close
Kabar Internasional

Kejahatan Serbia Masih Segar dalam Ingatan Rakyat Kosovo pada Peringatan Pembantaian Recak

Sumber Foto: Pixabay

SAHIH.CO, RIYADH – Rakyat Kosovo ingin melihat lebih banyak keterlibatan internasional di Balkan Barat untuk membendung gelombang kebencian yang meningkat dan menjaga perdamaian di wilayah yang masih tegang tersebut. Duta Besar Kosovo untuk Arab Saudi menyampaikan hal tersebut kepada Arab News.

Dalam sebuah wawancara dengan Arab News menjelang Hari Kemerdekaan Kosovo pada 17 Februari, Lulzim Mjeku mengutip pernyataan yang dikeluarkan oleh Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) pada 14 Januari. Pernyataan itu disampikan saat Kosovo sedang bersiap untuk memperingati ulang tahun ke-23 pembantaian Recak.

Pernyataan tersebut mengenai orang-orang di Bosnia-Herzegovina dan Serbia yang mengagungkan kekejaman, memuji penjahat perang, menargetkan komunitas tertentu dengan ujaran kebencian, dan—dalam beberapa kasus—secara langsung memicu kekerasan.

Baca juga: Peringatan PBB tentang Ujaran Kebencian di Bosnia-Herzegovina dan Serbia

Mejku mengatakan bahwa OHCHR, “Meminta masyarakat internasional untuk ikut campur tangan dan mengambil tindakan nyata terhadap ujaran kebencian. Sayangnya, kami telah melihat penyangkalan belakangan ini.” Penyangkalan itu mengacu pada praktik mengungkit ulang (kejahatan) masa lalu dan berpura-pura bahwa peristiwa sejarah tidak terjadi seperti kenyataannya.

Insiden yang dimaksud OHCHR melibatkan sekelompok besar orang yang meneriakkan nama Ratko Mladic, seorang penjahat perang Serbia, sambil mengadakan prosesi obor dan menyanyikan lagu-lagu nasionalistis yang mendesak pengambilalihan berbagai lokasi di bekas Yugoslavia. Kejahatan kebencian yang dikutip oleh pernyataan PBB terjadi di Serbia dan beberapa lokasi di Republika Srpska, sebuah entitas Bosnia-Herzegovina di barat laut Kosovo. Dalam satu insiden, tembakan dilepaskan di dekat sebuah masjid di Janja, di timur laut Bosnia, tempat warga lokal Bosnia (muslim Bosnia) dihina dan diancam saat pulang seusai menunaikan salat berjamaah.

Masyarakat muslim di Balkan Barat tahu betul sejarah buruk kebencian etnis. “Empat puluh tahun yang lalu, ayah Donika Gervalla-Schwarz, Menteri Luar Negeri Kosovo saat ini, dibunuh,” kata Mejku, merujuk pada pembunuhan Jusuf dan Bardhosh Gervalla, seniman, penulis, dan aktivis politik Albania-Kosovo, yang diduga dilakukan oleh polisi rahasia Serbia-Yugoslavia pada 17 Januari 1982, dekat Heilbronn, sebuah kota di Baden-Wurttemberg, Jerman.

“Orang-orang bersenjata itu juga membunuh Kadri Zeka, seorang teman dan kolaborator Gervalla bersaudara. Sebagai pembangkang yang menentang rezim penindas Serbia di Kosovo dan bekerja untuk kemerdekaan provinsi mereka, ketiga aktivis itu telah hidup di pengasingan sejak 1980. Para pembunuh tidak pernah diadili.”

Sebagai jurnalis muda pada 1999, Mjeku meliput pembantaian yang terjadi pada 15 Januari di Recak, sebuah desa di Kosovo. Empat puluh lima orang telah ditembak dan mayat mereka dibuang di sebuah jurang di luar Recak, tampaknya oleh polisi dan tentara etnis Serbia.

Pembantaian lain atas warga Albania-Kosovo menyusul, termasuk di Krusha pada Maret 1999, di Meja pada 27 April 1999, dan di penjara Dubrava pada 22 Mei 1999.

“Saat kita memperingati 23 tahun pembantaian Recak, kejahatan mengerikan itu masih segar dalam ingatan kita,” kata Mjeku kepada Arab News. “Meskipun terdengar menyedihkan, Republik Kosovo berutang pada kejahatan yang dilakukan terhadap orang-orang Kosovo.”

Nikola Sainovic, mantan Wakil Perdana Menteri Serbia, termasuk di antara mereka yang bertanggung jawab menyebarkan teror yang meluas di antara penduduk Albania-Kosovo.Pada tahun 2009, ia dihukum oleh Mahkamah Kriminal Internasional untuk Bekas Yugoslavia (ICTY) di Den Haag atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang yang dilakukan terhadap warga sipil etnis Albania selama Perang Kosovo. Segera setelah dia dibebaskan lebih awal pada tahun 2015, Sainovic diangkat ke dewan Partai Sosialis Serbia.

Tuduhan kejahatan perang juga telah membuntuti para anggota Tentara Pembebasan Kosovo (KLA), pasukan gerilya utama etnis Albania di Kosovo yang berperang melawan Serbia. Setelah politisi tidak berhasil mengobarkan perjuangan damai selama bertahun-tahun untuk otonomi atau kemerdekaan yang lebih besar, KLA melancarkan pemberontakan bersenjata melawan pemerintahan Serbia di Provinsi Yugoslavia yang mayoritas penduduknya muslim pada Maret 1998.

Ini membangkitkan tanggapan yang tidak proporsional dari pendirian politik Serbia, yang tidak membeda-bedakan antara pejuang Albania-Kosovo dan warga sipil, mengirim ribuan pengungsi ke negara tetangga Albania dan Makedonia Utara. Menanggapi meningkatnya kekerasan, terutama pembantaian Recak, NATO melancarkan serangan udara selama 78 hari yang akhirnya memaksa polisi dan tentara Serbia mundur dari Kosovo.

Setelah Yugoslavia menerima proposal perdamaian pada Juni 1999, NATO mengakhiri serangan udara dan Dewan Keamanan PBB mengadopsi Resolusi 1244, menangguhkan kekuasaan Yugoslavia di Kosovo dan membentuk Pemerintahan Sementara PBB di Kosovo dengan elemen penjaga perdamaian NATO, KFOR. Penghentian kekerasan membawa harapan bagi Kosovo saat dalam keadaan putus asa, membuka jalan bagi realitas baru, dan mendorong kembalinya para pengungsi.

Banyak pemimpin KLA yang kemudian terjun ke dunia politik. Hashim Thaci, mantan Presiden Kosovo dan seorang komandan di KLA, didakwa oleh pengadilan di Belanda bertanggung jawab atas nyaris 100 pembunuhan.

Mjeku percaya sekarang adalah waktunya untuk mengutamakan diplomasi. “Selama bertahun-tahun, Kosovo sebagai negara telah memilih stabilitas dan keamanan, tidak hanya untuk penduduknya sendiri, tetapi juga untuk wilayah Balkan dan Eropa yang lebih luas,” katanya kepada Arab News.

Kosovo, negara berpenduduk hampir 2 juta orang, 90 persennya adalah etnis Albania. Setelah sembilan tahun di bawah kendali PBB, Kosovo mendeklarasikan kemerdekaan melalui parlemen mereka pada 17 Februari 2008. Sejak itu, lebih dari 100 negara telah mengakui Kosovo.

AS, beberapa negara anggota Uni Eropa dan negara-negara Gulf Cooperation Council (GCC) mengakui kemerdekaan Kosovo sejak dini. Hari ini, Arab Saudi, yang termasuk di antara 35 negara yang menyampaikan pernyataan mendukung Kosovo, mencakup non-residential basis dari kedutaan besarnya di Tirana, Albania

Mjecku mengatakan bahwa dengan bantuan murah hati dari teman-temannya, Kosovo telah membuat kemajuan dalam penyembuhan luka masa lalu. Enam puluh persen dari populasi berusia di bawah 30 tahun, dan banyak yang memiliki sedikit ingatan tentang tahun-tahun kesedihan dan kekerasan, katanya.

Balkan Barat lebih tenang daripada 20 tahun yang lalu, meskipun ketegangan etnis meningkat lagi menjelang pemilihan umum di Serbia pada bulan April, dan di Bosnia-Herzegovina pada bulan Oktober.

Misi PBB di Kosovo (UNMIK), yang pada puncaknya menerjunkan lebih dari 50.000 tentara, kini tinggal 3.500 tentara, yang bermarkas di Pristina, ibu kota Kosovo. Misi tersebut berusaha untuk mendukung perjanjian normalisasi, yang lebih dikenal sebagai Perjanjian Brussel, antara Beograd dan Pristina yang ditengahi oleh Uni Eropa pada tahun 2013.

“Sebagai negara muda, kami telah membuat kemajuan besar dalam membangun kembali kehidupan kami dan menyembuhkan luka kami,” kata Mjeku kepada Arab News.

“Dalam perjalanan jangka panjang ini, kami tidak sendirian. Kami telah mendapat bantuan dari negara-negara sahabat kami, seperti Kerajaan Arab Saudi dan lembaga-lembaga sekutu kami, terutama AS dan Uni Eropa.”

Penerjemah: Muhajir Julizar
Editor: Teuku Zulman Sangga Buana

Sumber: Arab News

Tags : globalHAMkemanusiaanmuslim

The author Redaksi Sahih