Penulis: Arif Rinaldi
Editor: Ibnu Amirul
Pernahkah Anda mendengar bahwa tingkat minat baca negara Indonesia termasuk peringkat terendah? Sebenarnya, apa yang menjadi sebab banyaknya orang Indonesia yang enggan membaca buku? Apakah memang karena penduduknya (baca: kita) malas, atau di sana ada faktor lainnya?
Ada beberapa faktor yang memengaruhi hal tersebut, mulai dari kesadaran pribadi, rendahnya fasilitas membaca, dan faktor lainnya. Namun, mari kita mulai dari salah satu hal dasar yang berkaitan dengan membaca: buku.
Tulisan ini akan mengecualikan buku elektronik, karena dalam banyak kasus, keberadaannya di dalam perangkat hanya menjadi pelengkap—tersimpan, tapi jarang dibuka. Terlalu sering, buku digital hanya menjadi simbol niat membaca yang tak pernah terwujud.
Ketika membahas tentang literasi atau membaca, sudah pasti yang menjadi perhatian utama adalah buku. Di Indonesia, khususnya di daerah-daerah non-kota, sayangnya buku terbukti masih menjadi barang tersier — atau bahkan mewah —yang hanya akan dibeli oleh kalangan tertentu saja. Penyebabnya tidak lain karena harganya yang, bagi kebanyakan orang, cukup mahal. Tentunya buku bajakan tidak menjadi objek pembahasan di sini.
Sebagai perbandingan, penulis mengambil data harga buku “Fellowship of The Rings” (versi bahasa Inggris, bukan terjemahan) di beberapa negara dan perbandingannya dengan gaji rata-rata pegawai kantor di daerah ibu kota negara tersebut. Penulis juga tidak akan mengonversi mata uang ke rupiah, karena akan memengaruhi persepsi mahal atau murahnya suatu barang. Negara yang menjadi objek perbandingan adalah negara tetangga kita, Malaysia, lalu dua negara yang dikatakan memiliki tingkat minat baca yang tinggi, Jepang dan Finlandia.
Merujuk dari berbagai sumber, harga buku The Fellowship of the Ring di Indonesia berkisar di angka Rp150.000. Sementara itu, rata-rata gaji karyawan kantoran di Jakarta adalah sekitar Rp7.450.000 per bulan. Artinya, dengan seluruh gajinya dalam sebulan, seseorang bisa membeli sekitar 50 buku.
Mari bandingkan dengan negara tetangga kita, Malaysia. Di sana, buku yang sama dijual dengan harga sekitar RM50. Rata-rata gaji karyawan kantoran di Kuala Lumpur mencapai RM3.913, yang berarti mampu membeli sekitar 78 buku per bulan.
Lalu bagaimana dengan negara lain yang dikenal memiliki budaya literasi tinggi?
Di Jepang, harga buku tersebut adalah sekitar JPY1.800. Sedangkan gaji bulanan rata-rata pekerja kantoran di Tokyo mencapai JPY205.000. Dengan begitu, seorang pekerja Jepang bisa membeli sekitar 114 buku per bulan jika menggunakan seluruh gajinya.
Sementara di Finlandia, harga buku yang sama dipatok EUR20. Gaji rata-rata pekerja kantoran di Helsinki sekitar EUR3.500. Itu setara dengan 175 buku dalam sebulan.
Jika kita melihat angka-angka ini, terlihat jelas bahwa meskipun harga buku di Indonesia mungkin lebih rendah secara nominal, rasio daya beli masyarakatnya justru jauh lebih rendah dibanding negara-negara lain. Maka tak heran bila buku masih dianggap sebagai barang mahal yang sulit dijangkau.
Itu hanyalah perhitungan sederhana tentang bagaimana nilai buku di negara Indonesia masih tergolong “barang mewah”. Buku-buku yang ada pun sering kali hanya dibaca sekali lalu disimpan sebagai pajangan. Tidak heran jika banyak orang merasa perlu berpikir dua kali sebelum mengalokasikan penghasilannya untuk membeli buku. “Sayang,” kata mereka. “Dengan uang segitu, saya bisa makan selama beberapa hari.”
Selain harga buku, akses terhadap bahan bacaan juga menjadi persoalan besar. Salah satunya adalah ketersediaan perpustakaan. Dalam poin ini, penulis akan membagi estimasi jumlah penduduk dengan jumlah perpustakaan untuk mengetahui kapasitas yang bisa diberikan oleh sebuah perpustakaan. Tentu saja nilai ini hanya estimasi, mengingat tingkat fasilitas perpustakaan dan kapasitas penduduk di tiap daerahnya juga berbeda-beda.
Di Indonesia, per 1 juta penduduknya, tersedia sekitar 293 perpustakaan. Untuk Malaysia terdapat 312 perpustakaan. Lain lagi dengan Finlandia yang ketersediaannya mencapai 545 perpustakaan. Adapun Jepang hanya 27 perpustakaan.
Sebenarnya, Indonesia memiliki perpustakaan yang cukup banyak, tetapi mengingat jumlah populasi dan bentuk negara kepulauan, hal ini menyebabkan masih banyaknya penduduk yang mengalami kesulitan untuk mengakses perpustakaan. Sebagian pembaca mungkin melihat Indonesia lebih baik dari Jepang dalam poin ini. Namun, ada fasilitas lain yang juga menjadi poin perhatian untuk akses membaca: toko buku.
Melalui metode yang sama, diperoleh hasil yang mengejutkan. Indonesia hanya memiliki sekitar 1,13 toko buku per satu juta penduduk. Bandingkan dengan Jepang yang memiliki 85 toko, Malaysia 24, dan Finlandia yang luar biasa dengan 545 toko buku per satu juta penduduknya.