Penulis: Ben Hamid
Editor: Nauval Pally T
Di sebuah desa yang senyap, di antara riak sawah dan gema zikir, kuasa mengalir bukan dari nalar dan logika, tetapi dari mimpi-mimpi mistik yang diwariskan dalam garis darah. Di Peuleukung, Nagan Raya, Aceh—agama tak lagi sekadar petunjuk menuju surga, tetapi juga telah menjadi protokol sosial, aturan main politik, bahkan alat ukur keimanan.
Di sini, surga bisa diakses lewat loyalitas. Neraka? Menanti mereka yang berani berbeda.
Ketika Ajaran Menjadi Dekrit Politik
Tarekat Syattariyah telah lama menancapkan akar di Nagan Raya. Aliran ini berpijak pada ajaran tasawuf yang, seperti biasanya, menjanjikan pencerahan batin. Namun seiring waktu, zikir-zikir malam mulai menyatu dengan gemuruh politik di siang hari.
Dari mimbar surau ke kursi bupati, jaraknya hanya tinggal satu fatwa guru. Tak ada seleksi ide atau adu gagasan. Yang ada hanya restu garis keturunan.
Dan sejak 2007, restu itu telah mengantar Ampon Bang—cucu pendiri tarekat, yang juga keturunan bangsawan kerajaan lokal—menduduki kursi bupati selama dua periode. Apa yang tampak sebagai sistem spiritual, perlahan menjelma menjadi dinasti. Sebuah kolaborasi antara agama dan aristokrasi yang menyingkirkan meritokrasi.
Setiap kali pilkada tiba, umumnya masyarakat tidak memilih berdasarkan visi. Mereka menunggu aba-aba dari menara ruhani. Meskipun bukan “perintah wajib”, mengabaikan aba-aba berarti menyeleweng dari petunjuk guru. Dalam struktur ini, demokrasi hanyalah formalitas. Yang sejati adalah bai’at politik dalam selubung tarekat.
Simbolisme yang Menyisihkan Esensi
Perbedaan ibadah menjadi identitas eksklusif tarekat. Seperti yang kita tahu, komunitas ini kerap mulai berpuasa dengan jadwal berbeda, bertaraweh lebih cepat, dan tentu saja merayakan hari raya lebih dulu. Semua didasarkan pada fatwa sang guru, bukan pada konsensus nasional atau hasil hisab otoritas keagamaan resmi. Ibadah bukan lagi jalan menuju Tuhan semata, tapi manifesto yang membedakan “kita” dan “mereka”.
Lebih dari itu, berbagai amalan yang mereka lakukan juga tak lazim. Mulai dari puasa “mujahadah” yang ekstrem—makan sekali sehari—thawaf di makam guru besar pada malam Idul Adha, salat Jumat khusus wanita, dan masih banyak lagi.
Di kampung tarekat, guru lebih dari sekadang penyampai ilmu, melainkan pemegang otoritas spiritual mutlak yang ucapannya tak bisa disanggah dan petuahnya setara sabda. Siapa pun yang cukup berani menyimpang tak hanya akan dihantui rasa bersalah karena melawan guru, tetapi juga perlahan akan diasingkan dari komunitas tarekat.
Menjaga Jarak dari Tahta
Ketika agama tak memiliki standar yang sahih dan rujukan yang terukur, penyimpangan merupakan keniscayaan yang akan terjadi seluas-luasnya. Tanpa batas yang jelas, agama bisa direduksi menjadi alat kuasa, bukan jalan kebenaran semata. Di titik ini, manusia bisa dikendalikan oleh manusia, hingga batas antara penghambaan dan perbudakan menjadi kabur.
Sulit menarik batas antara ajaran murni dan agenda tersembunyi. Namun, ketika sebuah komunitas bisa mendikte ragam ibadah hingga pemimpin daerah—maka kita sedang berhadapan dengan sistem kekuasaan, bukan sekadar komunitas keagamaan.
Tarekat yang dimaksudkan sebagai jalan menuju tuhan, malah dijadikan jalan pintas menuju jabatan dan kedudukan. Ketika zikir digunakan untuk mengunci suara, dan guru dijadikan dewa kecil yang tak bisa dikritik dan bebas cela.
Di tengah kemunduran moral dan krisis makna, masyarakat butuh cahaya spiritual. Namun, cahaya itu seharusnya membebaskan, bukan menyilaukan.
Agama tidak pernah lahir untuk menundukkan manusia kepada manusia lainnya. Namun berbeda halnya dengan jemaah tarekat. Mereka dengan sepenuh hati tunduk tanpa suara—karena di sini, kebenaran bukan milik yang mencari, tapi yang diwarisi semata.