close
Kabar Nasional

Anomali Cuaca: Indonesia dalam Kemarau Basah

Sumber Foto: CNN Indonesia

Pewarta: Ben Hamid
Editor: Nauval

Meski sudah memasuki musim kemarau, banyak wilayah di Indonesia masih diguyur hujan. Fenomena ini dikenal sebagai kemarau basah.

Anomali cuaca seperti ini dilatari oleh beberapa faktor global, seperti pemanasan global dan La Nina, tulis Global Atmosphere Watch di halaman websitenya.

Berbeda dengan musim kemarau pada umumnya di Indonesia—yang berlangsung April hingga Oktober—ditandai curah hujan rendah (<50 mm per dasarian), langit cerah, suhu tinggi, dan kelembapan udara yang rendah, kemarau basah justru kondisi di mana hujan masih turun secara berkala pada musim kemarau.

Musim kemarau biasanya identik dengan cuaca panas dan hujan yang nyaris tak turun. Namun dalam kemarau basah, hujan tetap terjadi dengan intensitas yang cukup tinggi, meski frekuensinya lebih jarang.

Menurut BMKG, kemarau basah dipicu oleh dinamika atmosfer regional dan global, seperti suhu muka laut yang hangat, angin monsun aktif, serta La Nina dan Indian Ocean Dipole (IOD) negatif.

Dampaknya, hujan tetap turun meski sudah masuk musim kemarau. BMKG menyatakan La Nina sedang menuju fase netral. La Nina sendiri adalah fenomena pendinginan suhu laut di Pasifik tengah yang bisa meningkatkan curah hujan di Indonesia, khususnya di wilayah dengan perairan hangat.

Publikasi Klima Edisi VI 2022 juga menyebut La Nina dapat memicu anomali cuaca, termasuk terjadinya kemarau basah di Indonesia, melansir dari global Atmosphere Watch.

Sementara itu, menurut Ahli Meteorologi IPB University Sonni Setiawan, fenomena ini terjadi bukan hanya karena pola monsun dan anomali iklim global, tetapi juga dipengaruhi oleh aktivitas matahari, khususnya sunspot.

“Saat ini tidak ada indikasi kuat El Niño atau La Niña, begitu pula dengan IOD. Yang menarik justru adalah aktivitas sunspot yang berulang setiap 11 tahun dan sedang berada pada puncaknya sejak 2024 dan masih aktif pada 2025,” ungkapnya.

Sunspot, atau bintik matahari, adalah area gelap di permukaan matahari yang menunjukkan meningkatnya aktivitas radiasi. Ketika sunspot meningkat, matahari memancarkan lebih banyak partikel energi tinggi seperti sinar kosmik.

Partikel ini dapat mempercepat proses kondensasi di atmosfer dan meningkatkan pembentukan awan, sehingga memperbesar kemungkinan hujan deras.

“Sunspot juga memperbesar gradien potensial listrik dalam awan, sehingga hujan disertai petir lebih sering terjadi. Inilah salah satu faktor yang membuat curah hujan meningkat, bahkan di musim kemarau,” kata Sonni, melansir laman resmi IPB University, Selasa (10/6).

Kemarau basah memberi dampak signifikan di berbagai sektor, terutama pertanian. Fenomena ini dapat menyebabkan kerugian, terutama bagi tanaman yang sensitif terhadap kelembapan tinggi.

BMKG menyebutkan bahwa sebagian wilayah Indonesia saat ini mengalami kemarau basah. Fenomena ini diperkirakan berlangsung hingga Agustus 2025, diikuti masa transisi (pancaroba) pada September–November, dan musim hujan mulai Desember 2025 hingga Februari 2026.

Akumulasi curah hujan selama musim kemarau diperkirakan normal di sebagian besar wilayah. Puncak kemarau diprediksi terjadi pada Agustus 2025, dengan waktu puncak yang cenderung sama atau lebih awal dari biasanya. Sementara itu, durasi musim kemarau 2025 diprediksi lebih pendek dari normal di 298 ZOM (43%).

Fenomena kemarau basah menjadi pengingat bahwa pola iklim tak lagi bisa diprediksi seperti dulu.

Di tengah perubahan iklim global, kesiapsiagaan dan adaptasi menjadi kunci, terutama dalam sektor-sektor krusial seperti pertanian dan ketahanan pangan. Memahami penyebab dan dampaknya adalah langkah awal untuk menyiapkan diri menghadapi kondisi iklim yang kian tak menentu.

Tags : cuacahujanindonesiakemaraukemarau basahpanaspanas ekstremperubahan cuaca

The author Redaksi Sahih