close
OlahragaOpiniPolitik & Hukum

Les Bleus: “Cinta” Prancis dan Islamofobia dalam Sepak Bola

Sumber Foto: Kompas

Sejak tahun 1998, rakyat Prancis, yang biasanya begitu terpecah belah di ranah politik, sering kali dipersatukan setidaknya dalam salah satu simbol nasionalnya: Les Bleus.

Les Bleus, yang merupakan bahasa Prancis untuk “the blues“, adalah sebutan yang digunakan untuk tim sepak bola nasional Prancis.

Meskipun Emmanuel Macron secara populer mengatakan sebelum Piala Dunia tahun ini bahwa kita tidak boleh mencampuradukkan politik dan olahraga; “Saya pikir kita tidak boleh mempolitisasi olahraga,” kata Macron, yang tim nasionalnya mempertahankan gelar yang mereka menangkan di Rusia pada 2018 … Macron, yang pergi ke Qatar ketika Prancis mencapai semifinal, mengatakan adalah “ide yang sangat buruk untuk mempolitisasi olahraga”, mengingat Prancis akan menjadi tuan rumah Olimpiade pada 2024.”

Namun kenyataannya itu adalah sesuatu yang secara teknis tak mungkin diwujudkan di Prancis. Alasan sebagiannnya adalah karena adanya kepentingan orang-orang. Diduga Macron sendiri mengetahui hal ini, dan dia menghabiskan lebih dari 500.000 euro uang publik untuk pergi ke Qatar sendiri dan menonton semifinal dan final.

Federasi Sepak Bola Prancis (FFF) jauh dari netral. Faktanya, menurut beberapa kritikus, mereka lebih terfokus pada pemasaran dan politik daripada olahraga itu sendiri, dengan setiap partai politik berusaha memanfaatkan hasrat bangsa untuk Les Bleus.

Les Bleus adalah simbol keragaman dan kosmopolitanisme baik untuk pusat maupun untuk kelompok kiri. Tidak butuh waktu lama bagi pendatang baru untuk menyadari betapa beragamnya para pemain dan bagaimana, terlepas dari fakta ini, mereka mampu tampil di level tertinggi olahraga.

Untuk kelompok kanan, para pemain ini adalah simbol asimilasi. Warga negara yang “terhormat” ini telah membuang budaya nenek moyang mereka dan bekerja demi kepentingan negara mereka, Prancis. Tim ini pada dasarnya dipandang sebagai demonstrasi praktis tentang bagaimana cinta terhadap negaranya dapat mengalahkan hal-hal seperti darah dan budaya.

Dalam hal penanganan politik Les Bleus, saya di sini bukan hendak memperdebatkan siapa yang benar dan siapa yang salah. Tim sepak bola ini memang mencerminkan penduduk Prancis. Les Bleus tak diragukan lagi adalah contoh dari hasil imigrasi, dan mereka menunjukkan bahwa setiap orang dapat secara efektif berasimilasi dengan gaya hidup dan budaya Prancis.

Apakah ini hal yang baik atau tidak, tentu saja adalah masalah lain.

Sekarang, inilah masalah yang akan kita jelajahi dalam ruang lingkup artikel ini:

Tim sepak bola nasional Prancis sebenarnya sangat merepresentasikan penduduk Prancis karena mereka juga sangat islamofobia.

Les Bleus dan Islam: Kasus Karim Benzema

Orang yang berpikiran sederhana mungkin akan langsung menolak tuduhan saya hanya karena beberapa pemain kunci tim adalah muslim. Kritikus naif seperti ini adalah orang yang sama yang percaya bahwa Amerika Serikat dan Kanada adalah negara “ramah muslim” hanya karena Obama dan Justin Trudeau berbuka puasa selama Ramadan. Tentu saja ini sangat konyol dan bahkan menggelikan.

Mantan pemain muslim tim nasional Prancis dapat dibagi menjadi dua kelompok dasar:

Muslim yang tidak menyesali dan bangga dengan agamanya, yang berarti mereka memiliki masalah besar dengan Tim Prancis; dan muslim yang pendiam dan tidak blak-blakan, yang berarti mereka berhasil mengudara di bawah radar.

Bukti untuk ini akan diberikan pada waktunya, tetapi izinkan saya mulai dengan contoh terbaru dari penarikan Karim Benzema dari tim sesaat sebelum Piala Dunia Qatar 2022.

Sejak awal karirnya, Benzema telah menjadi kambing hitam yang sempurna untuk sepak bola Prancis. Dia adalah seorang muslim; dia orang Aljazair; dia secara terbuka lebih memilih Aljazair daripada Prancis; dan dia menolak menyanyikan lagu kebangsaan Prancis di awal pertandingan. Singkatnya, ini menjelaskan mengapa karier internasionalnya di sepak bola begitu bergejolak, meskipun faktanya dia adalah striker Prancis paling sukses dalam sejarah.

Benzema diskors dari timnas Prancis pada 2015 karena diduga memeras mantan rekan setimnya, Mathieu Valbuena. Pelatih tim Prancis, Didier Deschamps, secara terbuka menolak untuk memaafkan perilaku seperti itu di dalam timnya. Sumber internal mengungkapkan bahwa Federasi Sepak Bola Prancis sebenarnya memiliki kekhawatiran yang jauh lebih besar terkait Benzema. Mereka membenci fakta bahwa dia mengalihkan perhatian dari pemain lain, yang pada dasarnya iri dengan kesuksesannya. Mereka juga melakukan peran mereka dengan tidak membicarakannya. Mereka membenarkan sikap mereka ini dengan mengeklaim bahwa membagikan artikel tentang dia terlalu rumit karena banyak penggemar sepak bola yang rasis dan mereka akan menulis banyak komentar kebencian setiap kali memposting sesuatu di internet.

Setelah menerima telepon dari Deschamps sendiri, Benzema kembali ke timnas Prancis pada tahun 2020, di puncak karir sepak bolanya. Penandatanganan Karim Benzema ini disambut baik oleh banyak fans dengan harapan bisa memperkuat tim. Kenyataannya, bagaimanapun, baik Deschamps maupun Noel Le Graet (Presiden Federasi Sepak Bola Prancis) tidak menginginkan Karim untuk kembali. Menurut Romain Molina, seorang spesialis sepak bola Prancis yang memimpin banyak penyelidikan terkait Federasi Sepak Bola Prancis, Presiden Macron sendirilah yang meminta pelatih Prancis itu untuk memanggil Benzema. Beberapa eksekutif kemudian mengambil keuntungan dari situasi tersebut. Mereka menyadari bahwa jika tim kalah, mereka dapat dengan mudah menyalahkan Benzema agar bertanggung jawab atas kekalahan tim, dan jika mereka menang, mereka dapat membual karena telah membuat keputusan untuk membawanya kembali.

Karier internasional Benzema berakhir tahun ini karena terpaksa mundur dari Piala Dunia. Staf Les Bleus mengarang diagnosis palsu tentang kebugarannya guna membuatnya mengurungkan niat untuk mengikuti turnamen tersebut. Padahal, Karim Benzema telah memenangkan Ballon d`Or 2022, sebuah trofi yang diberikan kepada pemain paling berpengaruh musim ini.

Untuk lebih jelasnya, tidak ada negara lain yang pernah memperlakukan pemain bintangnya dengan cara seperti itu.

Prancis melakukan itu hanya karena Karim adalah seorang muslim berjanggut yang secara terbuka mengakui cintanya pada agamanya dan negara orang tuanya. Mereka sama sekali tidak bisa dan tidak akan membiarkan orang seperti itu menjadi simbol bagi rakyat Prancis.

Benzema juga bukan kejadian pertama. Ketika Anda menelaah sejarah Les Bleus, dengan cepat menjadi jelas bahwa pemain muslim lainnya juga memiliki masalah dengan Tim Sepakbola Prancis, termasuk Ribery, Anelka⁠⁠—dan baru-baru ini⁠—Kanté dan Pogba. Ribery mengalami perlakuan yang sama selama Piala Dunia 2014 ketika staf medis membuat diagnosis palsu terkait cedera Ribery, yang mendorong tim untuk memensiunkannya.

Pada tahun 2010, Nicolas Anelka, seorang mualaf Prancis, pers membuat tuduhan salah terhadapnya bahwa ia telah menghina mantan pelatih Prancis, Raymond Domenech, dan ia dikeluarkan dari tim. Bertahun-tahun kemudian, Domenech sendiri mengakui bahwa Anelka tidak pernah melontarkan hinaan yang ditujukan kepadanya.

Les Bleus dan Federasi Sepak Bola Prancis bertanggung jawab atas banyak insiden serupa selama bertahun-tahun. Semua insiden ini memiliki satu kesamaan: seorang pemain muslim diperlakukan tidak adil. Juga, seperti yang dijelaskan sebelumnya, tidak diragukan lagi bahwa Federasi Sepak Bola Prancis dan Tim Nasional Prancis begitu terbawa dalam politik.

Adalah fakta bahwa ada pemain muslim yang saat ini aktif dalam tim Prancis, atau legenda terhebat sepak bola Prancis, Zinedine Zidane, yang merupakan orang Aljazair dan tidak melakukan apa pun untuk menghilangkan sikap antagonis tim terhadap Islam. Tentu, karena reputasi mereka yang luar biasa di dunia sepak bola, beberapa muslim diizinkan untuk bergabung dengan tim, tetapi mereka dengan cepat terlibat dalam skandal buatan. Pemain lain berhasil bertahan tetapi hanya dengan tidak menonjolkan diri, meskipun seringkali, seperti Kante, mereka juga dibenci dan didiskriminasi setelah mengungkapkan kecintaan mereka pada Islam.

Adapun Zinedine Zidane, dia sebenarnya menggambarkan dirinya sebagai seorang muslim yang tidak taat. Jadikan itu terserah yang Anda mau.

Saya hanya ingin menambahkan di sini bahwa saya sepenuhnya sadar tentang bagaimana sebagian besar pemain muslim yang saya sebutkan di sini adalah pendosa terang-terangan yang tak boleh dipuji, atau dijadikan model oleh para pemuda. Namun, dosa mereka yang tak dapat dimaafkan di mata Prancis adalah bahwa mereka mengidentifikasi diri sebagai muslim sebelum menjadi orang Prancis, dan ini adalah sesuatu yang sama sekali tidak sesuai dengan nilai-nilai Prancis dan tidak dapat ditoleransi oleh Federasi Sepak Bola Prancis.

Saya harus mengatakan, sungguh prestasi yang luar biasa bahwa tim sepak bola nasional ini mampu menciptakan kembali dinamika sosial Prancis dalam kelompok kecil yang hanya terdiri dari 26 orang! Karena alasan inilah, selama dua puluh tahun, mereka telah menjadi kebanggaan dan kegembiraan bangsa Prancis.

Dalam arti tertentu, mereka adalah  Prancis: sekelompok pendosa; pro-LGBT; dari suku campuran; dan mereka benar-benar membenci Islam.

Allez Les Bleus!”


Penulis:
Hud Lesprit

Penerjemah: Muhajir Julizar
Editor Substantif: Nauval Pally Taran
Editor Naskah: Arif Rinaldi

Sumber: Muslim Skeptic

Tags : islamofobiaprancisrasismesepak bola

The author Redaksi Sahih