close
Opini

Penghinaan terhadap Nabi Muhammad Terang-terangan Ada dalam “Buku Panduan” BJP

Sumber Foto: AP Photo/The Diplomat

Dalam beberapa hari terakhir, Partai Bharatiya Janta (BJP) yang memerintah India telah menjerumuskan dirinya di tengah badai politik dan diplomatik setelah dua staf tingkat tinggi—juru bicara nasional partai, Nupur Sharma dan kepala operasi media, Delhi Naveen Kumar Jindal—secara terbuka membuat pernyataan yang merendahkan Nabi Muhammad.

Pada hari Jumat, ratusan muslim turun ke jalan di Kota Kanpur Uttar Pradesh untuk memprotes pernyataan ofensif tersebut. Alih-alih bergerak untuk menenangkan ketegangan dan menghukum mereka yang bertanggung jawab di bawah undang-undang ujaran kebencian India, pihak berwenang merespons dengan kekerasan: Polisi menangkap pengunjuk rasa dengan dasar “Undang-Undang Gangster” negara bagian yang ketat dan bahkan mengancam akan “merebut dan menghancurkan” properti mereka.

Ketika berita tentang pernyataan ofensif—dan tanggapan pemerintah terhadap protes atas mereka—mencapai luar perbatasan negara, setidaknya lima negara Arab, termasuk Qatar, mengajukan protes resmi terhadap India.

Seruan untuk memboikot barang-barang India juga telah dilakukan di media sosial di beberapa negara Arab dan produk-produk India dikeluarkan dari rak di beberapa toko di Kuwait.

Pada akhirnya, tampaknya bukan kemarahan muslim India yang dapat dimengerti, tetapi ancaman kecaman internasional dan dampak ekonomilah yang memotivasi pihak berwenang India untuk memulai tindakan untuk membatasi kerusakan.

Segera setelah protes diplomatik, pemerintah mengumumkan bahwa tindakan keras telah diambil terhadap terdakwa–Sharma diskors dan Jindal dikeluarkan dari keanggotaan partai. BJP juga mengeluarkan pernyataan umum, dengan mengatakan: “[Partai] mengecam keras penghinaan terhadap tokoh agama apa pun dari agama apa pun.” Sementara itu, Duta Besar India untuk Qatar, Deepak Mittal, mengatakan pernyataan yang menyinggung itu dibuat oleh beberapa “elemen pinggiran” di dalam partai, dan tidak mewakili pandangan pemerintah India.

Langkah untuk “menangguhkan” dan “mengusir” staf yang menghina nabi, dan upaya untuk menjauhkan pemerintah dari komentar mereka, bagaimanapun, tidak memuaskan siapa pun yang di dalam atau di luar India.

Pertama-tama, Sharma dan Jindal hampir tidak bisa digambarkan sebagai “elemen pinggiran” di dalam partai. Lagi pula, sebelum insiden itu, mereka berdua memegang posisi tinggi di BJP–posisi yang memungkinkan mereka untuk berbicara mewakili partai yang memerintah dan mengomunikasikan kebijakan dan strateginya kepada negara.

Kedua, dan mungkin yang paling penting, sulit untuk menyatakan bahwa pandangan islamofobia mereka tidak mewakili pemerintah India ketika tidak ada pemimpin BJP yang keluar untuk mengeluarkan permintaan maaf yang sungguh bersamaan dengan kebijakan, tindakan, dan pernyataan islamofobia partai tersebut telah didokumentasikan dengan baik.

Memang, islamofobia selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari strategi pemerintahan BJP.

Dalam waktu yang tidak lama, misalnya, pemimpin BJP, Perdana Menteri Narendra Modi, mencoba mengaitkan antara tokoh-tokoh muslim dari sejarah India yang terdahulu dan “terorisme dan ekstremisme agama” dalam dua pidato publiknya baru baru ini, menyiratkan bahwa muslim India harus bertanggung jawab dan dihukum atas dugaan kejahatan yang dilakukan oleh “leluhur” mereka. Dia tidak mendapatkan penentangan dari partai untuk komentar-komentar islamofobia yang terang-terangan itu.

Yogi Adityanath, kepala menteri Uttar Pradesh yang berafiliasi dengan BJP, juga membuat pidato anti-muslim selama pemilihan majelis negara bagian terakhir. Dalam sebuah pidato seperti itu, dia mengejek muslim dan mengatakan dia melihat pemilihan negara bagian sebagai pertempuran antara 80 persen (persentase umat Hindu di negara bagian) dan 20 persen (persentase umat Islam).

Ketua Menteri yang berafiliasi dengan BJP, Assam Himanta Biswa Sarma, bahkan lebih berani dalam pidatonya. Tahun lalu, dia menyebut pembunuhan dua muslim, termasuk anak di bawah umur, oleh petugas polisi selama penggusuran paksa di Assam sebagai “tindakan balas dendam” atas “martirnya” umat Hindu di masa lalu.

Di bawah pemerintahan BJP, beberapa kampanye telah dimulai untuk memastikan masjid dan tempat-tempat suci bagi umat Islam di seluruh negeri diserahkan kepada umat Hindu yang mengeklaim bahwa tempat-tempat tersebut awalnya tempat umat Hindu. Ada, misalnya, kampanye semacam itu yang saat ini sedang dilakukan untuk menyerahkan Masjid Gyanvapi di Varanasi, Masjid Jamia di Srirangapatna, Qutub Minar di Delhi–dan banyak lainnya–untuk umat Hindu.

Awal tahun ini, kelompok Hindu sayap kanan mengadakan prosesi di lingkungan muslim dan membuat pidato kebencian selama perayaan Ram Navmi di beberapa negara bagian. Di negara bagian mulai dari Gujarat hingga Delhi, pria Hindu yang mengenakan selendang safron–dan dalam beberapa kasus membawa tongkat dan pedang–memainkan lagu-lagu provokatif yang dibumbui dengan ancaman genosida di luar rumah dan masjid muslim, dan mengangkat slogan-slogan kebencian.

Pihak berwenang BJP tidak hanya menolak untuk menghukum para provokator ini, tetapi juga menggunakan semua kekuatan negara bagian India untuk mencegah umat Islam membela diri. Memang, pria muslim yang melawan massa ini dengan cepat ditangkap dan mereka dibuldoser oleh pihak berwenang.

Dan selain dengan santai dan teratur membuat komentar islamofobia, dan mendukung islamofobia berupa kekerasan dari para pendukung mereka, para pemimpin BJP juga telah mengeluarkan kebijakan dan undang-undang islamofobia dan diskriminatif yang tak terhitung jumlahnya dalam beberapa tahun terakhir.

Undang-undang yang mengkriminalisasi talak tiga atau cerai instan, melarang penyembelihan sapi, mengkriminalisasi pindah agama yang diduga atas nama “memelihara kebebasan beragama”, mengkriminalisasi pernikahan antara pria muslim dan wanita Hindu, dan perintah eksekutif di seluruh negeri yang praktiknya melarang semua konsumsi daging hanyalah beberapa contoh dari kebijakan islamofobia yang berlaku selama pemerintahan BJP di India.

Tentu saja, ada juga  UU Amandemen Kewarganegaraan (CAA), yang mendiskriminasi muslim karena menjadikan keyakinan sebagai dasar pemberian kewarganegaraan India. Pemerintah BJP tidak hanya mengesahkan undang-undang anti-muslim ini tetapi juga mengizinkan para pendukungnya untuk menargetkan Muslim India yang memprotesnya. Tak satu pun dari pemimpin BJP yang menambahkan bahan bakar ke bentrokan terkait CAA mendapatkan teguran yang berarti dari partai, meskipun kekerasan merenggut ratusan nyawa.

Mengingat semua ini, jelas bahwa klaim pemerintah BJP bahwa komentar menyinggung Sharma dan Jindal tidak mewakili pandangannya sangat tidak jujur.

Pernyataan-pernyataan tersebut bukanlah kesalahan langkah oleh “elemen pinggiran” di dalam partai yang memerintah atau kesalahan oleh beberapa staf berpangkat rendah, tetapi merupakan cerminan akurat dari pandangan dan sikap BJP terhadap muslim dan Islam.

Realitas ini mungkin dijelaskan paling baik oleh Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang berbasis di Arab Saudi dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan tentang kontroversi terbaru.

OKI tidak hanya mengutuk pernyataan menyinggung staf BJP dalam pernyataan resminya, tetapi juga menekankan bahwa mereka datang dalam “konteks meningkatnya kebencian dan pelecehan terhadap Islam di India dan praktik sistematis terhadap muslim”.

Pernyataan OKI jelas mengusik hati, karena pemerintah India dengan cepat dan tajam menolaknya, menyebut kritik itu “tidak beralasan” dan “berpikiran sempit”. “Sangat disesalkan bahwa Sekretariat OKI kembali memilih untuk membuat komentar yang memotivasi, menyesatkan, dan nakal. Ini hanya memperlihatkan agenda memecah belah yang dikejar atas perintah kepentingan pribadi,” katanya.

Pemerintah menanggapi keras pernyataan OKI karena menunjukkan bahwa India, di bawah pemerintahan BJP, menjadi negara islamofobia di mana serangan dan penghinaan terhadap muslim adalah hal biasa.

Ketika dunia bereaksi terhadap kontroversi islamofobia terbaru di India, hal ini harus diingat dan tidak menerima cerita BJP bahwa pernyataan yang menyinggung itu hanyalah ledakan emosional oleh beberapa individu nakal yang pandangannya tidak mewakili partai yang memerintah.

Penulis: Apoorvanand
Ia adalah pengajar Bahasa Hindi di Universitas Delhi. Dia menulis kritik tentang sastra dan budaya

Penerjemah: Muhajir Julizar
Editor Substantif: Nauval Pally Taran
Editor Naskah: Arif Rinaldi

Sumber: Al Jazeera

Tags : hinduindiaislamislamofobiakemanusiaankonflikmuslim

The author Redaksi Sahih