Penyadur: M. Haris Syahputra
Editor: Nauval Pally T
Menjelang Hari Raya Idul Adha 2025, perbincangan mengenai praktik kurban kembali mencuat, bukan hanya di kalangan umat Islam, tetapi juga dalam ruang-ruang wacana global yang mengeklaim cukup peduli terhadap isu hak asasi hewan (animal rights) dan gaya hidup vegan.
Di tengah sorotan tajam terhadap praktik penyembelihan hewan kurban, muncul pertanyaan, bagaimana Islam memandang kurban dalam konteks modern yang sarat tuntutan etika lingkungan dan kepedulian terhadap hewan?
Dalam khazanah Islam, kurban bukan sekadar tradisi tahunan atau pemotongan hewan massal di hari raya dan tasyrik. Lebih dari itu, kurban adalah ibadah.
Dalam bahasa Indonesia, kurban dimaknai sebagai persembahan kepada Allah, umumnya berupa hewan ternak seperti kambing, sapi, atau unta. Dalam konteks fikih, istilah yang lebih sering digunakan adalah udhiyah, yaitu hewan yang disembelih sebagai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Penting untuk dicatat bahwa kurban tidak bisa dipersembahkan kepada selain Allah. Praktik semacam itu dikategorikan sebagai bentuk syirik besar yang berpotensi membatalkan keislaman seseorang. Kurban, dalam pengertian tauhid, adalah ibadah yang sakral dan sarat makna.
Antara Animal Rights dan Animal Welfare
Wacana animal rights berkembang kuat di Barat. Dalam International Encyclopedia of the Social and Behavioral Sciences, animal rights didefinisikan sebagai hak yang melekat pada hewan semata karena statusnya sebagai hewan, tanpa syarat tambahan. Tidak seperti dalam Islam yang menekankan bahwa hak adalah karunia dari Tuhan, konsep ini tidak menyebutkan sumber ilahiah dari hak tersebut.
Secara umum, animal rights memiliki dua spektrum pemahaman:
- Dalam arti sempit: hak hewan mencakup larangan eksploitasi dalam bentuk apa pun, termasuk penyembelihan hewan secara halal, konsumsi susu, telur, atau penggunaan wol dan kulit.
- Dalam arti luas (wide): animal rights mencakup prinsip animal welfare, yaitu usaha meminimalkan penderitaan hewan tetapi tetap membolehkan pemanfaatannya untuk konsumsi atau riset.
Perbedaan definisi di kalangan pakar menunjukkan bahwa klaim atas nama animal rights tidak bersifat mutlak. Menyebut kurban sebagai pelanggaran hak hewan, padahal dilakukan sesuai prinsip syariat dan etika penyembelihan Islam, justru bertentangan dengan keragaman pandangan itu sendiri.
Veganisme: Gaya Hidup atau Ideologi?
Veganisme tidak sekadar pilihan diet. Menurut The Vegan Society, Veganisme adalah filosofi dan cara hidup yang menolak segala bentuk eksploitasi terhadap hewan—baik untuk makanan, pakaian, maupun keperluan lainnya. Dalam praktiknya, para vegan tidak mengonsumsi daging, ikan, susu, telur, madu, atau memakai produk seperti kulit, wol, dan sutra.
Tiga elemen utama Veganisme adalah; menolak segala bentuk pemanfaatan hewan, mempromosikan alternatif bebas hewan, dan mengupayakan kebaikan bagi hewan, manusia, serta lingkungan. Jika dibandingkan, Veganisme jauh lebih ketat daripada Vegetarianisme, yang masih membolehkan konsumsi produk hewani non-penyembelihan seperti susu dan telur.
Namun, pola hidup ini menimbulkan tantangan tersendiri, terutama dari sisi gizi. Produk nabati umumnya tidak mengandung vitamin B12, sehingga para vegan dan vegetarian kerap membutuhkan suplemen atau makanan yang diperkaya untuk mencukupi kebutuhan nutrisi.
Menyoroti Praktik Kurban yang Keliru
Sejumlah kesalahan dalam pelaksanaan kurban kerap ditemukan di lapangan. Mulai dari menjadikan kurban sebagai ajang bisnis utama, menajamkan pisau di depan hewan, menyembelih hewan di hadapan gerombolannya, hingga menguliti sebelum hewan benar-benar mati. Tidak sedikit pula yang menyembelih di pinggir jalan.
Praktik-praktik seperti ini tidak hanya bertentangan dengan adab syar’i, tetapi juga menyumbang stigma bahwa kurban adalah tindakan brutal. Padahal, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat baik dalam segala hal. Jika kalian menyembelih, sembelihlah dengan cara terbaik. Tajamkanlah pisau kalian dan istirahatkan hewan sembelihan.” (HR. Muslim)
Menyikapi Pandangan Ekstrem Antikurban
Islam jelas membolehkan—bahkan menganjurkan—konsumsi daging hewan yang halal dan disembelih secara sah. Beberapa ayat Al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa hewan ternak diciptakan untuk menjadi manfaat bagi manusia, termasuk sebagai sumber pangan
Allah berfirman,
“Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan sebahagiannya kamu makan.” (QS. An-Nahl: 5).
Namun, tidak mengonsumsi daging karena alasan pribadi seperti kesehatan adalah sesuatu yang dibolehkan. Yang menjadi masalah adalah jika seseorang meyakini bahwa penyembelihan hewan adalah tindakan jahat dan haram secara mutlak.
Keyakinan seperti ini bertentangan dengan syariat dan bisa berimplikasi pada rusaknya akidah. Mengharamkan sesuatu yang telah dihalalkan oleh Allah termasuk dosa besar, dan mengingkari hal yang telah menjadi ijmak ulama dapat menggiring pada penyimpangan dan ghuluw.
Paradoks Veganisme dan Klaim Etika Lingkungan
Argumen bahwa veganisme lebih etis karena tidak menyakiti hewan sering kali menghadirkan paradoks. Penelitian menunjukkan bahwa tanaman juga memiliki sistem pertahanan yang menunjukkan reaksi terhadap ancaman. Selain itu, produksi pangan nabati dalam skala besar menyebabkan kematian massal hewan kecil seperti tikus, kelinci, dan burung saat proses panen dan pembukaan lahan.
Lebih jauh, kebutuhan gizi tertentu tidak dapat terpenuhi hanya dengan bahan nabati. Ekosistem peternakan yang terjaga justru membantu keberlanjutan lingkungan. Bahkan, emisi karbon dari pertanian industri sering kali lebih besar dibanding peternakan.
Dalam banyak kasus, Veganisme ekstrem justru berdampak buruk terhadap kesehatan dan berseberangan dengan prinsip fitrah manusia.
Tidak semua pandangan yang mengatasnamakan animal rights sesuai dengan prinsip Islam. Umat Islam dituntut untuk cerdas menyaring wacana yang beredar. Veganisme maupun Vegetarianisme diperbolehkan selama tidak membawa keyakinan menyimpang, seperti menganggap gaya hidup tersebut lebih suci dari ajaran Islam atau menyebut kurban sebagai kejahatan dan kekejaman.
Islam bukan agama yang kaku atau kejam. Sebaliknya, ia hadir sebagai jalan tengah—menjaga hak hewan tanpa menafikan fungsi penciptaannya. Kurban dalam Islam bukanlah bentuk kekerasan, melainkan ibadah yang dilandasi kasih sayang, tata cara yang bijak, serta ketundukan kepada perintah Allah.
Di tengah gempuran arus ideologi global, Muslim harus tetap kokoh pada prinsip keislaman dan keseimbangannya: memuliakan makhluk tanpa mengorbankan wahyu. Kurban bukan hanya penyembelihan, tetapi penyerahan diri kepada Tuhan, dalam bentuk yang paling tulus—dengan pedang ihsan, bukan kekerasan.
Disadur dari Kajian Daring Bertajuk “Kurban, Animal Rights, dan Veganisme”, oleh Ustaz Nur Fajri Ramadhon, B.Sh., M.A.