close
Feature

Sejarah Garuda Indonesia, Bermula dari Sumbangan Emas Rakyat Aceh

Foto: Pexels

Maskapai flag carrier PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk belakangan mencuat. Keuangan BUMN penerbangan ini tengah dalam kondisi berdarah-darah karena lilitan utang menggunung dan terus merugi.

Menilik sejarah Garuda Indonesia ke belakang, perusahaan ini tak bisa dilepaskan dari awal lahirnya republik ini. Pasang surut dialami Garuda sejak berdiri pada era Presiden Soekarno.

Seperti diberitakan Harian Kompas, 23 Oktober 2009, sejarah Garuda Indonesia bermula dari usaha Soekarno agar republik yang masih berusia seumur jagung ini bisa memiliki armada pesawat udara.

Pada 16 Juni 1948, Presiden Soekarno berpidato di Kutaraja (sekarang Banda Aceh), meminta rakyat menyumbang untuk republik yang masih rentan karena kekosongan kas negara.

Dengan bantuan dan pengaruh dari Teungku Muhammad Daud Beureueh, dalam waktu tidak begitu lama terkumpul emas sebanyak 20 kilogram. Semangat rakyat Aceh menyumbang dana ke republik tersebut tak lepas dari euforia berakhirnya penjajahan Belanda.

Aceh sendiri merupakan salah satu daerah pertama bekas Hindia Belanda yang langsung menyatakan mendukung dan bergabung dengan Indonesia. Daud Beureueh juga berharap, dengan bergabung dengan republik, Aceh nantinya bisa menjadi provinsi dengan otonomi khusus.

Dengan uang sumbangan dari rakyat Aceh, Pemerintah Soekarno lewat Wieweko, membeli dari Singapura sebuah pesawat C-47 Dakota yang kemudian dioperasikan AURI sebagai alat transportasi bagi pejabat negara.

Sebagai tanda terima kasih kepada rakyat Aceh, pesawat itu diberi nama Seulawah (Gunung Emas), sebuah nama gunung di Aceh. Tugas pertamanya membawa Hatta dalam kunjungan kerja ke Sumatera (Yogyakarta–Jambi–Payakumbuh–Kutaraja–Payakumbuh–Yogya).

Awal Desember 1948, pesawat harus mendapat servis dan penambahan kapasitas tangki bahan bakar sehingga diterbangkan ke Calcutta. Perawatan ini diperkirakan akan memakan waktu tiga pekan.

Namun, tanggal 19 Desember 1948, Ibu Kota Republik Indonesia, Yogyakarta, diserang dan dikuasai tentara Belanda yang melakukan agresi militer kedua. Pesawat itu tidak mungkin kembali ke tanah air.

Hubungan antara awak pesawat dan Pemerintah Pusat di Yogyakarta terputus. Untuk membiayai hidup para personel dan perawatan pesawat, dibentuklah perusahaan penerbangan Indonesia Airways yang diawaki personel AURI.

Dengan seizin Duta Besar Indonesia untuk India Dr. Sudarsono, pesawat itu dengan awaknya disewakan kepada Pemerintah Myanmar. Tanggal 26 Januari 1949, pesawat itu berangkat dari Calcutta ke Rangon, Myanmar.

Hasil penyewaan pesawat itu digunakan untuk membeli sebuah pesawat dan menyewa satu pesawat lainnya dari Hongkong. Selama sembilan belas bulan Indonesian Airways bertugas di luar negeri sebelum akhirnya dilikuidasi pada Agustus 1950.

Pesawat tersebut dan awaknya kemudian ditugaskan dalam Dinas Angkutan Udara Militer yang menghubungkan antar-pangkalan udara di Indonesia.

Patungan Indonesia-Belanda

Selain itu, yang banyak luput dari pemahaman sejarah, yakni andil Pemerintah Belanda. Dalam hal ini, kaitannya dengan kesepakatan pasca-pengakuan kedaulatan pada 27 Desember 1949.

Garuda Indonesian Airways, cikal bakal Garuda Indonesia, berasal dari perusahaan patungan Indonesia-Belanda yang dibentuk bersamaan dengan pengakuan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB).

Perusahaan baru yang dibentuk usai kesepakatan KMB ini meneruskan operasional yang sudah dijalankan pesawat Dakota dari sumbangan rakyat Aceh sebelumnya.

Dengan ditandatanganinya perjanjian KMB, Belanda wajib menyerahkan seluruh kekayaan Pemerintah Hindia Belanda kepada Pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS), termasuk maskapai KLM-IIB (Koninklijke Luchtvaart Maatschappij-Inter-Insulair Bedrijf).

KLM-IIB merupakan anak perusahaan KLM setelah mengambil alih maskapai swasta K.N.I.L.M (Koninklijke Nederlandshindische Luchtvaart Maatschappij) yang sudah eksis sejak 1928 di area Hindia Belanda.

Sehari setelah peresmian pembentukan usaha patungan Indonesia-Belanda, 28 Desember 1949, pesawat Garuda Indonesian Airways digunakan untuk terbang perdana mengangkut Presiden Soekarno dan keluarga dari Maguwo, Yogyakarta ke Bandar Udara Kemayoran, Jakarta.

Pesawat itu menggunakan logo Garuda dan pada ekornya dicat bendera Merah Putih. Soekarno bersama Guntur, Megawati, dan istrinya yang sedang hamil, Fatmawati, menjadi penumpang penerbangan perdana Garuda.

Setahun kemudian, pada tahun 1950, Garuda Indonesia menjadi perusahaan negara. Pada periode tersebut, Garuda Indonesia mengoperasikan armada dengan jumlah pesawat sebanyak 38 buah yang terdiri atas 22 DC-3, 8 Catalina kapal terbang, dan 8 Convair 240.

Armada Garuda Indonesia terus bertambah dan akhirnya berhasil melaksanakan penerbangan pertama kali ke Makkah dengan membawa jemaah haji dari Indonesia pada tahun 1956.

Tahun 1965, penerbangan pertama kali ke negara-negara di Eropa dilakukan dengan Amsterdam sebagai tujuan terakhir.

Meskipun sudah terbang sebelumnya, akta pendirian perusahaan ini dibuat tanggal 31 Maret 1950 dan tanggal 24 Maret 1954 perusahaan ini dinasionalisasikan sehingga tak ada lagi kepemilikan Belanda di Garuda Indonesia hingga saat ini.

 

Penulis: Muhammad Idris

Sumber: Kompas.com

Tags : acehgaruda indonesiaindonesiapesawat terbang

The author Redaksi Sahih

Leave a Response