Penulis: Misbahul
Editor: Ibnu Amirul
Iduladha senantiasa mengingatkan kita pada kisah keluarga agung: Ibrahim, Hajar, dan Ismail. Dari mereka, hampir setiap sisi kehidupan adalah Pelajaran yang tak lekang oleh zaman. Ibrahim adalah sosok ayah sekaligus suami yang penuh cinta, tetapi tetap menjadi hamba yang total dalam ketundukan dan kepatuhan.
Ismail adalah anak saleh, dambaan setiap orang tua, yang ketika diminta oleh ayahnya untuk disembelih, ia menjawab dengan sami’na wa atha’na. Dan Hajar—dialah istri salihah, perempuan tangguh, sekaligus ibu yang bertanggung jawab tanpa batas.
Hajar tak sekadar tunduk dan taat pada suaminya, tetapi lebih dari itu, ia tunduk sepenuhnya pada kehendak Allah. Saat Ibrahim harus meninggalkannya di lembah sunyi, yang oleh Al-Qur’an digambarkan sebagai biwādin ghairi żī zar‘in—lembah tandus tanpa tanaman, tanpa air, dan tanpa kehidupan—Hajar tidak melontarkan protes, apalagi keluh. Ia hanya bertanya, “Apakah ini perintah dari Allah?” Dan saat dijawab bahwa benar, ia pun ikhlas, pasrah. Sebab imannya melampaui logika. Dalam diamnya, ada keikhlasan besar.
Di tengah gurun yang mematikan, dengan bayi yang kehausan dalam dekapan, Hajar bertransformasi menjadi ibu yang gigih. Ia berlari—bukan satu atau dua kali—tetapi tujuh kali antara Shafa dan Marwah, sejauh lebih dari tiga kilometer, dalam keadaan lemah, haus, dan nyaris putus asa. Namun, tak sedikit pun ia berhenti. Sebab bagi seorang ibu, tidak ada usaha yang terlalu berat demi anaknya. Dan Allah membalas jerih payah itu: Air Zamzam memancar dari hentakan kaki kecil Ismail, menjadi sumber kehidupan hingga hari ini.
Kisah Hajar tidak berhenti di situ. Ketika kelak datang perintah yang lebih sulit: Ibrahim diminta menyembelih anak yang ia lahirkan dan besarkan sendiri, lagi-lagi tak terdengar protes dari Hajar. Bayangkan, seorang ibu yang membesarkan anaknya dalam sepi dan perjuangan, tiba-tiba harus merelakan anaknya disembelih demi perintah langit. Namun, seperti sebelumnya, iman Hajar kembali menuntunnya melampaui akal sehat manusia biasa.
Hajar bukan sekadar istri seorang Nabi. Ia adalah simbol keteguhan, keikhlasan, dan cinta yang penuh tanggung jawab. Perannya begitu vital dalam kisah dua Nabi besar: Ibrahim dan Ismail. Bahkan Allah mengabadikan ikhtiarnya dalam ibadah sa’i, sebagai bagian dari sya‘ā’irillāh—ritual yang mencerminkan kebesaran Allah. Ia tak hanya meninggalkan jejak sejarah, tetapi juga jejak ibadah yang akan terus diulang-ulang oleh jutaan umat Islam hingga akhir zaman.
Di tengah dunia yang sering membuat ibu-ibu kehilangan arah dan melupakan tanggung jawabnya, kisah Hajar seolah menjadi cahaya penuntun. Tentang bagaimana menjadi perempuan kuat, istri yang taat, dan ibu yang tak gentar menghadapi ujian hidup—semuanya demi cinta dan iman.