Penulis: M. Haris Syahputra
Asap mengepul di sudut warung kopi, bercampur dengan gelak tawa dan denting gelas yang beradu; bukan dari uap kopi yang masih panas, tapi dari mulut perokok yang abai dengan orang di sekitarnya.
Di halte bus, seorang pria dengan santai menyalakan sebatang rokok, tak peduli dengan ibu-ibu dan anak kecil di sebelahnya yang terbatuk pelan.
Di lampu merah, seorang pengendara masih sempat menyulut rokok dan mengembuskan asapnya tepat ke wajah pengendara lain yang tak punya pilihan selain menghirupnya.
Di ruang publik, pemandangan-pemandangan semacam itu bukan lagi hal yang langka. Perokok seolah memiliki hak mutlak untuk menikmati tembakau di mana pun dan kapan saja. Tak peduli ada yang terganggu, tak peduli jika ada yang dirugikan.
Padahal, di balik kepulan asap itu, ada risiko besar yang mengintai, bukan hanya bagi si perokok, tetapi juga bagi mereka yang terpaksa menghirup udara beracun itu tanpa pilihan.
Di tengah kampanye kesehatan yang terus digaungkan, industri rokok tetap berjaya, dan hak masyarakat untuk menghirup udara bersih seakan menjadi hal yang bisa ditawar-tawar. UNICEF mencatat bahwa 70 persen rumah tangga di Indonesia terpapar asap rokok, dengan anak-anak dan perempuan sebagai kelompok paling terdampak.
Karena bentuknya yang kecil dan enteng, sebatang rokok mungkin terlihat begitu remeh. Namun, tak seringkih bentuknya, efek rokok justru mematikan. Masalahnya, dampak rokok bukan hanya bagi si perokok sendiri, tapi juga bagi orang-orang di sekitar yang tedampak asapnya. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa setiap tahun, lebih dari 8 juta orang meninggal akibat rokok. Ironisnya, sekitar 1,2 juta di antaranya adalah perokok pasif.
Bayangkan, rokok yang sudah terbukti membunuh dengan diam dan perlahan, dibiarkan beredar dan digunakan bebas tanpa batasan. Sementara narkoba dan zat adiktif lainnya dilarang keras, rokok tetap bisa diperjualbelikan dengan leluasa. Bahkan, iklannya masih menghiasi layar televisi, papan reklame, dan media sosial.
Rokok Dulu, Gizi Belakangan
Di banyak keluarga Indonesia, pengeluaran untuk rokok sering kali mengalahkan kebutuhan pokok lainnya, termasuk makanan bergizi untuk anak-anak. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 menunjukkan bahwa rokok menempati urutan kedua dalam daftar pengeluaran rumah tangga setelah beras. Hal ini menandakan bahwa bagi sebagian besar masyarakat, rokok lebih penting daripada asupan gizi yang seharusnya menjadi prioritas utama.
Laporan Bank Dunia tahun 2021 juga mengungkapkan hal serupa, rumah tangga dengan kepala keluarga perokok cenderung mengalokasikan lebih sedikit anggaran untuk pendidikan dan kesehatan. Di samping itu, penelitian dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) pada 2022 menyebutkan bahwa prevalensi stunting lebih tinggi pada keluarga dengan pengeluaran rokok yang besar.
Ini menunjukkan bahwa konsumsi rokok tidak hanya merugikan kesehatan langsung, tetapi juga berdampak pada kualitas hidup dan masa depan anak-anak yang pada mereka masa depan negara bergantung.
Dampak Serius Perokok Pasif
Banyak orang menduga bahwa hanya perokok aktif yang berisiko terkena penyakit akibat rokok. Padahal, perokok pasif memiliki risiko kesehatan yang sama berbahayanya.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa setiap tahun, sekitar 1,2 juta orang di dunia meninggal akibat paparan asap rokok meskipun mereka bukan perokok. Di Indonesia, data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa asap rokok menyebabkan 25 persen kasus penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan meningkatkan risiko penyakit jantung serta kanker paru-paru bagi perokok pasif hingga 30 persen.
Yang lebih mencemaskan, anak-anak adalah korban utama. Sebuah studi dari Universitas Indonesia pada 2021 menemukan bahwa anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan perokok memiliki risiko lebih tinggi mengalami gangguan pernapasan, daya tahan tubuh yang lebih rentan, serta gangguan kognitif. Tetapi, di banyak keluarga, kesadaran tentang bahaya ini masih rendah. Asap rokok dengan santainya dihembuskan di ruang tamu, di ruang makan, bahkan di dalam mobil saat tengah mengemudi.
Regulasi? Ada, tapi Seperti Tak Ada
Meskipun dampak kesehatan perokok pasif sangat nyata, regulasi di Indonesia masih lemah dan gagal menegakkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) secara efektif. Pemerintah memang telah menetapkan aturan KTR dalam berbagai peraturan daerah, tetapi implementasinya masih jauh dari harapan. Di banyak ruang publik, perokok tetap merajalela tanpa takut sanksi. Regulasi yang seharusnya melindungi hak masyarakat untuk menghirup udara bersih justru terkesan hanya formalitas di atas kertas belaka.
Sebagian orang tentu merasa terganggu dengan perokok di ruang publik. Namun kini, menegur perokok dianggap hal yang tabu. Seseorang yang memprotes kepulan asap di tempat umum seringkali dicap tidak toleran atau dianggap mencari masalah. Di sinilah egoisme perokok terlihat jelas: hak mereka untuk merokok seolah lebih penting daripada hak orang lain untuk bernapas dengan sehat.
Padahal, di negara-negara lain, kebijakan terhadap perokok jauh lebih ketat. Singapura, misalnya, menerapkan denda hingga 1.000 dolar Singapura bagi siapa saja yang merokok di tempat yang tidak semestinya. Sementara di Jepang, kawasan khusus merokok dipisahkan dengan sangat ketat, dan merokok sembarangan bisa berujung pada hukuman denda.
Di Indonesia? Perokok bebas menyulut rokok di mana saja, dan yang keberatanlah yang harus menyesuaikan diri.
Merokok Adalah Kezaliman
Dalam Islam, perbuatan yang mendatangkan mudarat bagi diri sendiri dan orang lain tentu tidak bisa dibenarkan. Para ulama memang berbeda pendapat soal hukum merokok. Namun, tingkatan hukum paling rendahnya pun bertaraf makruh—artinya, lebih baik ditinggalkan. Namun, dalam konteks perokok yang egois, yang mengabaikan kenyamanan dan kesehatan orang lain, hukumnya jelas menjadi haram.
Rasulullah bersabda, “Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain” (HR. Ibnu Majah). Merokok di tempat umum, dengan membiarkan asapnya masuk ke paru-paru orang lain, jelas termasuk dalam kategori ini. Apalagi, ia tidak hanya membahayakan dirinya sendiri, tetapi juga menzalimi orang lain secara nyata.
Dalam perspektif Maqashid Syariah, merokok di tempat umum yang membahayakan orang lain jelas bertentangan dengan prinsip perlindungan jiwa (hifzh an-nafs). Asap rokok yang mencemari udara, mengancam kesehatan orang di sekitarnya, bahkan berkontribusi pada kematian perokok pasif, merupakan bentuk pelanggaran nyata terhadap prinsip ini.
Indonesia tak bisa selamanya menjadi ‘surga’ bagi perokok dan neraka bagi perokok pasif. Kesadaran harus dibangun, baik melalui edukasi maupun penegakan hukum yang lebih tegas. Jika kesadaran tidak kunjung muncul, maka regulasi yang lebih ketat mutlak harus diberlakukan.
Di banyak negara, rokok telah dikendalikan dengan pajak tinggi, larangan iklan, dan aturan ketat soal kawasan merokok. Indonesia perlu belajar dari mereka. Sebab, jika egoisme perokok terus dibiarkan, maka hak dasar masyarakat untuk hidup sehat akan selalu dikorbankan.
Editor: Nauval Pally Taran