close
EsaiPolitik & Hukum

Di Amerika, Rasisme Juga Terjadi dalam Masalah Air

Sumber Foto Ilustrasi: Pixabay

Dalam sebuah wawancara baru-baru ini, Gisele Fetterman, istri aktivis Senator Demokrat Pennsylvania terpilih John Fetterman, menoleh dengan menyatakan bahwa “secara historis, berenang di Amerika sangat rasis”.

“Ketika Anda melihat statistik (orang-orang yang) tenggelam,” jelasnya, “biasanya terjadi pada anak-anak kulit berwarna (orang yang tidak berkulit putih) karena kurangnya akses.”

Pendukung konservatif dengan cepat mencap komentar Fetterman sebagai “aneh”, tetapi dia benar: Anak-anak kulit hitam tiga kali lebih mungkin untuk tenggelam daripada anak-anak kulit putih di Amerika Serikat, dan rasio itu naik hingga lebih dari lima kali lebih untuk kematian di kolam renang, khususnya.

Dan semua ini karena akses ke kolam, waduk yang tidak tercemar, dan tempat berenang lainnya–seperti air mancur dan keran umum–telah lama dibatasi oleh ras di negara ini. Rasisme, secara harfiah, ada dalam masalah air di Amerika.

Komunitas kulit hitam tidak selalu memiliki hubungan negatif dengan air pada umumnya dan renang pada khususnya.

Banyak komunitas di sepanjang Pantai Barat Afrika telah lama dikenal sebagai perenang hebat dan nelayan ahli. Bagi sebagian dari mereka, berselancar telah menjadi hobi yang umum selama ratusan tahun. Hanya dalam konteks perbudakan, saluran air berubah dari sumber kehidupan, mata pencaharian, dan rekreasi menjadi tempat bahaya dan kematian bagi orang kulit hitam.

Selama perbudakan di AS, saluran air menjadi pedang bermata dua, sebagai sumber kebebasan dan sumber risiko. Kondektur Kereta Api Bawah Tanah seperti Harriet Tubman akan membawa mereka yang melarikan diri dari perbudakan melintasi sungai dan anak sungai, yang keduanya membantu mengusir anjing-anjing yang melacak bau mereka dan berfungsi sebagai landmark alami di jalan menuju kebebasan. Dua sungai besar [Sungai Ohio dan Rio Grande] berfungsi sebagai batas fisik antara Utara dan Selatan, dan juga batas antara kebebasan dan perbudakan. Menyeberangi sungai-sungai ini berarti menavigasi bahaya patroli buronan, medan yang tidak bersahabat, dan tenggelam.

Akan tetapi, setelah berakhirnya perbudakan dan penghentian periode singkat rekonstruksi, penindasan rasial Amerika sepenuhnya ditonjolkan pada soal akses air.

Selama Jim Crow dan segregasi, akses ke air bersih dan aman menjadi sangat diawasi. Kolam renang dan pancuran air minum menjadi pertunjukan penindasan rasial yang sangat umum. Orang kulit hitam, termasuk anak-anak, menghadapi kekerasan hanya karena mencoba mengakses kolam atau air mancur khusus kulit putih.

Penolakan akses yang rasis inilah yang dirujuk Fetterman dalam komentarnya: warisan generasi orang kulit hitam yang rentan tenggelam karena akses yang tidak setara ke fasilitas renang. Praktik pemisahan inilah–bukan pengakuan sejarah Fetterman–yang benar-benar “aneh”.

Dan dari era Jim Crow hingga saat ini, kurangnya akses air bersih telah menyebabkan penderitaan dan kerugian yang sangat besar bagi komunitas kulit hitam jauh melampaui kematian akibat tenggelam. Krisis air yang sedang berlangsung di Flint, Michigan dan Jackson, Mississippi, dua kota dengan mayoritas penduduk kulit hitam, menggambarkan hal ini dengan jelas.

Bukan sekadar kesialan bahwa korban dari dua krisis air paling parah di AS ini sebagian besar berkulit hitam. Statistik dari US Environmental Protection Agency (EPA) menunjukkan tidak hanya bahwa masyarakat kulit berwarna lebih cenderung memiliki air minum yang tidak aman, tetapi juga bahwa masyarakat ini lebih kecil kemungkinannya untuk diberikan dana federal untuk meningkatkan keamanan air.

Hal yang sama tampaknya berlaku ketika banjir.

Orang kulit hitam di Amerika telah lama terkena dampak banjir secara tidak proporsional. Banjir Besar Mississippi tahun 1927 dan banjir di New Orleans akibat Badai Katrina pada tahun 2005–dua bencana alam terburuk dalam sejarah Amerika–keduanya menghancurkan komunitas kulit hitam. Hampir 20 tahun setelah Badai Katrina, banjir di AS terus berdampak secara tidak proporsional terhadap lingkungan kulit hitam dan kesenjangan ini siap untuk tumbuh lebih luas karena perubahan iklim paling parah menghantam komunitas kulit berwarna.

Ada beberapa pelajaran penting yang bisa ditarik dari sejarah panjang dan kotor tentang apa yang saya anggap sebagai “rasisme air” di Amerika.

Pertama, banyak contoh di mana air secara tidak sengaja diubah menjadi senjata mematikan terhadap orang kulit hitam di Amerika menunjukkan bahwa pengabaian dapat sama merusak dan mematikannya dengan kebencian yang sebenarnya, terutama jika digabungkan dengan rasisme sistemik. Krisis air di Flint disebabkan oleh penipuan dan korupsi–akibat langsung dari tindakan kriminal. Namun, situasi di Jackson, yang saat ini sedang diselidiki oleh EPA, tampaknya bukan disebabkan oleh tindakan kriminal pejabat kota, tetapi oleh kurangnya perhatian mereka terhadap kesehatan dan kesejahteraan penduduk kulit hitam yang seharusnya mereka layani.

Kedua, pembuat kebijakan dan institusi sering kali menolak untuk belajar dari bencana yang merenggut nyawa orang kulit hitam dan menghancurkan komunitas kulit hitam–betapapun besarnya. Memang, kegagalan tanggul dan tembok banjir yang memperburuk dampak Banjir Besar Mississippi tahun 1927 tidak mengarah pada tindakan pencegahan yang dapat menyelamatkan New Orleans dari nasib yang sama sekitar 80 tahun kemudian. Dengan cara yang sama, krisis di Flint tidak menimbulkan urgensi bagi para legislator di Mississippi untuk memperbaiki krisis air yang berkembang di belakang mereka.

Semua ini menunjukkan bahwa mengalahkan rasisme air di Amerika, seperti halnya dengan semua aspek rasisme sistemik lainnya di negara ini, akan membutuhkan reformasi politik dan institusional berjangkauan luas, terarah, dan institusional.

Gisele Fetterman membuat komentar yang dianggap “aneh” tentang air yang rasis di Amerika saat membahas bagaimana suaminya membuka kolam rumah gubernur untuk umum saat menjabat sebagai letnan gubernur Pennsylvania. Sementara isyarat itu tidak diragukan lagi membuat perbedaan dalam kehidupan penduduk lokal yang harus menggunakan fasilitas tersebut, tindakan tingkat individu seperti itu tidak lebih dari setetes rasisme Amerika dan manifestasinya di air kita.

Mencegah lebih banyak bencana seperti di Flint atau Katrina atau penenggelaman individu akan mengambil langkah-langkah skala besar untuk memerangi ketidaksetaraan pendapatan rasial, memastikan kesetaraan dalam akses ke infrastruktur publik dan memerangi degradasi lingkungan yang memengaruhi komunitas kulit berwarna secara tidak proporsional.

Amerika sebenarnya memiliki sarana teknologi dan ekonomi yang diperlukan untuk membersihkan semua sumber airnya dengan cepat dari polutan, membangun tanggul yang efektif untuk mencegah banjir di setiap kota yang berisiko, dan memastikan semua anaknya memiliki akses ke fasilitas berenang yang aman. Sayangnya, bagaimanapun, membersihkan perairan kita dan bangsa kita dari polusi rasisme akan membutuhkan upaya pembersihan yang lebih lama dan lebih terarah. Dan masih belum pasti apakah bangsa kita akhirnya siap untuk memulai pembersihan mata air yang sangat dibutuhkan itu.


Penulis:
Christopher Rhodes
Ia adalah Dosen Ilmu Pemerintahan di Universitas Harvard dan dosen Ilmu Sosial di Universitas Boston.

Penerjemah: Muhajir Julizar
Editor Substantif: Nauval Pally Taran
Editor Naskah: Arif Rinaldi

Sumber: Al Jazeera

Tags : airAmerika Serikatkemanusiaanmanusiarasismesorotan

The author Redaksi Sahih