close
Dunia TengahOpini

Hubungan Arab Saudi-Amerika Serikat, Kemitraan Strategis yang Setara

Sumber Foto Ilustrasi: Freepik

Penulis: Teuku Zulman Sangga Buana
Editor: Nauval Pally T

Angkatan bersenjata India barangkali tidak membayangkan sebelumnya jika mereka akan dipermalukan militer Pakistan di langit Kashmir awal bulan ini. Dunia internasional terkejut, sementara dunia muslim menyambutnya dengan gegap gempita.

Tak lama berselang, Arab Saudi turut membuat kejutan di panggung global dengan komitmen investasi ke Amerika Serikat senilai hampir 10.000 triliun rupiah. Donald Trump mengumumkan megarencana tersebut ketika berkunjung ke Riyadh—lawatan luar negeri pertama pada masa jabatan keduanya sebagai Presiden AS.

Peristiwa besar kedua ini tidak begitu mendapatkan sambutan riuh publik dunia Islam karena wujudnya tidak sekasat mata seperti dijatuhkannya jet-jet tempur India oleh angkatan udara Pakistan. Lagi pula, memang butuh waktu untuk memahami detail dan kompleksitasnya dengan baik. Komentar yang terburu-buru akan melahirkan keliru tafsir belaka dan memperkeruh pemahaman publik.

Gedung Putih dalam rilis resminya menyebut kesepakatan ini adalah sesuatu yang bersejarah bagi kedua negara. Sebuah kesepakatan yang menandai era keemasan baru kemitraan antara Amerika Serikat dan Arab Saudi.

Bagi Amerika, ini juga berarti penjualan senjata terbesar dalam sejarah mereka, angkanya mencapai lebih dari 2.000 triliun rupiah. Bagi Arab Saudi, ini merupakan penegasan kuat tentang pengaruhnya yang makin meningkat dalam panggung internasional dan sinyal yang jelas bahwa Gedung Putih memandang mereka sebagai aktor utama di kawasan.

Perlu digarisbawahi, investasi itu tidak saja mencakup sektor pertahanan, tetapi juga meliputi berbagai sektor, antara lain, kecerdasan buatan, energi, pertambangan, dan kebudayaan. Investasi itu melibatkan perusahaan-perusahaan raksasa kedua negara, seperti Google, Oracle, Uber, dan Data Volt.

Namun, itu semua tampak belum cukup untuk mengubah persepsi negatif sebagian pihak terhadap Arab Saudi. Apalagi bagi mereka yang bersikukuh menganggap hubungan antara Arab Saudi dan Amerika Serikat ialah sebuah hubungan yang tidak setara.

Masih banyak yang bergeming dan berpegang teguh pada stigma Arab Saudi adalah subordinat AS. Lebih jauh lagi, negeri Petrodolar itu dianggap hanyalah komprador, kaki tangan, atau bahkan boneka Paman Sam.

 

Hubungan yang Setara

Nyatanya, relasi antara kedua negara itu bukanlah hubungan hierarkis, melainkan hubungan strategis yang saling menguntungkan. Artinya, sebuah hubungan bilateral yang setara.

The New York Times dalam artikelberjudul “Trump’s Pledge to the Middle East: No More ‘Lectures on How to Live’” mengabarkan bahwa Donald Trump menekankan pendekatan nonintervensi terhadap negara-negara Timur Tengah, termasuk Arab Saudi. Pernyataan yang dapat diartikan sebagai pengakuan terhadap kedaulatan dan peran independen negara-negara tersebut dalam menentukan kebijakan mereka sendiri.

Kemitraan strategis itu tidak selalu terlihat dan dipahami oleh publik. Sebabnya, antara lain, penyederhanaan kompleksitas persoalan oleh media internasional dan media yang hanya menyalin tempel (copy paste) pemberitaan tersebut.  

Liputan media internasional, terutama di Barat, sering menggambarkan Arab Saudi sebagai sekutu yang bergantung pada perlindungan militer dan politik Amerika Serikat. Narasi tentang bagaimana Arab Saudi memanfaatkan relasinya dengan AS untuk kepentingan nasionalnya sendiri masih jarang mendapatkan porsi yang layak.

Riyadh Kerap Menantang Washington

Padahal, sejarah mencatat Arab Saudi sebenarnya sering berbeda pandangan dengan Amerika Serikat. Riyadh kerap mengambil jalan yang tidak ditempuh oleh Washington. Perbedaan itu beberapa kali tampak cukup tajam.

Pada tahun 1973—1974, beragam sumber menyebutkan Arab Saudi memimpin Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) memberlakukan embargo terhadap Amerika Serikat sebagai balasan atas keputusan AS mempersenjatai militer Israel. Larangan ekspor minyak tersebut benar-benar memukul perekonomian AS saat itu.

Di samping itu, Arab Saudi secara terang-terangan menentang kebijakan AS terkait dengan Arab Spring. Kebijakan ini menunjukkan bahwa Riyadh punya agenda kawasan sendiri. Arab Saudi melihat gelombang revolusi tersebut sebagai ancaman serius bagi stabilitas kawasan.

Adapun AS cenderung melihatnya sebagai peluang demokratisasi, yang terbukti keliru. Musim Semi Arab berujung pada kegagalan sebab hanya berhasil menumbuhkan demokrasi di satu negara saja, yakni Tunisia—tempat gerakan protes itu bermula (Nostalgiawan Wahyudi, 2020: x).

Terakhir, ketidakterlibatan Arab Saudi dalam Perjanjian Abraham juga menunjukkan penentangan terhadap tekanan AS. Bahkan, setelah proses diplomatik yang intensif selama pemerintahan Joe Biden, Arab Saudi tetap menolak normalisasi hubungan dengan Israel. Penolakan itu makin nyata setelah terjadinya serangan 7 Oktober dan bertahan hingga kini.

Semua ini menunjukkan bahwa hubungan antara Arab Saudi dan Amerika Serikat merupakan kemitraan strategis yang kompleks dan dinamis. Transformasi Arab Saudi terkini bahkan makin menunjukkan dirinya sebagai mitra yang setara dan lebih berpengaruh.

Dengan demikian, narasi yang menyederhanakan hubungan bilateral mereka sebagai relasi subordinatif jelaslah tidak tepat. Jangan sampai, itu menjadi narasi kebencian semata. Semoga yang sedikit ini dapat mengetuk hati dan pikiran yang masih tertutup akan realitas.

Tags : Amerika Serikatarabarab saudiberita internasionalgeopolitikinternasionalislamPalestinaPBBPerangpolitiktimur tengahumat Islam

The author Redaksi Sahih