Penulis: Misbahul Supriadi
Editor: Nauval Pally T
Beberapa waktu lalu, heboh bentrokan di Blora antara Pemuda Pancasila (PP) dan Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB). Bentrokan berlangsung liar, dengan lemparan batu dan pukulan tinju yang saling bersahutan.
Tak sampai di situ, di Bandung, GRIB menyerbu markas PP, menghancurkan fasilitas, bahkan sepeda motor yang tak bersalah ikut menjadi sasaran amuk. Sepeda motor itu tak punya ideologi, tak punya afiliasi, ia hanya diam, tapi malang nian, harus ikut menanggung kekacauan yang bukan urusannya.
Potongan peristiwa itu bukan sekadar narasi konflik horizontal antarkelompok, melainkan cermin buram dari kebebasan berserikat dan berkumpul yang kebablasan. Organisasi kemasyarakatan (ormas) yang seharusnya menjadi motor sosial, kini justru kerap menjelma menjadi aktor kekacauan. Dan negara agaknya kian kepayahan menghadapi ormas-ormas yang makin beringas ini.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 menjamin kebebasan berkumpul, berserikat, dan mengeluarkan pendapat. Namun kebebasan ini bukan tanpa batas. Konstitusi memberikan ruang untuk berpikir dan bersuara, bukan untuk memukul dan mengintimidasi. Celakanya, sejumlah ormas—atas nama ideologi, kebangsaan, atau kepedulian sosial—beroperasi seperti geng jalanan. Mereka melakukan pemalakan, penyegelan pabrik, hingga pemaksaan untuk terlibat dalam proyek-proyek industri, mulai dari pengangkutan limbah, katering, hingga keamanan.
Himpunan Kawasan Industri (HKI) mencatat bahwa praktik premanisme oleh ormas menyebabkan pembatalan investasi hingga ratusan triliun rupiah. Bekasi, Karawang, Batam, dan Jawa Timur menjadi titik rawan. Investor takut masuk karena ormas menjadi kekuatan yang tidak bisa dikendalikan.
Apa gunanya Indonesia gembar-gembor sebagai negara tujuan investasi, jika para investor justru diteror dan dimintai “jatah keamanan” oleh ormas-ormas yang tidak punya legitimasi formal selain surat keterangan terdaftar?
Negara Tak Boleh Kalah
Anggota DPR RI, Ahmad Sahroni, dengan tegas mengatakan bahwa negara tidak boleh kalah dari preman dan ormas. Ia menyuarakan keresahan publik: ormas-ormas ini telah melampaui batas. Kepolisian pun sebenarnya tak tinggal diam. Beberapa peristiwa penindakan terhadap ormas telah dilakukan. Namun sayangnya, tindakan itu sering kali masih bersifat reaktif dan sporadis, belum sistematis dan menyeluruh.
Polri menyatakan akan melakukan langkah preventif dan pembinaan. Namun, bagaimana membina pihak yang tidak mau dibina? Bagaimana merangkul kelompok yang menjadikan kekerasan sebagai identitas dan kekuatan? Pendekatan humanis memang ideal, tetapi tanpa ketegasan hukum, itu hanya menjadi pemanis di tengah getirnya realitas.
Kementerian Perindustrian mengusulkan agar kawasan industri dijadikan objek vital nasional, agar bisa dilindungi secara khusus dari ancaman eksternal—salah satunya dari ormas. Ini menunjukkan bahwa persoalan ini sudah sangat serius, hingga butuh proteksi tingkat tinggi. Namun lagi-lagi, ini adalah solusi temporal, bukan pembenahan akar.
Revisi UU Ormas: Mendesak dan Tak Bisa Ditunda
Sudah saatnya negara merevisi Undang-Undang Ormas agar lebih ketat dalam mengatur keberadaan dan aktivitas organisasi kemasyarakatan. Tidak semua yang mengaku “berjuang untuk rakyat” memang benar-benar berpihak pada rakyat. Banyak di antaranya yang justru menjadi beban masyarakat, menjadi alat bagi elite tertentu, atau menjadi sarana legalisasi premanisme berkedok nasionalisme.
Perlu ada pengetatan dalam proses legalisasi ormas, audit publik berkala atas aktivitasnya, hingga penindakan tegas jika terbukti melanggar hukum. Jika sebuah ormas terbukti terlibat dalam kekerasan, pemerasan, atau perusakan fasilitas umum dan industri, maka tidak cukup hanya diberikan peringatan. Mereka harus dibubarkan dan anggotanya diproses sesuai hukum.
Negara tidak boleh ragu. Negara harus hadirsecara nyata melindungi masyarakat, memastikan hukum benar-benar ditegakkan. Negara harus berani mencabut izin apa pun—termasuk ormas—yang menjadikan kebebasan sebagai tameng untuk menindas dan menciptakan kekacauan.
Mengembalikan Makna Ormas
Organisasi masyarakat pada dasarnya adalah sarana strategis untuk partisipasi warga dalam pembangunan bangsa. Mereka bisa menjadi pilar dalam pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan sosial. Namun ormas yang justru menjadi parasit dan memproduksi kekerasan, tak layak disebut bagian dari demokrasi.
Kita membutuhkan ormas yang beradab, bukan ormas yang berbaju kebangsaan tetapi mendekap fanatisme golongan dan berwatak kekerasan. Kita membutuhkan kebebasan yang bertanggung jawab, bukan kebebasan yang dibiarkan liar.
Jangan sampai warga negara biasa, yang hanya ingin hidup tenang, akan terus dibayang-bayangi oleh ancaman yang mengatasnamakan kebebasan.