Penulis: Arif Rinaldi
Editor: Nauval Pally T
Siapa yang tak kenal media sosial? Hampir seluruh lapisan masyarakat mengenal dan menggunakannya melalui ponsel pintar mereka.
Media sosial adalah pisau bermata ganda yang bisa digunakan untuk kebaikan atau sebaliknya, memberikan keburukan bagi penggunanya.
Di media sosial, video singkat berdurasi beberapa detik seolah-olah menjadi jati diri seseorang. Pun demikian pula celotehan komentar di berbagai post yang mungkin hanya sekadar iseng, berujung runtuhnya kehormatan pihak-pihak tertentu.
Orang miskin mampu tampil bak raja yang memiliki segalanya. Para penipu ulung memiliki topeng seolah-olah mereka orang-orang paling bermartabat. Siapa saja bisa menjadi korban. Siapa pun bisa menjadi penyerang. Begitulah kehidupan di media sosial, penuh sandiwara dan praduga.
Bermodalkan potongan-potongan video tanpa sumber yang kredibel, banyak oknum berusaha mengait follower demi kekuatan semu yang dikenal popularitas. Hingga seolah-olah dialah yang menjadi standar kebenaran. Orang-orang tak memedulikan apakah statement yang ia ucapkan memiliki landasan atau tidak. Kebanyakan mereka hanya peduli dengan nominal like, follower, dan share yang fantastis, influencer katanya.
Ketika sebuah panah mengarah ke sang idola, serta merta para pengikut buta menggunakan angka-angka tadi sebagai tembakan balik. “Memangnya follower kamu berapa?”
Sikap Seorang Muslim terhadap Media Sosial
Kita, orang-orang beriman, telah diperintahkan untuk menjauhi fitnah dan praduga.
Allah taala berfirman dalam Al-Qur’an,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ
Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang. [Al-Hujurat:12].
Bukankah ayat ini menjadi cambuk bagi kita untuk tidak bermudah-mudahan menggiring opini di media sosial? Hanya bermodalkan sebuah potongan video singkat atau sebuah tulisan dari suatu akun, seolah-olah orang-orang telah mengetahui seluruh seluk-beluk kehidupan orang tersebut. Mereka hanya mengandalkan prasangka di benak yang seringkali prasangka itu salah. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk menjaga kehormatan seorang muslim.
Demikian juga hadis dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Akan terjadi banyak fitnah. Pada masa itu, orang yang duduk lebih baik daripada orang yang berdiri. Orang yang berdiri lebih baik daripada orang berjalan. Orang yang berjalan lebih baik daripada yang berlari. Barangsiapa yang melawannya, ia akan tergilas. Barangsiapa menemukan tempat berlindung, maka hendaklah ia berlindung diri di sana. [HR Bukhari].
Bukankah sudah nyata dampak yang terjadi di antara kita? Seorang anak dengan gampangnya menjatuhkan martabat keluarganya sendiri karena tingkahnya di media sosial. Inilah salah satu fitnah yang terpampang nyata di hadapan kita.
Manusia tersibukkan dengan berbagai isu di dalamnya yang sebenarnya tidak akan memengaruhi keseharian mereka. Di saat yang sama, malah mengabaikan berbagai hal-hal penting di sekitar mereka.
Hendaknya seorang muslim benar-benar memerhatikan tujuan ia menggunakan media sosial. Bukankah seseorang akan merasa malu bilamana aib jejak digital masa lalunya dibongkar dan disebarkan? Maka ketahuilah bahwa meski jejak digital tersebut terhapus, maka jejak di dalam kitab amal telah tertulis, sekecil apa pun itu.
Bilamana ia perhatikan bahwa sekian waktunya hanya terbuang sia-sia tanpa mendapatkan faedah yang berarti melalui media sosial, apa lagi pertimbangan yang harus ia pikirkan untuk tak meninggalkannya? Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menasehatkan bahwa di antara tanda baiknya keislaman seseorang adalah dengan meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya?
Lantas, jika ia tidak mendapatkan manfaat dari media sosial yang ia gunakan, bahkan justru mendapatkan berbagai mudarat (jadi lebih sibuk terhadap urusan orang lain, gibah terhadap saudara seimannya, bahkan namimah) apa lagi yang menahannya dari menghapus berbagai aplikasi yang ada di ponsel pintarnya?