close
Opini

Pendidikan Tanpa Integritas: Krisis Moral yang Mengancam Masa Depan Bangsa

Sumber Foto Ilustrasi: Integrity Indonesia

Penulis: Misbahul Supriadi
Editor: Nauval Pally T

Indeks integritas pendidikan nasional yang dirilis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2024 menurun drastis dari angka 73,70 menjadi 69,50. Angka ini bukan sekadar statistik, tetapi pertanda nyata bahwa dunia pendidikan Indonesia sedang mengalami krisis serius.

Survei Penilaian Integritas (SPI) yang dilakukan KPK terhadap 36.888 satuan pendidikan dan 449.865 responden itu mengungkapkan kondisi suram pendidikan kita—sebuah realitas yang seharusnya menggugah keprihatinan dan kesadaran seluruh elemen bangsa.

Dunia pendidikan, dari tingkat sekolah hingga perguruan tinggi, kini menjadi lahan subur bagi berbagai bentuk penyimpangan nilai. Praktik menyontek telah mengakar, terbukti dengan 78% sekolah dan bahkan 98% perguruan tinggi yang masih menjadi tempat terjadinya kecurangan akademik. Ironisnya, justru di institusi pendidikan tinggi praktik curang tersebut makin membudaya.

Plagiarisme menjadi penyakit kronis dunia akademik. Sebanyak 43% perguruan tinggi dan 6% sekolah terindikasi melakukan plagiarisme—bukan hanya oleh mahasiswa, tetapi juga para dosen, figur yang seharusnya menjadi penjaga martabat akademik.

Praktik gratifikasi kepada pendidik juga menjadi hal yang lumrah, dengan 65% satuan pendidikan melaporkan adanya pemberian hadiah atau bingkisan, dan 30% di antaranya menganggap hal tersebut sebagai kebiasaan wajar.

Di sisi lain, dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang seharusnya menopang pemerataan pendidikan turut disalahgunakan. Sekitar 12% sekolah diketahui melakukan penyimpangan, dari pemotongan dana hingga laporan fiktif. Bahkan, pengadaan barang dan jasa pun tidak lepas dari praktik korup, dengan 68% perguruan tinggi dan 43% sekolah menjalankan prosesnya secara tidak transparan dan sarat kolusi serta nepotisme.

Membongkar Akar dan Meretas Solusi

Permasalahan integritas dalam pendidikan tidak lahir dari ruang hampa. Ini merupakan hasil dari tumpang tindih persoalan sistemik dan kultural yang tak kunjung dibenahi. Sistem pendidikan kita terlalu berorientasi pada hasil akhir, menjadikan nilai dan ijazah sebagai tolok ukur keberhasilan. Akibatnya, siswa dan mahasiswa lebih terpaku pada pencapaian angka tinggi, bukan pemahaman yang mendalam terhadap ilmu pengetahuan. Dalam ekosistem seperti ini, kecurangan menjadi jalan pintas yang mudah diterima.

Lebih jauh lagi, krisis keteladanan turut memperparah kondisi. Bagaimana mungkin siswa dituntut jujur ketika 69% dari mereka menyatakan guru sering terlambat mengajar, dan 96% mahasiswa melaporkan dosennya tidak disiplin?

Pendidik yang seharusnya menjadi figur moral justru kerap memperlihatkan sikap permisif. Lemahnya pengawasan dan akuntabilitas membuat berbagai pelanggaran tidak mendapatkan konsekuensi tegas, sehingga menciptakan iklim yang longgar terhadap penyimpangan.

Realitas ini juga tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai sosial yang dominan di masyarakat. Ketika masyarakat masih memaklumi praktik “jalan pintas”, bahkan mengagungkan simbol-simbol kesuksesan material, dunia pendidikan kehilangan daya dalam menanamkan nilai integritas yang kokoh.

Untuk mengatasi krisis ini, perbaikan tidak bisa bersifat tambal sulam. Perlu revolusi kurikulum yang menjadikan pendidikan antikorupsi sebagai bagian inti dari pembelajaran. Ini harus diimplementasikan dalam bentuk nyata—bukan sekadar teori—melalui proyek-proyek yang membiasakan siswa menyelesaikan masalah integritas di lingkungan mereka sendiri.

Selain itu, pengawasan berbasis partisipasi masyarakat harus digalakkan. Semua pihak—siswa, guru, orang tua, dan masyarakat—perlu dilibatkan dalam pengawasan penggunaan dana pendidikan maupun aktivitas akademik. Pemanfaatan teknologi informasi dalam menciptakan kanal pelaporan yang mudah diakses bisa menjadi langkah awal yang efektif.

Penegakan hukum terhadap pelanggaran integritas juga harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Dari sanksi akademik hingga pidana bagi pelanggaran yang menyangkut dana pendidikan, semuanya harus dilakukan secara transparan dan menjadi pembelajaran publik. Di sisi lain, rekrutmen pendidik juga harus selektif, mengutamakan integritas, serta dibarengi dengan pembinaan etika dan profesionalisme secara berkelanjutan.

Akhirnya, gerakan nasional pendidikan berintegritas harus menjadi gerakan kolektif. Pemerintah, media massa, organisasi masyarakat, dan sektor swasta harus bahu membahu menciptakan budaya anti korupsi di dunia pendidikan.

Hasil Survei Penilaian Integritas 2024 adalah cermin yang tidak bisa lagi kita abaikan. Jika praktik menyontek, gratifikasi, dan penyimpangan dana pendidikan masih dianggap biasa, maka kita sedang meletakkan dasar kebangkrutan moral bagi masa depan bangsa.

Pendidikan bukan sekadar soal pengetahuan, tetapi lebih dalam dari itu—soal pembentukan karakter. Sebagaimana yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran, dan tubuh anak secara utuh.

Maka sudah saatnya kita bergerak. Integritas dalam pendidikan bukan pilihan, melainkan keharusan demi masa depan Indonesia yang beradab dan berkeadilan.

 

Tags : agamaintegritaskorupsiKPKkrisismasyarakatmoralnegarapendidikansekolah

The author Redaksi Sahih