Penulis: Misbahul
Editor: Nauval Pally T
Dalam setiap derap langkah jihad fi sabilillah, ketika pasukan kaum muslimin bergerak menegakkan kalimat tauhid dan menghadapi musuh-musuh Allah, Rasulullah tak hanya membekali mereka dengan semangat keberanian dan strategi pertempuran. Beliau juga menanamkan etika dan batasan moral yang tak boleh dilanggar. Di tengah gemuruh medan perang yang penuh dengan bahaya dan ketegangan, ada satu pesan yang mungkin terdengar sepele, tapi ternyata mengandung kedalaman nilai yang luar biasa: “Jangan menebang pohon.”
Pesan ini, walau singkat, mengandung makna yang luar biasa dalam. Ia bukan hanya anjuran ekologis, tetapi juga cerminan dari bagaimana Islam memandang lingkungan. Islam bukanlah agama yang semata-mata menekankan hubungan vertikal manusia dengan Tuhan, atau sebatas pada relasi horizontal antara sesama manusia. Islam adalah agama yang holistik—ia juga mengatur dan menuntun relasi manusia dengan alam sekitarnya. Bahkan dalam kondisi ekstrem seperti perang, prinsip penjagaan terhadap kehidupan, keseimbangan, dan keberlanjutan tetap harus dipegang teguh.
Dalam Al-Qur’an, Allah menyebut bumi sebagai tempat tinggal yang Dia hamparkan untuk seluruh makhluk, bukan hanya manusia. Surah Al-Baqarah ayat 29 menyebutkan:
“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu…”
Namun, ayat ini bukan berarti memberi kebebasan mutlak bagi manusia untuk mengeksploitasi. Sebaliknya, ia adalah penegasan bahwa bumi adalah amanah. Setiap pemberian Allah bukanlah hak milik mutlak, melainkan titipan yang akan dipertanggungjawabkan.
Kata khalifah dalam Surah Al-Baqarah Ayat 30 bukan berarti manusia adalah penguasa yang semena-mena atas bumi, melainkan pemimpin yang bertugas menjaga, merawat, dan menata bumi sesuai petunjuk Ilahi. Manusia diangkat sebagai khalifah bukan untuk menghancurkan, tetapi untuk melestarikan. Maka setiap tindakan yang membawa kerusakan sejatinya adalah pengkhianatan terhadap tugas kekhalifahan itu.
Al-Qur’an berulang kali memperingatkan manusia agar tidak membuat fasad (kerusakan) di muka bumi. Dalam Surah Al-A’raf ayat 56 disebutkan“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, setelah Allah memperbaikinya.”
Konteks fasad (berbuat kerusakan) pada ayat di atas adalah luas, mencakup segala bentuk tindakan yang menghancurkan tatanan kehidupan, termasuk merusak ekosistem, menggunduli hutan, mencemari sungai, dan membunuh hewan tanpa tujuan.
Kerusakan ekologis yang kita saksikan hari ini—dari banjir yang melanda kota, kekeringan panjang yang merusak pertanian, hingga suhu bumi yang terus meningkat—sebagian besar merupakan akibat dari keangkuhan manusia yang merasa berhak menguasai alam tanpa batas.
Spiritualitas dan Etika Ekologis Nabi Muhammad
Nabi Muhammad bukan hanya seorang Nabi, tapi juga pendidik ekologi. Beliau hidup sederhana, mencintai hewan, melarang penebangan pohon secara sembrono, dan melarang membuang air secara mubazir bahkan ketika berwudu di sungai. Suatu ketika, Rasulullah melihat sahabatnya membuang-buang air saat berwudu, dan beliau menegur, “Jangan berlebihan, meskipun engkau berada di sungai yang mengalir.” (HR. Ahmad).
Hadis ini menunjukkan bahwa bahkan sumber daya yang tampak melimpah sekalipun tidak boleh disia-siakan. Di sini kita belajar bahwa Islam bukan hanya mengatur ibadah ritual, tapi juga menyelipkan dimensi etika terhadap lingkungan dalam praktik keseharian.
Lebih lanjut, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah ﷺ bersabda“Iman memiliki lebih dari enam puluh cabang, dan cabang yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan.” Sebaliknya, mereka yang justru meletakkan gangguan di jalan, seperti sampah, limbah, atau polusi, maka secara ruhani sedang melawan bagian dari iman itu sendiri.
Krisis Iklim: Krisis Moral dan Iman
Hari ini, dunia sedang menghadapi krisis iklim global. Permukaan laut naik, es kutub mencair, suhu bumi melonjak, dan cuaca makin tidak terprediksi. Bagi umat Islam, ini bukan hanya krisis ilmiah atau masalah teknis, tapi juga krisis spiritual. Setiap kerusakan yang ditimbulkan adalah buah dari hilangnya adab manusia terhadap alam dan hilangnya rasa takut kepada Tuhan.
Dalam Surah Ar-Rum ayat 41, Allah memperingatkan “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Ayat ini menjadi alarm ilahi bahwa bencana ekologis bukanlah azab tak berdasar, tapi panggilan agar kita bertobat, introspeksi, dan kembali kepada tatanan yang diajarkan oleh Islam: hidup seimbang, menjaga makhluk, dan menghindari kerakusan.
Menjaga lingkungan jugalah bagian dari ibadah. Sebuah hadis menyebutkan bahwa siapa yang menanam pohon, lalu makhluk hidup memakan buahnya, maka itu akan menjadi sedekah baginya. Bahkan dalam kisah seorang pelacur yang memberi minum seekor anjing, lalu Allah mengampuni dosanya, kita belajar bahwa kebaikan terhadap makhluk lain bisa menjadi jalan keselamatan di akhirat.
Betapa banyak pohon yang kita tebang demi memperluas proyek, betapa banyak air yang kita kotori, betapa banyak sampah yang kita buang sembarangan. Padahal, bisa jadi justru pohon yang kita tanam dan sungai yang kita jaga akan menjadi saksi di akhirat kelak.
Menjaga lingkungan tidak harus dimulai dengan proyek besar. Kita bisa memulainya dari hal-hal sederhana: tidak membuang sampah sembarangan, mengurangi plastik sekali pakai, menanam pohon, menghemat air, dan mengajarkan anak-anak kita untuk mencintai alam. Sebagaimana kaidah fikih emngajarkan, “Apa yang tak mungkin kita gapai semua, maka janganlah ditinggalkan semua.”
Di tengah dunia yang makin sesak oleh polusi dan perusakan alam, suara Islam harus kembali didengar. Bahwa menjaga lingkungan bukan sekadar gaya hidup hijau, tapi juga manifestasi iman. Bahwa menyelamatkan bumi jugalah panggilan agama. Dan bahwa setiap kebaikan kecil terhadap alam akan menambah catatan amal kebaikan.