close
Esai

Tewasnya Mayjend Köhler

Sumber Foto Ilustrasi: Pixabay

Belanda melakukan mobilisasi pasukan dengan serius pasca-maklumat perang terhadap kesultanan Aceh dikumandangkan melalui geladak kapal perang Citadel van Antverpen pada 26 Maret 1873. Perang yang oleh Muhammad Said disebut tak bertujuan apapun selain memuaskan nafsu memperluas penaklukkan tersebut hingga kini maklumatnya tak pernah dicabut.

Adalah Mayor Jenderal J.R.H Köhler, salah satu komandan teritorial Sumatra Barat yang dipilih oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, James Loudon (1872-1875) sebagai panglima dalam ekspedisi militer ke Aceh Darussalam, sebuah kesultanan yang tegak dan berdaulat penuh di ujung pulau Sumatra.

Setelah melakukan mobilisasi pasukan selama beberapa waktu, akhirnya pada 6 April 1873, pasukan berkekuatan 3.198 orang (2.100 pribumi) dengan 168 perwira berhasil mendarat di pantai Ceureumen. Tak lupa pula 1000 pekerja paksa diikutsertakan dengan 220 wanita sebagai PSK Beberapa literatur memuat bahwa Köhler yang katanya serdadu terbaik, perwira berpengalaman, dan penuh disiplin itu memiliki rencana yang sangat sederhana dalam menaklukkan Aceh, yang kala itu tampak dalam keadaan lemah. Pasukan mendarat, membuat kemah, dan bergerak untuk menguasai kediaman raja (ibu kota). Dalam pikirannya menguasai ibu kota akan memudahkan menguasai daerah lain.

Namun, Köhler sebenarnya bodoh, ia tertipu oleh informasi yang minim dan kepercayaan dirinya sendiri yang besar itu. Memanglah pada 10 April, empat hari setelah mendarat, mereka berhasil menduduki sebuah bangunan megah yang dikiranya istana sultan, nyatanya tempat itu adalah Masjid Raya.

Tak tinggal diam masjid mereka diduduki, malam itu juga orang-orang Aceh menyerang kaphe (kafir) Belanda dengan gencar guna merebut kembali masjid. Paul van ‘t Veer dalam bukunya De Atjeh Oorlog menggambarkan betapa situasi saat itu membuat Kohler merasa terancam.

“Köhler menyuruh meninggalkan benteng (masjid) itu, karena menurutnya pasukan terlalu letih untuk dapat bertahan dalam posisi yang sangat terancam. Segera pula orang Aceh menduduki masjid itu dengan sorak kemenangan,” tulisnya.

Masjid Raya itu kemudian dicoba rebut kembali oleh Kohler dengan mengerahkan pasukannya menuju masjid, saat itu 14 April. Ia merasa percaya diri (sombong) bahwa masjid itu akan dapat ia rebut kembali. Dengan pongahnya ia berdiri sembari mengomando pasukannya yang tengah bertempur, dan entah darimana tiba-tiba sebuah peluru menghujam deras ke arahnya, ia mati dengan membawa kepongahannya dan rasa percaya diri yang besar.

Paul van ‘t Veer menggambarkan, saat itu seluruh pasukan Belanda kehilangan semangat tempurnya. Pengganti Köhler, kolonel van Daalen tak bisa berbuat banyak tanpa rencana lanjutan, dan kemudian selang tiga pekan, pasukan Belanda pun kembali ke kapal-kapal mereka dengan membawa kekalahan.

Penulis: Misbahul
Editor: Arif Rinaldi

Tags : acehbahasa belandabelandaindonesiainggriskolonialismePerang

The author Redaksi Sahih