pilihan sulit, seperti, apakah memprioritaskan nyawa penumpangnya atau nyawa pejalan kaki yang lewat? Apakah hanya teknolog dari Google yang memutuskan? Semoga tidak! Anda harus berbicara dengan para pemikir, Anda harus berbicara dengan ahli etika. Dan untuk tidak memahami itu dengan mengatakan bahwa sains memiliki semua jawaban. Bagi saya itu hanyalah omong kosong. Kita tidak dapat berasumsi bahwa kita akan menyelesaikan semua masalah dunia dengan menggunakan pendekatan ilmiah yang ketat. Ini tidak mungkin terjadi, dan tidak pernah terjadi karena dunia ini terlalu kompleks, dan ilmu pengetahuan memiliki kekuatan metodologis sekaligus keterbatasan metodologis.

Jadi, apa yang saya katakan? Saya katakan jujur. Ada kutipan dari fisikawan Frank Oppenheimer yang cocok di sini, “Hal terburuk yang bisa dilakukan seorang bajingan adalah mengubah Anda menjadi bajingan.” Itu profan, tetapi brilian. Saya tidak akan berbohong tentang apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan sains karena alasan politisi menyalahgunakan sains dan mencoba memolitikkan wacana ilmiah. Saya akan jujur ​​tentang kekuatan sains sehingga orang benar-benar dapat memercayai saya karena kejujuran dan transparansi saya. Jika Anda tidak ingin jujur ​​dan transparan, Anda hanya akan menjadi pembohong seperti orang lain.

Itulah sebabnya, saya kesal dengan pernyataan yang salah, seperti yang dinyatakan oleh sekelompok ilmuwan—Stephen Hawking dan Lawrence Krauss di antara mereka—mengeklaim bahwa kita telah memecahkan masalah asal-usul alam semesta, atau bahwa teori string benar dan bahwa akhir “teori segalanya” sudah dekat. Pernyataan seperti itu palsu. Jadi, saya merasa seolah-olah saya adalah penjaga integritas sains sekarang; seseorang yang dapat Anda percayai karena orang ini terbuka dan cukup jujur ​​untuk mengakui bahwa usaha ilmiah memiliki keterbatasan—bukan berarti lemah!

Anda menyebutkan teori string dan skeptisisme Anda tentang gagasan akhir “teori segalanya”. Dari mana skeptisisme itu berasal?

Mustahil bagi sains untuk memperoleh teori yang benar tentang segala sesuatu. Dan alasannya adalah epistemologis. Pada dasarnya, cara kita memperoleh informasi tentang dunia adalah melalui pengukuran. Itu melalui instrumen, kan? Dan karena itu, pengukuran dan instrumen kita akan selalu memberi tahu kita banyak hal, tetapi mereka akan mengabaikannya. Dan kita tidak mungkin pernah berpikir bahwa kita dapat memiliki teori tentang segalanyakarena kita tidak pernah dapat berpikir bahwa kita mengetahui segala sesuatu yang perlu diketahui tentang alam semesta.

Ini berkaitan dengan metafora yang saya kembangkan dan saya gunakan sebagai judul buku, The Island of Knowledge. Pengetahuan berkembang, ya? Namun ia dikelilingi oleh lautan ketidaktahuan. Paradoks pengetahuan adalah ketika pengetahuan berkembang dan batas antara yang diketahui dan yang tidak diketahui berubah, Anda pasti mulai mengajukan pertanyaan yang bahkan tak mungkin Anda tanyakan sebelumnya.

Saya tidak ingin mengecilkan hati orang untuk mencari penjelasan terpadu tentang alam karena, ya, kita membutuhkan itu. Banyak ajaran fisika didasarkan atas dorongan ini untuk menyederhanakan dan menyatukan berbagai hal. Akan tetapi di sisi lain, itu adalah pernyataan kosong bahwa mungkin ada teori tentang segala sesuatu yang menurut saya secara fundamental salah dari perspektif filosofis. Seluruh gagasan yang bersifat final dan ide akhir ini, bagi saya, hanyalah upaya untuk mengubah sains menjadi sistem keagamaan, yang merupakan sesuatu yang sangat tidak saya setujui.

Jadi, bagaimana Anda melanjutkan dan membenarkan melakukan penelitian jika Anda tidak berpikir Anda bisa mendapatkan jawaban akhir? Nah, penelitian bukan tentang jawaban akhir maka ini tentang proses penemuan. Apa yang Anda temukan di sepanjang jalan itulah yang penting, dan rasa ingin tahulah yang menggerakkan semangat manusia ke depan.

Berbicara tentang rasa ingin tahu… Anda pernah menulis, “Ilmuwan, dalam arti tertentu, adalah orang-orang yang terus membakar rasa ingin tahu, mencoba menemukan jawaban atas beberapa pertanyaan yang mereka ajukan sebagaimana anak-anak.” Sebagai seorang anak, apakah ada pertanyaan formatif yang Anda ajukan, atau pengalaman yang Anda miliki, yang membuat Anda menjadi ilmuwan seperti sekarang ini? Apakah Anda masih mencoba menjawabnya? 

Saya masih benar-benar terpesona dengan seberapa banyak ilmu pengetahuan dapat menceritakan tentang asal-usul dan evolusi alam semesta. Kosmologi dan astrobiologi modern memiliki sebagian besar pertanyaan yang saya cari—gagasan transisi dari non-kehidupan ke kehidupan, bagi saya, benar-benar menarik. Namun sejujurnya, pengalaman formatifnya adalah saya kehilangan ibu saya. Saya berusia enam tahun, dan kehilangan itu benar-benar menghancurkan. Itu menempatkan saya dalam persentuhan dengan gagasan waktu dari usia yang sangat dini. Dan jelas agama adalah hal yang segera datang karena saya seorang Yahudi, tetapi saya menjadi sangat kecewa dengan Perjanjian Lama ketika saya masih remaja, dan kemudian saya menemukan Einstein.

Saat itulah saya menyadari, Anda sebenarnya dapat mengajukan pertanyaan tentang sifat ruang dan waktu dan alam itu sendiri dengan menggunakan sains. Dan itu membuat saya terpesona. Jadi, saya pikir itu adalah rasa kehilangan yang sangat awal yang membuat saya penasaran tentang makna keberadaan. Dan jika Anda ingin tahu tentang keberadaan, fisika menjadi sebuah portal yang luar biasa karena membawa Anda dekat dengan sifat pertanyaan mendasar: ruang, waktu, asal-usul. Dan aku bahagia sejak saat itu.


Pewawancara dan Penulis: Lee Billings
Ia adalah editor senior rubrik ruang dan fisika Scientific American.

Penerjemah: Muhajir Julizar
Editor Substantif: Nauval Pally Taran
Editor Naskah: Teuku Zulman Sangga Buana

Sumber: Scientific American

Tags : alam semestabumifisikasainssorotan

The author Redaksi Sahih