Penulis: Misbah
Editor: Ibnu Amirul
Aceh, negeri bersyariat dengan segudang cita-cita moral, mendadak gaduh bukan karena kembali terjadi perebutan masjid atau sidang ricuh di DPRA, melainkan karena sekelompok pelajar SMA memilih nongkrong di warung kopi ketimbang duduk manis di bangku kelas.
Selasa pagi, 5 Mei 2025, warkop di kawasan Lampineung Banda Aceh mendadak jadi “ruang praktik bebas” dengan menu utama: kopi susu, kartu domino, dan rokok elektrik.
Sebanyak 15 siswa SMA terjaring razia Satpol PP dan WH. Dua di antaranya hanya duduk diam—mungkin sedang merenungi masa depan—sementara 13 lainnya tampak lebih “produktif”: merokok dan adu taktik dalam permainan domino. Bukan dalam pelajaran Matematika, tapi hitung-hitungan kartu di meja kopi. Para petugas langsung bergerak, dan para siswa dibawa untuk pembinaan. Dua yang cuma jadi penonton menurut petuga, cukup ditegur di tempat.
Esoknya, razia kembali digelar. Hasilnya? Lebih mengejutkan: 12 guru ASN dari Dinas Pendidikan Aceh tertangkap basah tengah ngopi santai saat jam kerja. Mereka tampak mengenakan seragam dinas lengkap, tetapi semangat mengajarnya tak tampak.
Menurut saksi gelas kopi, suasana warung kopi lebih menggairahkan daripada ruang guru. Enam ASN lainnya dari instansi berbeda juga ikut terjaring. Para pendidik diminta menandatangani surat pernyataan untuk tidak mengulangi kegiatan studi lapangan tanpa izin itu.
Nongkrong: Dari Budaya Menjadi Wabah
Nongkrong di Aceh memang semacam “kebudayaan kedua” setelah adat dan syariat. Namun, saat murid dan guru bertemu di tempat yang sama, dengan aktivitas yang serupa, kita mulai bertanya-tanya: ini masih pendidikan atau sudah jadi komedi situasi?
Kepala Satpol PP dan WH menyampaikan bahwa tindakan ini bukan sekadar soal pelanggaran jam belajar dan kerja, tapi soal keteladanan. Jika guru duduk di meja yang sama dengan murid yang membolos, siapa yang harus menyuruh siapa pulang ke tempatnya masing-masing? Pepatah “guru itu digugu dan ditiru” menjadi sangat literal, sayangnya yang ditiru bukan prestasi, tetapi jadwal kabur dari tanggung jawab.
Kejadian ini seharusnya menjadi atensi publik, pemilik warkop seharusnya tidak jadi “penadah pelajar bolosan”. Dalam bahasa lain: kalau lihat anak sekolah duduk jam 9 pagi, jangan tanya “Mau pesan apa?” tapi tanya “Kenapa bukan di kelas, dik?”
Melaporkan pelajar bolos bukan berarti menolak pelanggan, tetapi menjaga warung agar tak menjadi TKP keruntuhan moral. Karena kalau terus dibiarkan, bisa-bisa nanti warung kopi harus punya ruang belajar juga, lengkap dengan papan tulis dan absensi.
Refleksi Kopi Pahit
Kejadian ini menyentil banyak hal. Ketika guru dan murid duduk dalam suasana santai di jam belajar, Aceh sedang kehilangan ruh pendidikannya. Bukan berarti dilarang ngopi—kita semua suka kopi. Namun, kalau kopi lebih menggoda daripada mengajar atau belajar, mungkin bukan hanya sistem pendidikan yang perlu dibenahi, tapi juga kompas moral dalam kepala kita masing-masing.
Mungkin sudah waktunya kita mengingatkan kembali: sekolah itu tempat belajar, bukan sekadar tempat absen. Dan guru, sejatinya bukan hanya pengajar, tapi pengarah. Jika arah mereka saja sudah ke warung kopi saat jam mengajar, maka jangan heran bila murid pun ikut berbelok.
Karena kalau tidak hati-hati, kita semua bisa jadi generasi warkop: kritis di meja kopi, tapi kosong di kelas dan rapat kerja.