close
Sains

Ikut-ikutan itu Bikin Pikiran Macet

Sumber Foto: Pexels.com

Berpikir kritis adalah salah satu kemampuan yang dibutuhkan pada abad ke-21 ini. Banyaknya informasi dan hal yang serba cepat membuat manusia harus bisa memilah mana yang baik untuk dirinya, khususnya untuk kelangsungan hidupnya.

Mahasiswa dan siswa saat ini pun sudah diajari berpikir kritis untuk melatih kemampuan mereka dalam memecahkan masalah.

Namun, bukan berarti setelah belajar berpikir kritis Anda terlepas dari hambatan untuk berpikir kritis. Salah satunya adalah “ikut-ikutan” dalam melakukan atau mempercayai suatu hal.

“Ikut-ikutan” atau conformism
“Ikut-ikutan” atau conformism adalah kecenderungan untuk mengikuti atau menyesuaikan diri dengan kepercayaan atau hal yang dimiliki oleh otoritas, sekumpulan orang, dan jenis grup lainnya. Jadi, Anda lebih mengikuti apa yang mereka punya atau lakukan tanpa memikirkan lebih jauh yang Anda ikuti itu.

Salah satu penyebab conformism adalah keinginan untuk bergabung dengan otoritas atau sekumpulan orang yang bisa memberikan dirinya kekuasaan atau keuntungan.

Dalam mendalami hambatan berpikir kritis ini, psikolog Solomon Eliot Asch pada tahun 1950-an bereksperimen terhadap grup-grup yang berisi delapan mahasiswa. Di setiap grup ada satu orang yang tidak sadar (si X) kalau itu adalah eksperimen. Sedangkan tujuh sisanya diberi tahu bahwa itu eksperimen. Yang dicari dari eksperimen ini adalah: apa jawaban para Mr X.

Tugas mereka sederhana, cuma disodori sejumlah garis dalam berbagai ukuran. Lalu mereka diminta mencari mana di antara garis-garis itu yang ukurannya sesuai dengan yang sudah ditentukan.

Karena pertanyaannya mudah, 99 persen Mr X bisa menjawab dengan benar. Itu dalam eksperimen pertama saat jawaban diberikan secara tertutup. Jadi, jawabannya murni dari penilaian dan pengamatan sendiri.

Masalahnya, dalam eksperimen kedua, tujuh orang yang lain diminta untuk ngerjain Mr X. Ketujuh orang di setiap grup itu diminta memberikan jawaban yang salah. Mr X diminta menjawab terakhir. Artinya, dia sudah mendengar 7 pertanyaan salah sebelum memberikan jawaban.

Hasilnya? Sebanyak 32 persen menjawab salah
Dari percobaan di atas, Solomon mengambil kesimpulan bahwa individu terkesima, terpengaruh, dan terintimidasi oleh otoritas. Otoritas di sini bukan hanya polisi atau pihak berwenang, tapi bisa juga kelompok mayoritas.

Di sinilah, seorang yang berpikir kritis perlu untuk hari-hati dengan hal-hal yang menggoda dari teman dekatnya, ketergantungan terhadap sebuah otoritas, dan wajib mengembangkan pemikiran sendiri yang sesuai prinsip untuk mencegah hal-hal tadi datang.

Sumber: Tempoinstitute.com

Tags : berpikirkritismahasiswapenelitian

The author Redaksi Sahih

Leave a Response