close
Dunia Tengah

Mampukah Suriah Menjadi Teladan Kebangkitan?

Sumber Foto: Pixabay

Penulis: M. Haris Syahputra
Editor: Nauval Pally T

Setelah lebih dari dua dekade dikendalikan oleh tangan besi Bashar al-Assad, Suriah kini berada di ambang perubahan. Negara yang selama ini menjadi simbol instabilitas dan kehancuran akibat perang sipil berkepanjangan, mulai menapaki jalan transisi, yang oleh sejumlah pengamat disebut sebagai titik balik menuju demokrasi.

Namun, di balik upaya reformasi dan wajah baru kekuasaan, muncul pertanyaan besar: Apakah ini benar-benar permulaan baru, atau sekadar kelanjutan narasi lama dalam kemasan yang berbeda?

Selama hampir 24 tahun memimpin, Assad mempersonifikasikan otoritarianisme modern yang meliputi kontrol media yang ketat, pembungkaman oposisi, dan represi sistematis terhadap hak-hak sipil. Sejak pecahnya konflik pada 2011, Suriah terperosok dalam perang saudara yang berlarut-larut.

Menurut data dari United States Institute of Peace (USIP), konflik ini telah menewaskan lebih dari 500 ribu orang dan memaksa lebih dari 13 juta jiwa meninggalkan tanah kelahiran.

Rezim Assad resmi tumbang pada Desember 2024 yang menandai berakhirnya kekuasaan keluarga Assad setelah lebih dari setengah abad memerintah.

Ahmed al-Sharaa, mantan pemimpin oposisi, ditunjuk sebagai Presiden interim dan mengumumkan pembentukan pemerintahan transisi dengan 23 menteri pada Maret 2025.

Menurut laporan Al Jazeera, pemerintah transisi ini menyatakan komitmennya untuk melakukan reformasi menyeluruh, termasuk pembaruan undang-undang, restrukturisasi lembaga keamanan, dan pembangunan kembali sistem keuangan negara.

Pada 24–25 Februari 2025, pemerintah transisi Suriah menggelar Konferensi Dialog Nasional di Damaskus. Sekitar 600 peserta hadir dalam acara ini, terdiri dari perwakilan komunitas lokal, tokoh agama, dan aktivis.

Konferensi tersebut menjadi langkah awal penting untuk membahas arah politik Suriah pasca-kejatuhan rezim Bashar al-Assad. Dalam pidatonya, Presiden interim Ahmed al-Sharaa menekankan pentingnya persatuan nasional dan mengumumkan pembentukan komite keadilan transisional serta dimulainya proses penyusunan konstitusi baru.

Sementara itu, media komunitas seperti Arta FM tetap memainkan peran penting dalam menyebarkan informasi dan mendorong partisipasi warga dalam diskusi seputar hak-hak sipil dan masa depan demokratis Suriah. Meski telah aktif sejak 2013, kehadiran radio semacam ini menjadi semakin relevan di tengah momentum politik baru yang sedang dibangun.

Di ranah diplomasi, sejumlah negara Arab mulai menunjukkan keterbukaan terhadap Suriah pasca-Assad. Uni Emirat Arab dan Oman telah membuka kembali kedutaan mereka di Damaskus serta mengirim delegasi tingkat tinggi ke negara tersebut.

Di sini lain, Amerika Serikat dan Uni Eropa masih enggan memberi dukungan penuh. Mereka masih menuntut komitmen yang lebih konkret terhadap hak asasi manusia dan pemilu yang transparan.

Meski begitu, bayang-bayang masa lalu belum sepenuhnya hilang. Rusia dan Iran—sekutu utama rezim Assad—masih memiliki pengaruh strategis di Suriah, baik melalui dukungan militer maupun ekonomi. Peran kedua negara ini dalam pemerintahan transisi belum sepenuhnya jelas dan menjadi perhatian sejumlah pengamat geopolitik.

Tantangan internal Suriah juga masih sangat besar. Menurut laporan Bank Dunia tahun 2024, perekonomian Suriah mengalami kontraksi tajam, disertai inflasi tinggi, pengangguran meluas, dan depresiasi mata uang pound Suriah. Infrastruktur dasar seperti listrik, air bersih, dan layanan kesehatan masih belum pulih.

Menurut UNHCR, sejak jatuhnya rezim Assad pada Desember 2024, sekitar 400.000 pengungsi telah kembali dari luar negeri, disusul lebih dari 1 juta pengungsi internal yang pulang ke wilayah asal, meski repatriasi masih terkendala soal minimnya peluang ekonomi dan ketidakpastian keamanan.

Namun, meskipun jalan menuju pemulihan penuh terjal, ada tanda-tanda keterlibatan sipil yang kian aktif. Komite lokal dan organisasi masyarakat sipil juga mulai mengambil peran dalam rekonsiliasi dan advokasi hak-hak warga. Generasi muda, yang selama ini tumbuh dalam bayang-bayang konflik, mulai membentuk jaringan aktivisme dan kampanye pendidikan politik.

Suriah hari ini ibarat rumah yang hancur tetapi belum habis. Dindingnya retak, atapnya berlubang, namun pondasinya masih bisa diperbaiki.

Masa transisi ini merupakan peluang sekaligus tantangan. Jika berhasil, Suriah dapat menjadi contoh pemulihan pascakonflik yang ditopang reformasi sejati. Namun jika gagal, negara ini berisiko kembali terjerat dalam siklus represi dan ketidakstabilan.

Dunia menunggu. Rakyat Suriah menanti. Dan Sejarah akan mencatat segala hal yang akan terjadi.

Tags : arabarab saudiberita internasionaldamaiinternasionaliranislamkonflikMiliterPalestinaPerangperdamaianpolitikrusiasuriahtimur tengah

The author Redaksi Sahih