close
EsaiResonansi

Transhumanisme: Agama Baru bagi “Elit” Baru

Sumber Foto Ilustrasi: iStock

Saat ini kita sering mendengar tentang realitas virtual, Metaverse, dll. Disebut bahwa itu semua akan mempercepat kemajuan umat manusia berkat kemajuan teknologi, umumnya mengarah pada kemampuan kognitif manusia melalui apa yang mereka sebut “bioteknologi”.

Joel Kotkin (ahli geografi dan demografi Amerika) menulis buku pada tahun 2020 berjudul The Coming of Neo-Feodalism.

Dalam buku ini dia mendemonstrasikan bagaimana, dalam arti tertentu, kegagalan kapitalisme liberal telah membangkitkan kembali Eropa Abad Pertengahan.

Ada elit—oligarki—yang tumbuh makin kaya dan senang dengan “globalisasi”.

Lalu ada kelas menengah yang menyusut dan kelas pekerja yang sekarat, keduanya sangat dipengaruhi oleh globalisasi yang sama. Dengan demikian mereka menjadi pasukan perbudakan baru (para petani Eropa abad pertengahan yang hidup dalam kondisi seperti budak).

Kelas menengah ini, yang merupakan mayoritas di Barat, bahkan tak lagi mampu memimpikan mobilitas sosial ke atas. Realitas ini, bersama dengan penurunan demografis dan sejumlah krisis lainnya, kemudian mengarah pada keterputusan yang makin menjauhkan apa yang disebut elit dari massa. Yang terakhir menjadi sengsara dan akibatnya menerima cap dari bentuk-bentuk berita radikalisme.

Kotkin menghadirkan banyak perspektif menarik dalam karyanya ini. Salah satu yang akan kita fokuskan secara khusus adalah bagaimana “kepercayaan” atau “agama” baru (kata-katanya) dari oligarki ini, yang dia anggap sebagai “feodalis berteknologi tinggi”, akan mencakup (selain ekologi dan wokisme) apa yang kita sebut sebagai transhumanisme.

Dia menulis di bab 9:

“Meskipun kedengarannya agak seperti kultus yang aneh, transhumanisme telah lama menjadi daya tarik yang kuat bagi para elit Silicon Valley (…) tujuannya adalah untuk “mengembangkan dan mempromosikan realisasi ketuhanan berdasarkan Kecerdasan Buatan.”

Dalam beberapa hal, transhumanisme tampak wajar bagi mereka yang menganggap teknologi di atas segala nilai lainnya. Itu membuang realitas fisik dan emosional untuk menjadi anggota gereja. (…)

Keyakinan baru ini merupakan terobosan besar terhadap agama tradisional. Kristen, Yudaisme, dan Islam menekankan kesetaraan esensial manusia (setidaknya di antara orang beriman), dan memerintahkan tindakan amal dan perbuatan baik lainnya terhadap yang kurang beruntung. Ajaran-ajaran ini pada akhirnya akan masuk ke dalam pemikiran demokratis dan egaliter, khususnya di Barat. Namun, kesetaraan bukanlah sesuatu yang menjadi perhatian para transhumanis. Sebaliknya, Yuval Noah Harari melihat masa depan di mana “elit kecil dan spesial dari manusia yang di-upgrade” mendapatkan kendali atas masyarakat dan menggunakan rekayasa genetika untuk memperkuat status superior keturunan mereka. Tujuan mereka bukan untuk mengikuti Hukum Tuhan, tetapi untuk menjadi Tuhan itu sendiri, melalui semacam evolusi yang terarah dan dipercepat.

Jadi, transhumanisme secara sempurna selaras dengan “feodalisme teknologi tinggi” ini, di mana minoritas perintis teknologi yang “tercerahkan” menganggap diri mereka lebih unggul dari massa; sejauh mereka bercita-cita untuk “melampaui” hal yang menghubungkan mereka: sifat manusia.

Fokus kita di sini bukanlah tipikal hipokrasi liberal yang mendorong egalitarianisme atas nama demokrasi, feminisme, wokisme, dll. sekaligus membentuk kembali diri mereka sendiri menjadi “Tuhan zaman baru” melalui bioteknologi.

Kita akan mendemonstrasikan bagaimana transhumanisme sebenarnya hanyalah bentuk lain dari Setanisme.

Sejarah Singkat (Tak Abadi) Transhumanisme

Secara umum, dikatakan bahwa transhumanisme berakar pada fiksi ilmiah modern. Tapi itu hanya sastra. Tak ada proyek yang koheren untuk secara praktis memengaruhi biologi manusia secara langsung.

Orang lain seperti David Livingstone menghubungkannya lebih jauh lagi dengan sihir abad pertengahan, seperti Kabbalah Yahudi dan konsep “golem”.

Roberto Manzocco menghubungkannya dengan Mesopotamia kuno, dengan Epic of Gilgamesh dan pencariannya akan keabadian.

Apa yang sangat jelas dengan transhumanis adalah bahwa, terlepas dari perbedaan formal mereka di sana-sini, mereka semua menginginkan keberadaan yang abadi dan ingin mengatasi kematian.

Oliver Kruger dalam karyanya baru-baru ini tahun 2021 tentang sejarah transhumanisme, dengan judul yang tepat, Keabadian Virtual, mengatakan bahwa dua pendiri agama sekuler yang dapat dilacak ini adalah Robert Ettinger dan Fereidoun Esfandiary (lebih dikenal sebagai “FM-2030”). Dan, seperti yang akan kita lihat, kedua individu ini menakuti ide kematian.

Robert Ettinger

Ettinger dikenal sebagai bapak kriogenik, yaitu pembekuan suhu rendah yang seharusnya menjaga tubuh manusia tetap utuh sehingga bisa “dibangkitkan” di kemudian hari. Ettinger berteori dalam sebuah buku tahun 1962 dan, sebagai bagian dari eksperimennya, dia bahkan membekukan tubuh ibunya, istri pertama dan istri keduanya.

Kruger juga mengungkapkan bagaimana ciri lain dari Ettinger—selain dari pencariannya akan keabadian—adalah anti-humanismenya. Ettinger secara eksplisit menulis bahwa kemanusiaan itu sendiri adalah penyakit yang harus dilampaui melalui teknologi.

Selain hal-hal aneh yang ia ambil dari literatur fiksi ilmiah pada masanya (“pelindung kulit”, “organ elektronik”, dll.), Kruger juga mencatat kedekatan Ettinger dengan feminisme sebagai bagian dari gagasannya tentang kemanusiaan baru.

Kruger menulis di hal. 70:

Jenis kelamin baru dan alat kelamin baru akan dibangun, yang dapat dipertukarkan sesuka hati. Ettinger berusaha membebaskan perempuan dari “penyakit melahirkan”, yang mendegradasi tubuh perempuan menjadi perbudakan semu selama hampir sembilan bulan, dan kemudian mereduksinya menjadi mesin biologis selama menyusui. Sebaliknya, Ettinger membayangkan seksualitas dibebaskan dari beban reproduksi untuk alih-alih hanya melayani tujuan superorgasme abadi (…) kombinasi liberalisme ekonomi dan transhumanisme yang biasa digunakan oleh para ekstropian saat ini sebenarnya telah dirumuskan oleh Ettinger.

Perang salib melawan keibuan ini tampaknya merupakan retorika feminis radikal yang khas. Tidak mengherankan jika para transhumanis penganutnya berdampingan dengan liberalisme ekonomi. Pada akhirnya, semua ideologi modernis hanyalah cabang dari agama yang sama.

Lalu ada Fereidoun Esfandiary.

Fereidoun M. Esfandiary AKA “FM-2030”

Ia lahir di Brussel (Belgia) dari seorang diplomat Iran. Dia kemudian mewakili negara asalnya di berbagai kompetisi olahraga tingkat tinggi seperti Olimpiade.

Dia mengubah namanya secara resmi menjadi “FM-2030” selama pertengahan 1970-an karena ia begitu “optimis” tentang tahun 2030. Dia menulis:

“Nama 2030 mencerminkan keyakinan saya bahwa tahun-tahun sekitar 2030 akan menjadi waktu yang ajaib. (…)

Pada tahun 2030 kita akan menjadi awet muda dan setiap orang akan memiliki kesempatan yang sangat baik untuk hidup abadi.”

Pada paragraf 71 Kruger mengutipnya perihal kematian, menyoroti betapa goyahnya fakta dasar kehidupan ini membuatnya merasa:

“Masalah paling mendesak yang kita hadapi bukanlah masalah sosial [ekonomi] politik. Masalah paling mendesak yang kita semua hadapi di mana pun adalah kematian. Semua kendala manusia lainnya adalah turunan. Selama ada kematian tak ada kebebasan. Selama masih ada kematian, kita tak dapat meningkatkan kualitas dasar kehidupan.”

Kematian

Seperti yang telah kami sebutkan, terlepas dari perbedaan pengalaman dan ide mereka, yang menyatukan semua transhumanis adalah ketakutan akan kematian. Ini adalah sesuatu yang universal dan tak terbatas pada “bapak pendiri” ini. Hal yang sama berlaku untuk Ray Kurzweil, Yuval Noah Harari, Aubrey de Grey (lihat judul semua bukunya), dll.

Alih-alih menjadi sadar akan keberadaan sementara mereka dan menyembah Allah untuk jaminan kehidupan akhirat yang berbahagia, mereka justru melakukan sebaliknya. Mereka lebih suka memproyeksikan diri mereka sebagai “tuhan baru”.

Dalam Islam, mengingat kematian secara rutin adalah konsep yang mapan hingga ada lusinan buku (baik modern maupun klasik) tentang topik ini—Mengingat Kematian, misalnya, oleh Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali (rahimahullah).

Ini adalah sesuatu yang secara tegas didasarkan pada Al-Qur’an, Sunnah yang sahih, salaf yang saleh, dan para imam yang mendapat petunjuk yang benar dari umat ini. Sering mengingat kematian dan merenungkan sifat sementara dari kehidupan ini sangat memperkuat iman kita.

Bahkan, sesuai Al-Qur’an (7:20), keabadian adalah tipu muslihat yang digunakan setan khusus untuk menyesatkan manusia:

Kemudian setan berbisik kepada mereka, memperlihatkan kepada mereka kemaluan mereka yang telah disembunyikan dari mereka. Dia berkata, ‘Tuhanmu hanya melarangmu pohon ini agar kamu tidak menjadi malaikat atau di antara mereka yang hidup selama-lamanya.

Jadi, karena filsuf Prancis Sartre mengatakan “eksistensialisme adalah humanisme”, kita dapat mengatakan “transhumanisme adalah setanisme”.

Dalam konteks seperti itu, tidak mengherankan jika sekitar 60% transhumanis mengidentifikasi diri sebagai ateis—Persentase ini kemungkinan besar akan jauh lebih besar jika menyertakan banyak orang agnostik atau mereka yang tidak secara formal menyatakan diri sebagai ateis.

Wartawan transhumanis terkemuka Zoltan Istvan menulis pada tahun 2013 untuk HuffPost:

“Saya seorang Ateis, Oleh karena itu saya seorang transhumanis.”

Bagaimanapun, setanisme dan ateisme saling terkait erat.

Bagi mereka yang tertarik pada sanggahan tegas terhadap transhumanis, baik dari perspektif filosofis dan ilmiah, seorang penulis yang memanfaatkan biologi dan ilmu saraf untuk melawan transhumanis pada tataran mereka sendiri, adalah Susan Levin (dalam bukunya tahun 2020, Posthuman Bliss?). Namun, seperti biasanya, sebuah disclaimer harus dibuat tentang buku ini yang memiliki isunya sendiri—seperti para penulis yang mendukung demokrasi liberal dan sebagainya.

 

Penulis: Bheria

Penerjemah: Muhajir Julizar
Editor: Nauval Pally Taran

Sumber: Muslim Skeptic

Tags : AIateismeislamkemanusiaanmuslimsekulersorotanteknologi

The author Redaksi Sahih