close
Berita

Dalam Bayang-Bayang Ketakutan: Nestapa Para Korban KDRT

Sumber Foto Ilustrasi: Pixabay

Pewarta: M. Haris Syahputra
Editor: Nauval Pally T

Setiap hari, rata-rata 790 perempuan di Indonesia menjadi korban kekerasan. Data Komnas Perempuan 2023 mencatat, terdapat lebih dari 289 ribu kasus kekerasan terhadap perempuan. Dari jumlah itu, hampir 80 persen terjadi di ranah personal, dan pelaku terbanyak adalah pasangan mereka sendiri.

Para Perempuan ini ditendang, dipukul, dicekik, dimaki, tapi hanya sebagian kecil yang berani membuka mulut. Sisanya memilih diam. Bukan karena kebal kekerasan, tapi karena mereka tak punya pilihan untuk melangkah lebih jauh.

Diam adalah pilihan getir yang terus diulang. Sebab sekali melapor, perempuan tak hanya harus menghadapi pelaku, tapi juga keluarga, tetangga, bahkan oknum aparat yang meremehkan.

Langkah menuju keadilan dipenuhi ongkos emosional dan ekonomi. Jika bercerai, hak asuh anak nyaris selalu jatuh ke korban—yang umumnya tak bekerja dan tak punya penghasilan. Maka, demi bertahan hidup dan tetap memberi makan anak, kekerasan pun disikapi dengan diam.

Di Aceh, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tak kalah mencemaskan. Angkanya terus mengalami peningkatan setiap tahun. Pelaksana tugas (Plt) Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak, Tiara Sutari mengatakan, kasus KDRT yang terlapor ke UPTD PPA Aceh pada 2020 sebanyak 905 kasus, pada 2021 sebanyak 924 kasus, pada 2022 sebanyak 1.029, dan 2023 sebanyak 1.098 kasus.

Sementara itu, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Provinsi Aceh untuk periode Januari hingga November 2024 mencapai 1.132 kasus, dengan rincian 605 kekerasan terhadap anak dan 527 terhadap perempuan.

Kepala DP3A Aceh, Meutia Juliana menjelaskan jumlah tersebut diperoleh dari 23 kabupaten/kota, dan diyakini masih banyak kasus yang tidak terlapor karena berbagai alasan seperti tidak memiliki keberanian, mengganggap itu sebagai suatu aib, hingga tekanan dari pelaku.

Di samping itu, temuan sahih.co pada sebuah puskesmas di Aceh Timur, rata-rata satu hingga tiga kasus KDRT masuk setiap bulan. “Mayoritas dilaporkan langsung oleh korban, bukan oleh keluarga atau tetangga,” ujar dr. Sukma, tenaga medis di Puskesmas Pante Bidari, Aceh Timur kepada sahih.co.

Korban datang dalam keadaan trauma, membawa lebam di wajah atau lengan, sebagian mengaku dicekik, dipukul, atau dimaki selama bertahun-tahun.

Sebagian besar korban KDRT di Aceh adalah ibu rumah tangga tanpa penghasilan. Ketergantungan ekonomi membuat mereka memilih diam atau berdamai dengan pelaku.

“Korban takut tidak bisa menafkahi anak-anak kalau bercerai, karena biasanya hak asuh jatuh ke ibu. Tapi mantan suami belum tentu mau bertanggung jawab setelah berpisah,” kata narasumber tersebut.

Pun ketika laporan resmi dibuat, prosesnya sering tak berlanjut ke pengadilan. Protokol memang ada: korban akan divisum, luka difoto dan dicatat. Tapi langkah hukum berikutnya sering kandas di tengah jalan. “Rata-rata memilih berdamai. Mungkin karena prosesnya melelahkan, dan korban merasa tak punya opsi lain.”

Luka Tak Selalu Terlihat

Selain luka fisik, dampak kesehatan mental pada korban KDRT kerap lebih membekas. Dokter yang menangani mereka menyebut keluhan umum korban berupa kecemasan berat, depresi, dan serangan panik. “Saat datang, sebagian besar dalam kondisi anxiety. Tidak sedikit yang menangis terus-menerus selama pemeriksaan,” ujar tenaga medis itu.

Sebagai bagian dari penanganan, petugas medis hanya berwenang melakukan visum et repertum dan mendokumentasikan kondisi fisik. Selanjutnya, korban dirujuk ke unit pelayanan teknis daerah perlindungan perempuan dan anak (UPTD PPA), atau ke kepolisian. Kerja sama lintas sektor memang sudah ada, tapi pihak korban seringkali berhenti ditengah proses.

Pentingnya Pemberdayaan Perempuan

Meski kasus kekerasan dalam rumah tangga di Aceh terus melonjak dan dilaporkan, sebagian besar tak pernah sampai ke pengadilan. Rata-rata berakhir di meja mediasi, dengan alasan ekonomi atau “demi anak-anak”. Padahal, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT memberi perlindungan hukum penuh bagi korban, termasuk ancaman pidana bagi pelaku.

Namun begitu, celah soal KDRT ini masih terbuka lebar: keterbatasan akses layanan, aparat yang kurang peka gender, problem finansial hingga budaya “jangan bawa aib keluar rumah” membuat banyak korban memilih menanggung sendiri kekerasan fisik dan mental. “Tenaga kesehatan kami siap membantu, tapi setelah itu kami tak bisa memaksa korban untuk lanjut ke proses hukum,” tambah sang dokter.

Ketika ditanya soal solusi, Sukma tak ragu menegaskan pentingnya pemberdayaan ekonomi perempuan. “Perempuan harus berdaya dan punya keterampilan. Jangan sepenuhnya menggantungkan hidup pada orang lain. Kalau mereka punya penghasilan sendiri, mereka bisa keluar dari relasi beracun tanpa takut kelaparan,” ujarnya.

Ia berharap ada intervensi serius dari negara—bukan hanya pada aspek hukum, tetapi juga penguatan ekonomi korban, bantuan psikologis, dan kampanye sosial berkelanjutan. “Kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya soal hukum. Ini krisis kemanusiaan yang melibatkan mental, ekonomi, dan budaya,” tambahnya.

Dalam banyak kasus KDRT, diam memang terasa lebih aman. Namun, diam juga memberi ruang bagi kekerasan untuk terus berulang. Kekerasan dalam rumah bukan sekadar persoalan domestik—ia adalah kejahatan yang kerap lolos dari hukum karena tertutup dinding dan didiamkan oleh lingkungan.

Tags : anak-anakberitaberita acehhukumkdrtkekerasanlaki-lakiperempuanrumah tangga

The author Redaksi Sahih