close
Dunia Tengah

Perang di Gaza: Kemenangan Taktis Israel, tetapi Kegagalan Strategis

Sumber Foto Ilustrasi: Pixabay

SAHIH.CO – Israel menghadapi tantangan kompleks dalam penanganan Hamas secara militer. Meskipun mungkin memerlukan waktu sekitar satu tahun atau lebih untuk mengalahkan Hamas, Israel memiliki kemampuan militer yang unggul dalam hal teknologi dan komitmen untuk memberantas kelompok tersebut. Pasukan Pertahanan Israel (IDF) dapat secara efektif menetralkan sebagian besar rudal, roket, drone, sistem pertahanan udara, dan senjata anti-tank Hamas. IDF juga mungkin akan menargetkan dan menghancurkan jaringan terowongan, pusat komando militer, dan posisi pertahanan Hamas. Namun, semua itu dapat menimbulkan kerusakan terhadap reputasi internasional Israel, terutama dalam hal sentimen publik, yang mungkin sulit diperbaiki.

Gambaran penderitaan bayi yang terluka dan meninggal, serta wilayah Jalur Gaza yang hancur menjadi berita internasional. Ribuan warga Palestina yang tak bersalah tewas, dan kehancuran semakin meningkat seiring berlanjutnya pertempuran. Israel, sampai saat ini, tidak merespons seruan internasional untuk mengurangi dampak pertempuran. Namun, upaya total mencegah dampak kerusakan di wilayah perkotaan yang sangat padat di luar kemampuan Israel dan kekuatan militer lainnya. Seiring situasi yang semakin mencekam, Hamas, yang mengalami kekalahan militer, diperkirakan akan mencapai tujuannya dengan melancarkan serangan terhadap Israel pada tanggal 7 Oktober.

Selama beberapa tahun, Israel telah mendapatkan dukungan luas dari Amerika Serikat, baik dalam hal dukungan militer, politik, maupun ekonomi. Dukungan ini memungkinkan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) untuk mempertahankan dominasinya dalam kekuatan militer di kawasan tersebut. Meskipun Hamas melancarkan serangan awal yang ganas dan mengejutkan, pertempuran di lapangan juga melibatkan aspek yang tidak dapat dimenangkan secara langsung oleh Hamas. Strategi Hamas melibatkan pertempuran naratif, persepsi, dan perang jangka panjang untuk memperoleh kembali tanah air Palestina yang saat ini diduduki oleh Israel. Mereka menyadari bahwa kekuatan mereka tidak hanya terletak pada kemampuan militer, tetapi juga dalam membentuk narasi dan mempengaruhi opini publik.

Hamas, singkatan dari Harakat al-Muqawama al-Islamiya (Gerakan Perlawanan Islam), didirikan oleh Syekh Ahmed Yassin, seorang ulama dan aktivis yang berasal dari Ikhwanul Muslimin. Kelompok ini dibentuk di Gaza dan Tepi Barat setelah pendudukan Israel pada tahun 1967. Hamas telah lama mengadvokasi kehancuran Israel dan masyarakat Islam di Palestina. “Perlawanan” yang diadvokasi oleh kelompok ini mencakup penggunaan kekuatan bersenjata untuk melawan pendudukan rakyat Israel atas tanah mereka.

Hamas berhasil memanfaatkan rasa ketidakadilan yang mendalam di kalangan warga Palestina, baik yang bersumber dari kenyataan maupun persepsi mereka. Kelompok ini terampil menyusun narasi penderitaan yang menggambarkan pencurian tanah secara sistematis selama 75 tahun terakhir, disertai dengan kondisi kemiskinan yang parah dalam kehidupan sehari-hari mereka. Narasi ini tidak hanya ditujukan untuk pengikut Hamas, melainkan juga untuk memperoleh perhatian dan simpati dunia.

Narasi pemberdayaan yang diproduksi oleh Hamas dikaitkan dengan pengorbanan dan perjuangan. Mereka menyampaikan kepada pengikutnya bahwa mereka bukanlah korban tanpa daya, dan terorisme dianggap sebagai alat untuk mencapai tujuan tersebut, yang dikenal sebagai “propaganda aksi” oleh kaum anarkis abad ke-19. Narasi ini berfungsi untuk menjaga harapan hidup di kalangan warga Palestina, memperkuat keyakinan bahwa melalui perjuangan yang berkelanjutan, suatu hari nanti situasi akan berubah menjadi lebih baik.

Tujuan utama Hamas adalah mengubah sentimen publik global terhadap Israel dan menciptakan seruan untuk negara Palestina merdeka. Sejauh ini, Kelompok ini telah mencapai keberhasilan, terutama di Amerika Serikat. Di mana dukungan langsung AS terhadap Israel mengalami perubahan setelah serangan pada tanggal 7 Oktober silam. Amerika kini berbalik menentang aksi militer Israel di Gaza. Di Eropa, gambaran konflik, pertumpahan darah, dan kehancuran di Gaza juga membentuk sentimen publik terhadap Israel, yang menyebabkan kerugian besar terhadap reputasinya.

Dalam perang informasi, Hamas menunjukkan kelihaian dan ketepatan waktu yang tinggi. Mereka  mengimplementasikan operasi informasi dengan cepat, sementara dunia sedang berusaha memahami perkembangan situasi terkini. Strategi ini memberikan mereka keunggulan inisiatif untuk membentuk narasi, seringkali beberapa jam sebelum operasi urusan publik IDF. Fokus Hamas dalam menyampaikan pesan adalah pada kecepatan dan gambaran yang kuat daripada fakta dan akurasi. Hingga saat ini, koreksi IDF terhadap propaganda Hamas belum sepenuhnya diterima di dunia informasi. Begitu sebuah cerita berakar, terutama yang disajikan melalui visual yang menarik, cerita tersebut cenderung terpatri secara permanen di benak penerima informasi.

Dalam narasi pertempuran mendatang, Hamas mendapatkan keuntungan yang signifikan. Setelah tanggal 7 Oktober, Israel percaya bahwa mereka tidak dapat lagi menoleransi keberadaan Hamas di perbatasannya. Israel melihat konflik di Gaza sebagai perang kemerdekaan kedua mereka dan bersedia mengambil tindakan maksimal untuk mengeliminasi Hamas sepenuhnya. Sementara itu, Hamas terlibat dalam perang narasi yang lebih panjang, di mana setiap serangan IDF diartikan sebagai dukungan terhadap perlawanan bersenjata mereka. Pertempuran ini tampaknya menjadi konflik yang lebih besar yang mungkin dimenangkan oleh Palestina.

Penulis: Joe Buccino, ia adalah pensiunan Kolonel Angkatan Darat AS yang menjabat sebagai direktur komunikasi Komando Pusat AS dari tahun 2021 hingga September 2023

Penerjemah: Muhajir Julizar
Editor: M. Haris Syahputra

Tags : arabgazaglobalhamasinformasiisraelkemanusiaanmediaPalestinaPerangtimur tengah

The author Redaksi Sahih