close
Kalam

Momentum Zulhijah

Sumber Foto Ilustrasi: Pixabay

Penulis: Misbah
Editor: Ibnu Amirul

Dalam banyak narasi Al-Qur’an, Allah taala menegaskan bahwa yang dinilai dari manusia bukan sekadar banyaknya amal, melainkan siapa yang paling baik amalnya—ahsanu ‘amala. Ini menunjukkan bahwa Islam menuntut bukan hanya beramal, tetapi juga cerdas dalam beramal. Kecerdasan ini tercermin dalam kemampuan seorang hamba memanfaatkan momentum terbaik, memahami dan memilih waktu-waktu yang secara khusus diberi keutamaan oleh Allah.

Sebagai contoh, salat sunah di awal malam adalah sebuah kebaikan, dan siapa pun yang mengerjakannya berhak atas pahala. Namun, bangun di sepertiga malam—saat Allah turun ke langit dunia dan membuka pintu ampunan, rahmat, serta jawaban atas doa—adalah bentuk kecerdasan spiritual yang lebih tinggi. Sebab, sepertiga malam waktunya lebih utama daripada di awal malam.

Inilah seni dalam beribadah: bukan hanya rutin, tetapi juga peka terhadap momen. Karena pada akhirnya, bukan siapa yang paling banyak, tetapi siapa yang paling tepat dalam berbuat.

Dan kini, kita sedang berada pada momen tersebut. Momen yang kata Nabi “Tidak ada hari-hari di mana amal saleh lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari yang sepuluh (hari di bulan Zulhijah) ini.” Sepuluh hari pertama Zulhijah adalah contoh nyata bahwa waktu memiliki hierarki spiritual.

Apa yang Harus Kita Lakukan?

Dalam kesungguhan kita melakukan kebaikan, ada dua perkara yang harus selalu menyertai: ikhlas dan mutaaba’ah. Ikhlas berarti memurnikan niat hanya untuk Allah, dan mutaaba’ah berarti mengikuti (sesuai dengan) tuntunan Rasulullah. Tanpa keduanya, amal akan kehilangan nilainya, meski secara lahir tampak banyak dan berat.

Ada kalanya kita berzikir sepanjang hari, penuh semangat, tetapi ternyata beberapa kalimat yang diajarkan Nabi justru lebih bernilai dan lebih berat timbangannya di sisi Allah.

Diriwayatkan dari Ummul Mu’minin Juwairiyah binti Al-Harits, bahwa suatu pagi Nabi ﷺ meninggalkannya dalam keadaan sedang duduk di tempat salatnya, kemudian beliau kembali setelah waktu Dhuha dan mendapati Juwairiyah masih dalam keadaan yang sama. Maka beliau berkata,

“Masih dalam keadaan seperti saat kutinggalkan tadi?” Juwairiyah menjawab, “Iya.” Lalu Nabi bersabda: “Sungguh, aku telah mengucapkan empat kalimat tiga kali, yang jika ditimbang dengan apa yang engkau ucapkan sejak pagi tadi, niscaya akan lebih berat timbangannya, yaitu: ‘Subhanallahi wa bihamdihi ‘adada khalqihi wa ridhā nafsihi wa zinata ‘arsyihi wa midāda kalimātihi.”

Kisah ini mengingatkan kita bahwa kualitas amal sangat bergantung pada kesesuaian dengan ajaran Nabi, bukan semata kuantitas. Maka saat datang musim ibadah seperti sepuluh hari pertama bulan Zulhijah, penting bagi kita untuk memperhatikan bukan hanya banyaknya amal, tapi juga keikhlasan dan kesesuaiannya dengan Sunah.

Sepuluh hari pertama bulan Zulhijah adalah waktu yang dimuliakan Allah dengan kemuliaan yang tidak diberikan kepada hari-hari lainnya. Di hari-hari ini, Allah sangat mencintai amal saleh, bahkan melebihi amal-amal yang dilakukan di luar waktu ini. Karena itu, siapa pun dari kita bebas memilih bentuk amal kebaikan apa saja yang mampu kita lakukan—asal dilakukan dengan ikhlas karena Allah dan mutaaba’ah, yakni mengikuti tuntunan Nabi ﷺ.

Anda bisa memperbanyak tilawah Al-Qur’an, memperbanyak zikir, bersedekah kepada orang yang membutuhkan, menunaikan salat sunah, memperbaiki hubungan dengan sesama, atau berpuasa di siang harinya. Semua terbuka luas sebagai ladang amal.

Sayangnya, banyak dari kita yang melewatkan hari-hari ini tanpa amal apa pun. Padahal, tidak harus menunggu kesempatan besar untuk berhaji atau menyembelih hewan kurban agar bisa mendapatkan keutamaan sepuluh hari ini. Dengan melakukan amal saleh apa pun selama itu ikhlas dan mutaaba’ah, bisa menjadi pemberat timbangan amal kita di sisi Allah.

Jangan biarkan hari-hari agung ini berlalu tanpa satu pun kebaikan yang kita persembahkan kepada Allah taala.

Tags : amalbulanibadahikhlas beramalislammuslim

The author Redaksi Sahih