close
Esai

‘Proklamasi Kedua’ Indonesia dan Teladan Natsir

Sumber Foto: Fuad Nasar

Penulis: Misbahul

Pada awal kemerdekaan, saat negara ini berbentuk federal dan rentan akan disintegrasi, sosok Mohammad Natsir muncul dengan semangat nasionalisme Islam yang tinggi. Lewat Mosi Integral yang diajukan pada 3 April 1950, Natsir berhasil menyatukan negara-negara bagian menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang oleh Hatta bahkan disebut sebagai Proklamasi Kedua. Keberanian dan kebijaksanaannya dalam mengutamakan dialog dan persatuan telah menginspirasi banyak generasi untuk menjaga keutuhan dan kedaulatan bangsa.

Mosi Integral Mohammad Natsir adalah salah satu hal penting dalam sejarah Indonesia yang menjadi titik balik dalam penyatuan kembali bangsa setelah terpecah oleh sistem federal. Dalam pidatonya di parlemen pada 3 April 1950, Natsir menegaskan pentingnya memperhatikan suara rakyat dari berbagai daerah serta mosi-mosi yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Ia menekankan bahwa penghapusan daerah-daerah buatan Belanda dan penyatuan kembali ke dalam Republik Indonesia harus dilakukan secara kompak dan terencana, sehingga menjadi program politik baik bagi pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) maupun pemerintahan yang bersangkutan.

Dorongan untuk kembali ke bentuk negara kesatuan didasari oleh berbagai faktor. Selain pergolakan hebat yang terjadi di Negara Sumatera Timur, tantangan yang dihadapi Indonesia sebagai negara yang masih belia juga semakin berat. Persoalan kesejahteraan rakyat menjadi isu mendesak, sementara sisa-sisa kolonialisme tetap menjadi penghambat yang mengganggu, seperti duri dalam daging. Natsir sendiri mengungkapkan bahwa meskipun Indonesia telah merdeka, struktur kolonial dan alat-alat politik buatan Van Mook masih bercokol di berbagai daerah, menghambat integrasi nasional.

Pentingnya Mosi Integral makin ditegaskan dalam pidato kenegaraan Sukarno pada 17 Agustus 1950. Ia menyatakan bahwa mosi tersebut menjadi salah satu faktor utama yang meruntuhkan federalisme di Indonesia.

Mosi Integral adalah sebuah langkah konkret yang berhasil mengembalikan Indonesia ke bentuk negara kesatuan. Mosi ini juga menjadi bukti nyata komitmen para tokoh Islam dalam menjaga keutuhan NKRI. Dengan inisiatifnya, Natsir tidak hanya menyelamatkan Indonesia dari potensi disintegrasi, tetapi juga memperlihatkan bagaimana politik Islam dapat berperan aktif dalam memperkuat persatuan nasional.

Dalam wawancaranya dengan Tempo, Natsir menjelaskan bagaimana proses pengembalian Indonesia ke bentuk negara kesatuan memerlukan strategi dan pendekatan yang cermat. Setelah Konferensi Meja Bundar (KMB), RIS terbentuk dengan berbagai negara bagian di dalamnya. Namun, meskipun ada keinginan untuk kembali ke NKRI, para pemimpin negara bagian enggan membubarkan diri secara sepihak. Oleh karena itu, Natsir melakukan dialog dengan berbagai fraksi di parlemen RIS, termasuk Partai Katolik, Partai Kristen, hingga PKI. Dari diskusi tersebut, ia menyimpulkan bahwa penyatuan kembali Indonesia harus dilakukan melalui proses kolektif yang melibatkan semua pihak.

Dengan disetujuinya Mosi Integral, jalan menuju pembubaran RIS terbuka lebar. Diplomasi politik yang dimainkan Natsir menunjukkan bahwa penyatuan Indonesia bukanlah hasil keputusan sepihak, tetapi merupakan buah dari negosiasi panjang dengan berbagai kelompok yang memiliki kepentingan berbeda. Akhirnya, pada 6 September 1950, Natsir diangkat menjadi Perdana Menteri Indonesia, memimpin kabinet yang menandai berakhirnya sistem federal dan kembalinya negara kesatuan. Kepercayaan yang diberikan Sukarno kepada Natsir dalam posisi tersebut menunjukkan bahwa, meskipun mereka memiliki perbedaan ideologi, Natsir tetap diakui sebagai tokoh yang berintegritas dan berperan besar dalam penyelamatan bangsa.

Negarawan Bersahaja

Mohammad Natsir adalah sosok pemimpin yang hidup dalam kesederhanaan, menjadikan perjuangan bagi bangsa sebagai tujuan utamanya. Dalam wawancaranya dengan Tempo, ia menegaskan bahwa saat mengajukan Mosi Integral, tak sedikit pun terlintas di benaknya untuk mengejar jabatan atau keuntungan pribadi. Baginya, persatuan Indonesia jauh lebih penting daripada keinginan pribadi atau kepentingan politik sesaat.

Kesahajaan adalah prinsip hidup yang dipegang dengan amat teguh. Salah satu kisah yang menggambarkan hal itu adalah saat ia menolak pemberian sebuah mobil Chevrolet Impala yang sudah terparkir di rumahnya. Kepada anak- anaknya, ia berujar tegas, “Mobil itu bukan hak kita. Lagi pula yang ada masih cukup.”  Baginya, menerima sesuatu yang bukan haknya adalah sebuah bentuk ketidakadilan yang harus dihindari. Setelah menjabat sebagai Perdana Menteri, Natsir memang menolak dana taktis yang dianggap bukan haknya dan memilih pulang dengan membonceng sepeda sopir pribadinya.

Kehidupan pribadinya pun jauh dari kemewahan. Saat menjabat sebagai Menteri Penerangan pada awal 1946, Natsir dan keluarganya tinggal menumpang di rumah Prawoto Mangkusasmito. Ketika pusat pemerintahan berpindah ke Yogyakarta, mereka kembali menumpang di paviliun milik Haji Agus Salim. Baru pada akhir 1946 mereka memiliki tempat tinggal sendiri di Jalan Jawa, rumah yang dibeli pemerintah dari seorang saudagar Arab dan diberikan kepada Menteri Penerangan. Namun, rumah itu diisi dengan perabotan bekas yang mereka kumpulkan sedikit demi sedikit. “Kami mengisi rumah itu dengan perabot bekas,” kenang anak Natsir, Sitti Muchlisah.

Kesederhanaan Natsir juga menjadi perhatian para tokoh luar negeri. Profesor George McTurnan Kahin dari Universitas Cornell, yang pertama kali bertemu dengannya di Yogyakarta, begitu terkejut melihat kondisi seorang menteri yang sangat jauh dari kesan pejabat negara pada umumnya. “Pakaiannya sungguh tidak menunjukkan ia seorang menteri dalam pemerintahan,” ujar Kahin. Ia melihat sendiri bahwa jas yang dikenakan Natsir bertambal, sedangkan kemejanya hanya dua setel dan sudah lusuh. Bayangkan, seorang pejabat tinggi negara yang tetap mengenakan jas bertambal di sana-sini dan hanya memiliki dua set pakaian kerja.

Kesederhanaan adalah bagian dari hidup Natsir. Ia percaya bahwa jabatan bukan untuk dinikmati, melainkan untuk dipertanggungjawabkan. Dalam setiap langkah perjuangannya, ia menunjukkan bahwa pemimpin sejati bukanlah mereka yang mengejar kehormatan pribadi, melainkan mereka yang mengabdikan diri sepenuhnya bagi kepentingan rakyat dan bangsa.

Editor: Nauval Pally Taran

Tags : bangsa indonesiademokrasifederalindonesiamasyarakatmasyumimosi integralmuslimnatsirnegaraNKRIpolitikproklamasirepubliksejarahumat Islamuud 1945

The author Redaksi Sahih