Penulis: Arif
Editor: Nauval
Sebagai manusia, berbicara adalah hal yang sangat wajar, bahkan merupakan kebutuhan. Namun, tak kalah wajar—dan bahkan lebih penting di banyak kesempatan—adalah diam.
Bukan sekadar diam, tetapi diam dengan kesadaran, diam dengan perhatian, dan diam untuk mendengarkan.
Kita hidup di zaman yang penuh kegaduhan. Semua orang ingin berbicara. Semua ingin didengar. Semua ingin tampil dengan segala hal yang ia miliki. Media sosial memberi kita mimbar untuk menyuarakan pikiran, opini, bahkan keluh kesah, kapan pun kita mau.
Kita diajarkan bagaimana menyusun kalimat yang menarik, bagaimana memengaruhi orang lain lewat kata-kata, bagaimana membungkus pendapat kita agar terlihat meyakinkan. Akan tetapi, siapa yang mengajarkan kita untuk diam dan menyimak?
Ada begitu banyak buku ataupun kursus—gratis hingga bernilai jutaan rupiah—tentang public speaking, tentang menjadi komunikator yang persuasif, tentang tampil percaya diri di depan banyak orang. Namun, sangat sedikit, bahkan nyaris tidak ada, yang mengajarkan bagaimana menjadi pendengar yang baik. Padahal, mendengarkan adalah separuh dari komunikasi. Bahkan, bisa jadi bagian yang lebih penting.
Diam Bukan Berarti Pasif
Kita sering salah sangka. Diam dianggap pasif, kalah, tidak punya pendapat. Padahal, diam bisa menjadi bentuk penghargaan tertinggi terhadap orang lain. Diam bukan tidak berpikir—justru karena kita berpikir, kita memilih untuk mendengarkan terlebih dahulu sebelum menanggapi.
Diam bukan tanda kalah debat—justru karena kita punya kontrol diri, kita menunda balasan sampai kita benar-benar memahami. Kita memilih diam, untuk melangkah lebih jauh ke depan. Atau terkadang kita memilih diam, agar sekadar tidak terikut arus kesesatan di balik topeng mayoritas.
Mendengar untuk Memahami, Bukan untuk Menjawab
Berapa banyak dari kita yang benar-benar mendengarkan? Bukan sekadar menunggu giliran bicara? Bukan sekadar menyiapkan balasan di kepala ketika lawan bicara masih berbicara? Atau, parahnya, menyiapkan hal-hal untuk membungkam lawan.
Mendengarkan yang tulus adalah ketika kita hadir sepenuhnya di hadapan orang lain. Kita meletakkan ego kita, kita mematikan suara-suara dalam kepala yang ingin menyela, dan kita membuka ruang bagi orang lain untuk merasa dipahami.
Setiap Orang Ingin Didengar
Sebagaimana kita ingin dimengerti, orang lain pun ingin hal yang sama. Kadang, orang tidak butuh solusi. Mereka tidak butuh petuah atau nasihat. Mereka hanya ingin didengarkan—dengan sepenuh hati.
Dan itu bukan hal sepele. Kadang, didengarkan adalah bentuk cinta paling sederhana dan paling kuat.
Anak Kecil Belajar Bicara Sejak Dini, Tetapi Kapan Kita Belajar Mendengarkan?
Sejak bayi, kita diajari cara berbicara; dari tangisan, gumaman, kata pertama, dan kalimat lengkap. Kita terus dilatih untuk menyampaikan pikiran dan keinginan kita. Namun, kapan kita dilatih untuk menyimak? Untuk memahami tanpa menghakimi? Untuk menahan diri sebelum menjawab?
Kita tidak otomatis menjadi pendengar yang baik hanya karena kita diam. Mendengarkan adalah keterampilan. Dan seperti keterampilan lainnya, ia harus dilatih. Butuh niat. Butuh kesabaran. Butuh rendah hati.
Diam yang Menghidupkan
Mendengarkan adalah bentuk diam yang aktif. Ia tidak membuat percakapan berhenti, tetapi justru membuat komunikasi hidup.Ia membuat orang lain merasa dilihat. Dihargai. Diterima. Dan bukankah itu yang paling kita butuhkan sebagai manusia?
Di tengah dunia yang penuh suara ini, mari kita belajar untuk menjadi tempat sunyi bagi orang lain. Bukan karena kita tidak punya suara, tetapi karena kita memilih untuk mendengarkan lebih dulu.