close
Esai

Cara Kiai Haji Ahmad Dahlan “Menerima” Sesajen

Sumber Foto: Pixabay

Tak jauh dari Keraton Yogyakarta, dahulu, berdiri dengan tegak kampung Kauman yang merupakan kampung Islam terbesar di Yogyakarta. Seakan ikut menegaskan identitas Kauman sebagai kampung Islam, tak jauh dari situ, sekitar seperlemparan batu di sebelah barat alun-alun utara, terdapat sebuah masjid sebagai pusat kegiatan agama dengan gaya arsitektur Masjid Demak. Sesuai letak lokasinya, masjid itu dikenal dengan nama Masjid Gedhe Kauman dan dipimpin oleh seorang penghulu dengan gelar Kamaludiningrat.

Saat itu, kampung Kauman terdiri dari jalan-jalan sempit dengan lebar kurang lebih dua meter yang diapit oleh tembok-tembok putih. Suasananya sunyi dan tenteram. Namun jika malam hari, hampir di setiap rumah ditemukan ramai orang-orang mengaji. Di beberapa bagian kampung, juga banyak ditemukan pohon-pohon besar lengkap dengan sesajen di bawahnya. Tanpa ada penolakan berarti, praktik memberi sesajen itu tumbuh subur di lingkungan Kampung Islam Kauman saat itu.

Di tengah kampung kecil dengan banyak pohon besar dan sesajen yang tak jauh dari letak Keraton Yogyakarta itulah Ahmad Dahlan kecil lahir, pada 1 Agustus 1868. Nama kecilnya Muhammad Darwis, ia adalah anak keempat dari tujuh anak yang dimiliki oleh Kiai Haji Abu Bakar, salah satu khatib dari sembilan khatib yang bertugas di Masjid Kauman. Sementara ibunya adalah Siti Aminah, anak perempuan dari Kyai Haji Ibrahim bin Hasan yang merupakan pejabat penghulu keraton.

Terlahir dari keluarga dengan latar belakang agama yang kuat membuat Ahmad Dahlan muda gundah dan resah dengan banyak perilaku dan tradisi masyarakat Kauman masa itu yang menurutnya bertentangan dengan Islam.

Pada suatu waktu, menjelang bulan Ramadan, ramai masyarakat Kauman melakukan tradisi Padusan (mandi di telaga beramai-ramai) untuk menyucikan jiwa dan raga. Beberapa anggapan yang beredar menyebut itu dilakukan agar sahnya puasa Ramadan. Namun demikian, Ahmad Dahlan muda mangkir untuk melakukan tradisi ini, ia yakin jika puasa tetap sah bahkan tanpa perlu ikut Padusan.

Pada kesempatan lainnya, dengan kenakalan khas para remaja, Dahlan Muda kerap kali bersembunyi di belakang pohon besar dengan tujuan mengambil makanan yang warga kampung letakkan sebagai sesajen di bawah pohon besar, makanan itu kemudian dibagikan kepada fakir miskin. Hilangnya sesajen acap kali dianggap oleh warga kampung kalau sesajen mereka diterima oleh penunggu pohon, padahal Dahlan mudalah yang “menerima” sesajen mereka.

Sikap tidak tidak setuju Dahlan terhadap praktik masyarakat semisal itu terus ditampakkan hingga ia wafat. Bahkan dalam kesempatan khutbah pertamanya sebagai khatib di Masjid Gedhe Kauman, ia menyindir kebiasaan penduduk di kampungnya. “Dalam berdoa itu cuma ikhlas dan sabar saja yang dibutuhkan, tidak perlu kiai, khatib, apalagi sesajen.”

Barangkali, dari sekian banyak hal yang dapat kita pelajari dari Kiai Haji Ahmad Dahlan, adalah sikap berani dan teguhnya dalam menentang arus masyarakat dalam menyuarakan kebenaran, meskipun langgarnya dihancurkan oleh massa dan ia dituduh Kiai kafir.

Namun, sikapnya terhadap kebenaran tak pernah surut. Ia teguh menyuguhkan kebenaran hingga masyarakat menerimanya dan ia wafat dalam menyuguhkan kebenaran tersebut.

Bahan Bacaan:
Weinata Sairin, Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah.
Abdul Munir Mulkhan, Kiai Ahmad Dahlan: Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan, Kado Satu Abad Muhammadiyah.

Penulis: Misbahul
Editor: Nauval Pally Taran

Tags : aqidahislamislam nusantaraMuhammadiyahsesajen

The author Redaksi Sahih