close
EsaiResonansi

Agar Kita Menghargai Bahasa Arab sebagai Bahasa Modal

Tujuh puluh enam tahun lalu, ketika kemerdekaan tunai diproklamasikan, rakyat Indonesia menjalani kehidupan bernegaranya tidak serta-merta dengan satu bahasa nasional yang sudah lengkap. Saat itu, bahasa Indonesia sebagai varian baru bahasa Melayu, memang sudahlah lebih maju, tetapi belum dapat dikatakan bulat. Betapa pun ia sudah dinyatakan ditetapkan, sebagai bahasa nasional.

Pada 1950-an, ketika Indonesia lepas seutuhnya dari kungkungan Belanda, wacana untuk mengembangkan bahasa nasional Indonesia menguat dan menggelinding, di antara maksudnya, untuk memenuhi tuntutan-tuntutan dunia modern. Jika tidak, mungkin hingga waktu yang akan lama, masyarakat Indonesia akan mengalami banyak kegagapan untuk berbicara dan menyoal banyak hal yang berkembang dalam arus deras modernisasi.

Proyek pengembangan bahasa itu diimami dan diurus langsung oleh Lembaga Bahasa, yang dibentuk oleh Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan—yang kini namanya semakin melebar. Lembaga itu lalu membentuk panitia, yang di antara tugasnya adalah untuk mengisi kekosongan bahasa Indonesia untuk berbagai istilah teknis. Untuk kebutuhan itu, delapan seksi kemudian dibentuk.

Seksi-seksi itu menjadi tempat berkumpul dan berbincang para cendekiawan lintas keilmuan. Di sana mereka membahas pembentukan istilah-istilah baru sesuai dengan bidang keilmuan mereka, demi satu bahasa nasional yang lebih memadai.

Istilah-istilah baru tersebut kemudian diajukan, lalu diseleksi oleh para panitia sebagai pembuat keputusan akhir. Seleksi itu merujuk pada daftar hierarki bahasa-bahasa sumber yang telah ditentukan, yaitu

  1. bahasa Indonesia (bahasa Melayu);
  2. istilah-istilah yang sudah lumrah dari bahasa daerah, terutama bahasa Jawa;
  3. bahasa Arab;
  4. bahasa Sanskerta;
  5. istilah-istilah internasional yang telah dipakai luas, umumnya istilah latin; dan bahasa-bahasa lain, termasuk bahasa Inggris dan bahasa Belanda.

Kita bisa melihat posisi penting bahasa Arab di sana. Dan sudah barang tentu, dalam dialektika atau agenda pengembangan bahasa nasional itu, bahasa Arab tidak sekonyong-konyong muncul sebagai salah satu bahasa modal atau sumber utama. Bahasa Arab sudah, lebih dari satu milenium lamanya—sejak Islam masuk ke Nusantara—turut menggenangi kebudayaan kita.

Apa yang hendak saya katakan, bahwa bahasa Arab mempunyai pengaruh berlapis-lapis bagi perkembangan bahasa nasional kita; sejak infiltrasinya ke dalam bahasa Melayu berabad-abad lalu hingga pada tahap pengembangan bahasa nasional pasca-kemerdekaan.

Dengan pengaruh yang begitu nyata dan signifikan, agaknya tidaklah berlebihan, jika kita menyimpulkan bahwa kita tak akan dapat berbahasa Indonesia dengan mudah dan jelah tanpa melibatkan istilah-istilah yang bersumber dari bahasa Arab, bahkan dalam satu percakapan sehari-hari di warung kopi yang begitu sederhana sekalipun.

Memahami sejarah kebahasaan kita dan bagaimana kontribusi bahasa Arab di dalamnya, barangkali hari-hari ini menjadi semakin penting, di tengah rasisme terselubung anti-Arab yang, rasanya-rasanya, kian menggeliat dan menyelinap di sana-sini.

Bagi orang yang mendekap sungguh nilai-nilai Pancasila, tidaklah sulit untuk menghargai kontribusi luhur suatu peradaban; suatu bangsa, suatu bahasa.

Bahan Bacaan:
Boyd R. Compton, “Bahasa Nasional Indonesia” dalam Kemelut Demokrasi Liberal (Surat-Surat Rahasia Boyd R. Compton).
Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya (Jilid 2: Jaringan Asia).

Penulis: Nauval Pally Taran
Editor: Teuku Zulman Sangga Buana

Tags : arabbahasaindonesiasorotantrending

The author Redaksi Sahih

Leave a Response