close
IslamSejarah

Khadijah: Teladan Sepanjang Zaman

Sumber Foto Ilustrasi: Pixabay

Cerdas, terhormat, berbakti, berbudi luhur, dan murah hati. Demikianlah Imam Dzahabi menggambarkan kepada kita secara ringkas sosok Ibunda Khadijah radhiallahu ‘anha. Bahkan, orang-orang Quraisy dahulu menggelari beliau dengan al-Thahirah, yang artinya ‘perempuan suci’.

Ia terlahir dari keluarga bangsawan terpandang dan juga  kaya raya. Ayahnya adalah pebisnis besar di kalangan orang-orang Quraisy. Kelak, Khadijah mewarisi bisnis ayahnya dan ditangannya bisnis tersebut berubah menjadi imperium besar. Ia menjelma menjadi “crazy rich” pada zamannya. Jadi, bisa kita bayangkan Khadijah hidup dan tumbuh dengan segala kemewahan yang ada.

Namun, tak seperti wanita bangsawan Quraisy kaya raya lainnya yang suka hura-hura dan tak jelas arahnya. Khadijah jauh dari kebiasaan buruk mereka, ia mulia dan menjaga dirinya. Oleh sebab itu, mereka menggelarinya dengan al-Thahirah.

Nasabnya

Ia adalah Khadijah binti Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushay al-Quraisyiah al-Asadiyah. Penisbahan al-Asadiyah di akhir namanya menunjukkan ia berasal dari Bani Asad, sebuah klan yang saat pra-Islam memiliki tugas untuk menjaga Dar al-Nadwah (tempat seluruh urusan Quraisy dapat diubah) dan memimpin setiap rapat antara klan-klan Quraisy di Kota Makkah. Nasab Khadijah dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu pada kakek kelimanya, Qushay.

Menikah dengan Nabi

Setelah dua kali menjadi janda, ia memutuskan untuk hidup sendirian. Padahal, sebagai seorang wanita terhormat, kaya raya, dan punya pengaruh, ada banyak bangsawan Quraisy yang melamarnya. Akan tetapi, ia menolak seluruh lamaran pernikahan yang diajukan untuknya, tak seorang pun membuatnya tertarik.

Hingga sampai padanya kabar tentang Muhammad, seorang pemuda Bani Hasyim yang mulia dengan sempurna. Telah masyhur apa yang terjadi kemudian, Muhammad berangkat ke Syam dengan membawa dagangan khusus milik Khadijah. Khadijah tak pernah memberikan barang dagangan yang semisal itu kepada siapa pun sebelumnya. Tak lupa pula, ia mengutus Maisarah—seorang kepercayaan Khadijah—yang bertugas menjadi telik sandi untuk melaporkan segala perbuatan Muhammad.

Laporan dari Maisarah kemudian mengubah pandangan Khadijah tentang pernikahan. Khadijah tidak luluh dengan harta dan kedudukan, jika demikian tentu ia tak akan menolak segenap bangsawan Quraisy. Namun, sosok Muhammad dengan kualitas pribadi luar biasanya telah berhasil meluluhkan Khadijah.

Singkat cerita, terjadilah pernikahan antara dua orang mulia tersebut, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Ibunda Khadijah radhiallahu anha. Tersebutkan dalam riwayat-riwayat maharnya mencapai 500 dirham. Saat pernikahan itu terjadi, Khadijah berusia 40 tahun, 15 tahun lebih tua daripada Nabi Muhammad yang saat itu berusia 25 tahun.

Pasangan mulia tersebut hidup bersama dalam pernikahan monogami yang penuh keberkahan hingga Ibunda Khadijah wafat pada tahun ke-10 kenabian. Ibunda Khadijah juga memberikan kepada Baginda Nabi hal yang tak bisa diberikan para ummahatul mukminin lainnya. Allah menakdirkan hanya dari Ibunda Khadijah-lah anak yang Nabi miliki. Ia memberi beliau putra dan putri, yakni Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fatimah.

Masuk Islam hingga Wafat

Meskipun lahir, hidup, dan tumbuh di tengah penganut paganisme, Nabi Muhammad terjaga dari mengikuti perbuatan mereka. Setelah pernikahan dengan Khadijah, Nabi Muhammad kerap kali melakukan transformasi spiritual dengan menyendiri (tahannuts) di Gua Hira. “Dengan ber-tahannuts, ia (Muhammad) merasakan ketenangan dalam dirinya,” demikian gambaran Husein Haekal dalam bukunya Hayat Muhammad.

Hingga suatu ketika, Jibril menemui Rasulullah dengan membawa wahyu dari Allah. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat-riwayat, Nabi pulang terburu-buru dalam keadaan gemetar dan takut. Khadijah adalah orang pertama yang Nabi tuju. “Selimuti aku,” kata Nabi kepada Khadijah.

Khadijah adalah istri yang pengertian dan penuh kasih sayang. Ia tak mencecar suaminya dengan banyak pertanyaan serta dengan tenang menyelimuti Nabi. Kemudian, secara intuitif ia menghibur suami terkasihnya itu dengan kalimat yang luar biasa.

“Itu mustahil, berbahagialah, demi Allah bahwa Dia tidak akan pernah menghinakanmu. Demi Allah, kamu adalah penyambung ikatan kekerabatan, mengungkapkan kebenaran, menanggung kesulitan beban orang lain, membantu yang miskin, memuliakan tamu, dan mendukung usaha-usaha kebenaran.”

Kalimat yang disampaikan dengan lembut dan penuh kasih sayang tersebut berhasil menenangkan dan menguatkan hati Sang Nabi.

Setelah itu, ia mengajak Nabi menemui sepupunya, Waraqah bin Naufal—seorang laki-laki Nasrani tua yang bahkan buta karena ketuaannya itu. Ia memberi kabar baik kepada Nabi. Waraqah bercerita bahwa apa yang baru saja Nabi jumpai adalah Namus (Jibril) yang juga datang menemui Musa dan Isa.

Dalam keadaan seperti itu, Khadijah beriman kepada Nabi tanpa syarat dan banyak tanya. Ia menerima risalah kenabian dengan tulus. Ia adalah orang yang kali pertama beriman kepada Nabi hingga wafatnya.

Berkorban Demi Dakwah Islam

Masyarakat Makkah memusuhi dan mengasingkan Nabi Muhammad setelah beliau mendakwahkan ketauhidan kepada mereka. Padahal, sebelumnya ia adalah al-Amin-nya mereka. Meskipun demikian, Khadijah tetap ada di sisi suaminya tersebut dengan memberinya dukungan dan perlindungan yang sangat Nabi butuhkan saat itu.

Ia terus mendukung dakwah Nabi hingga sepuluh tahun kemudian dengan semua harta kekayaan dan kekuatan yang ia miliki. Meskipun ia harus menderita setelahnya, menerima label sosial, kehilangan harta, diboikot, hingga kelaparan ekstrem, rasa hormat Khadijah kepada suaminya tidak pernah berkurang setitik pun. Dia justru menjadi pilar kekuatan utama bagi Nabi hingga wafatnya.

Cinta Nabi Padanya

Bagi Nabi, Khadijah tak pernah tergantikan dan tak ada yang bisa menggantikannya. Tahun wafatnya disebut dalam sejarah sebagai amul huzni (tahun kesedihan) yang menggambarkan betapa sedihnya Baginda Nabi.

Bahkan, Nabi senantiasa menyebut-menyebutnya sesudah tiadanya. Hingga suatu hari, ibunda kita Aisyah radhiallahu ‘anha tak sanggup menahan cemburunya dan berkata, “Bukankah Khadijah itu hanya seorang perempuan tua yang kedua sudut mulutnya berwarna merah dan Allah telah memberimu ganti yang lebih baik?”

Sontak Rasulullah marah mendengarnya, hingga raut wajah beliau memerah. Lantas, beliau berkata pada Ibunda Aisyah, “Tidak, demi Allah aku tidak diberi ganti yang lebih baik daripada Khadijah. Ia beriman padaku ketika yang lain ingkar, ia membenarkanku ketika semua orang mendustakanku, ia melimpahkan hartanya padaku ketika semua menyembunyikan tangan, dan darinya Allah memberiku keturunan ketika dari istriku yang lain tidak.”

Pada waktu yang lain, tatkala melihat sebuah kalung, tiba-tiba air mata keluar dari pelupuk mata mulia Baginda Nabi, kemudian beliau berkata pelan, “Ini adalah kalung Khadijah.” Ingatan mulia beliau kembali mengenang masa-masa bersama Ibunda Khadijah. Cinta beliau kepada Khadijah tak pernah luntur meski sudah bertahun jasad Ummul Mukminin tersebut berada di dalam tanah.

Keutamaannya

  1. Allah Memberikan Salam padanya

Pada suatu ketika Jibril mendatangi Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam sambil mengatakan pada beliau,

  يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذِهِ خَدِيجَةُ قَدْ أَتَتْ مَعَهَا إِنَاءٌ فِيهِ إِدَامٌ أَوْ طَعَامٌ أَوْ شَرَابٌ فَإِذَا هِيَ أَتَتْكَ فَاقْرَأْ عَلَيْهَا السَّلَامَ مِنْ رَبِّهَا وَمِنِّي وَبَشِّرْهَا بِبَيْتٍ فِي الْجَنَّةِ مِنْ قَصَبٍ لَا صَخَبَ فِيهِ وَلَا نَصَبَ

Wahai Rasulallah shalallahu’alaihi wa sallam, ini Khadijah telah datang. Bersamanya sebuah bejana yang berisi lauk, makanan, dan minuman. Jika dirinya sampai katakan padanya bahwa Rabbnya dan diriku mengucapkan salam untuknya. Dan kabarkan pula bahwa untuknya rumah di surga dari emas yang nyaman tidak bising dan merasa capai.” (HR. Bukhari no. 3820. Muslim no. 2432).

  1. Ia Adalah Wanita Terbaik

Tidak ada keraguan jika ia adalah wanita terbaik, bahkan dalam sebuah hadis Nabi menyebut namanya sebagai salah satu dari empat wanita terbaik sejagad raya.

حَسْبُكَ مِنْ نِسَاءِ العَالَمِينَ: مَرْيَمُ ابْنَةُ عِمْرَانَ، وَخَدِيجَةُ بِنْتُ خُوَيْلِدٍ، وَفَاطِمَةُ بِنْتُ مُحَمَّدٍ وَآسِيَةُ امْرَأَةُ فِرْعَوْنَ

 

Cukup bagimu empat wanita terbaik di dunia: Maryam bintu Imran (Ibunda Nabi Isa), Khadijah bintu Khuwailid, Fatimah bintu Muhammad, dan Asiyah istri Firaun.” (HR. Ahmad 12391, Turmudzi 3878, dan sanadnya disahihkan Syuaib Al-Arnauth).

  1. Nabi Menganggap Mencintainya Merupakan Karunia

Selain itu, Nabi juga menyebut bahwa cinta yang beliau miliki untuk Khadijah adalah anugerah Allah, tak pernah Nabi menyebutkan hal yang semisal untuk istrinya yang lain.

إِنِّي قَدْ رُزِقْتُ حُبَّهَا

Sungguh Allah telah menganugerahkan kepadaku rasa cinta kepada Khadijah.” (HR. Muslim no. 2435).

Teladan Sepanjang Zaman

Seluruh kehidupannya adalah teladan bagi para wanita. Ia bijak dalam memilih pendamping hidup. Bukan harta ataupun kedudukan, namun akhlak adalah standar yang paling utama baginya. Lebih jauh lagi, Khadijah adalah sosok inspiratif, ulet, dan mandiri.

Ia merupakan sosok hamba yang taat dan pendukung dakwah yang utama. Harta bendanya habis ia gunakan untuk mendukung dakwah dan perkembangan agama Islam. Khadijah telah mencapai puncak dunia pada masa hidupnya dengan kekayaan dan kedudukan dan pada saat bersamaan ia juga mencapai kebahagiaan di akhirat dengan takwa dan keimanan. Sungguh, teladan ada pada Khadijah.


Penulis:
Misbahul
Editor: Teuku Zulman Sangga Buana

Tags : islamkhadijahMuhammadmuslimahRasulullahsejarah

The author Redaksi Sahih