close
OpiniSains

Apakah Raksasa Pernah Ada? Mengapa “Ilmu Pengetahuan Modern” Berharap Itu Tak Ada?

Sumber Foto Ilustrasi: Pixabay

Ada banyak narasi autentik tentang ketinggian Nabi Adam (`alaihissalam)—nenek moyang kita yang sama, meminjam ungkapan para Darwinis.

Misalnya kita membaca dalam Shahih Al-Bukhari hadis nomor 3326:

Dikisahkan oleh Abu Hurairah:

Nabi (ﷺ) berkata, Allah menciptakan Adam, membuatnya setinggi 60 hasta. Ketika Dia menciptakannya, Dia berkata kepadanya, “Pergilah dan sapalah sekelompok malaikat itu, dan dengarkan jawaban mereka, karena itu akan menjadi salammu dan salam untuk keturunanmu.” Maka Adam berkata (kepada para malaikat), Assalamulaikum. Para malaikat berkata, “Assalamu Alaika wa Rahmatullahi” (Kedamaian dan Rahmat Allah atasmu). Maka para malaikat menambahkan pada salam Adam ungkapan, ‘Wa Rahmatullahi,’ Setiap orang yang akan masuk surga akan menyerupai Adam (dalam penampilan dan bentuk badan). Orang-orang telah menurun dalam tinggi badan sejak penciptaan Adam.

Banyak hadits-hadits shahih berbicara tentang tingginya (sekitar 30 meter) juga.

Tradisi Islam tidak sendirian dalam menyebut makhluk raksasa. Alkitab berbicara lebih dari sekali tentang “ Nefilim”, sebuah kata yang sebenarnya berarti raksasa. Dalam bab pertama bukunya Lost Race of the Giants, Patrick Chouinard menunjukkan bahwa memori raksasa tertulis dalam “ketidaksadaran kolektif” kita (seperti yang dia katakan), memberikan contoh dari agama dan mitologi yang bervariasi seperti dari orang-orang Timur Tengah kuno; Skandinavia; Irlandia; India; Meksiko; Cina; atau bahkan pulau-pulau Fiji. Raksasa yang paling terkenal mungkin adalah “titan” dari mitologi Yunani.

Dalam Encyclopedia of Giants and Humanoids in Myth, Legend and Folklore, Theresa Bane menyebutkan lebih dari 1.000 makhluk raksasa yang ditemukan dalam budaya dan tradisi dunia.

Peradaban dan komunitas tersebut sering disemarakkan dalam bidang lain, seperti arsitektur. Tentunya tidak mungkin mereka semua salah secara menyeluruh dalam hal keberadaan makhluk raksasa.

Akan tetapi, bahkan jika kepercayaan pada raksasa ini bersifat universal (tidak seperti, katakanlah, kapitalisme atau feminisme), orang Barat modern membutuhkan “bukti nyata” untuk memercayai semua ini karena epistemologi empirisnya. Dan untuk itu, bidang yang relevan adalah arkeologi.

Konspirasi Arkeologi?

Nah, “Smithsonian Institution”—yang menggambarkan dirinya sebagai “museum, pendidikan, dan penelitian yang kompleks terbesar di dunia” di situsnya—mungkin telah melakukan “penggelapan arkeologis” untuk menyembunyikan bukti-bukti ini.

Ini sebenarnya yang ditulis oleh penulis Prancis terkenal, David Hatcher Childress dalam buku Suppressed Inventions and Other Discoveries. Buku ini terdiri dari artikel-artikel yang disusun oleh Jonathan Eisen, seorang ahli biologi yang tergabung dalam UC Davis. Jadi, setidaknya dari perspektif sekuler, kita memiliki akademisi yang “terhormat” di dalam institusi yang “terhormat”.

Childress menulis dalam halaman 215-221,

“Vatikan telah lama dituduh menyimpan artefak dan buku-buku kuno di ruang bawah tanah mereka yang luas, tanpa mengizinkan dunia luar mengaksesnya. Harta karun rahasia ini, sering kali bersifat historis atau religius kontroversial, diduga disembunyikan oleh Gereja Katolik karena dapat merusak kredibilitas gereja, atau mungkin membuat naskah resmi mereka diragukan. Sayangnya, ada banyak bukti bahwa sesuatu yang sangat mirip sedang terjadi dengan Institusi Smithsonian.

Institusi Smithsonian dimulai pada tahun 1829 ketika seorang jutawan Inggris yang eksentrik, bernama James Smithson, meninggal dunia dan meninggalkan $515.169 untuk menciptakan sebuah institusi “untuk peningkatan dan penyebaran pengetahuan di antara manusia”. Sayangnya, ada bukti bahwa Smithsonian lebih aktif dalam menekan pengetahuan… daripada menyebarkannya selama seratus tahun terakhir. (…)

Smithsonian mulai mempromosikan gagasan bahwa penduduk asli Amerika, yang pada waktu itu dimusnahkan dalam Perang Indian, adalah keturunan dari peradaban maju dan layak untuk dihormati dan dilindungi. Mereka juga memulai program untuk menekan bukti arkeologi apa pun yang memberikan kepercayaan kepada aliran pemikiran yang dikenal sebagai Difusionisme, sebuah aliran yang percaya bahwa sepanjang sejarah telah terjadi penyebaran budaya dan peradaban secara luas melalui kontak dengan kapal dan jalur perdagangan utama.

Smithsonian memilih pendapat yang berlawanan, yang dikenal sebagai Isolasionisme. Isolasionisme berpendapat bahwa sebagian besar peradaban terisolasi satu sama lain dan hanya ada sedikit kontak di antara mereka, terutama yang dipisahkan oleh badan air (maksudnya sungai, danau atau laut). (…)

Ketika isi dari banyak gundukan kuno dan piramida Midwest diperiksa, ternyata sejarah Lembah Sungai Mississippi adalah sejarah budaya kuno dan canggih yang telah berhubungan dengan Eropa dan daerah lain. Tidak hanya itu, isi dari banyak gundukan mengungkapkan penguburan orang-orang besar, terkadang setinggi tujuh atau delapan kaki, dengan baju besi lengkap dengan pedang dan terkadang harta dalam jumlah yang sangat besar. (…)

Meskipun gagasan Smithsonian yang menutupi temuan arkeologis yang berharga sulit diterima oleh sebagian orang, sayangnya, ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa Institusi Smithsonian secara sadar telah menutupi dan “kehilangan” peninggalan arkeologi penting. (…)

Saya percaya bahwa pembaca yang cerdas akan melihat bahwa jika hanya sebagian kecil dari bukti “Smithsoniangate” yang benar, maka lembaga arkeologi kita yang paling suci telah secara aktif terlibat dalam menekan bukti untuk budaya Amerika yang maju, bukti perjalanan kuno dari berbagai budaya ke Amerika Utara, bukti raksasa anomali, dan artefak eksentrik lainnya, dan bukti yang cenderung menyangkal dogma resmi yang kini menjadi sejarah Amerika Utara.

Kita tidak akan membahas detail dari apa yang “ditutupi”, termasuk kerangka raksasa yang ditemukan di Alaska. Namun, jika lembaga paling “dihormati” di dunia dalam bidang semacam itu dapat mengubur bukti untuk alasan ideologisnya sendiri, tidakkah mungkin dunia sekuler juga menyembunyikan bukti lain? Terutama karena dunia sekuler yang sama mendukung Darwinisme, yang bertentangan dengan gagasan tentang raksasa purba.

Ketika Darwinisme belum dominan, Barat tidak malu tentang hal-hal seperti itu. Pada tahun 30-an, sebelum “sintesis modern” dengan ilmuwan seperti Ronald Fisher menggunakan genetika populasi untuk memberi Darwinisme kehidupan baru, ideologi ini sebenarnya sudah hampir mati di Barat. Bahkan, ini disebut “gerhana Darwinisme” dalam literatur akademis. Demikianlah kita membaca dalam artikel 1934 dari Daily News, sebuah surat kabar harian yang diterbitkan di Australia.

Dapatkah Anda membayangkan jika sebuah surat kabar harian terkemuka dalam Bahasa Inggris melaporkan tentang raksasa yang ditemukan di India hari ini? Dan memberikan contoh raksasa yang ditemukan di tempat lain juga?

Nah, lihat ini. Topik utama berita ini bercerita tentang India, ditulis untuk majalah Institusi Smithsonian. Penulis menyebutkan “guci raksasa” ditemukan di India pada April 2022. Dia menulis:

Siapa yang menciptakan guci itu dan apa tujuan tepatnya mereka masih belum jelas. Akan tetapi guci yang sebanding—beberapa berukuran hingga 10 kaki dan lebar 6,5 kaki—sebelumnya telah ditemukan di Laos dan Indonesia, lapor Hannah Osborne untuk Newsweek. Beberapa guci raksasa berisi sisa-sisa organ manusia, mengisyaratkan penggunaannya dalam ritual penguburan.

Kita mungkin memiliki gagasan tentang apa yang mungkin ada di balik “siapa” itu, tetapi kaum modernis harus menunggu sampai konspirasi arkeologis berakhir.


Penulis:
Bheria

Penerjemah: Muhajir Julizar
Editor: Arif Rinaldi & Nauval Pally T

Sumber: Muslim Skeptis

Tags : arkeologiilmu pengetahuanraksasasainssejarah

The author Redaksi Sahih