close

Liputan Mendalam

BeritaKabar DaerahLiputan Mendalam

Hantu Prostitusi dalam Terangnya Kota Syariat

[Reportase Khusus sahih.co]

Reporter: Misbahul
Editor Substantif: Nauval Pally T
Editor Naskah: T. Zulman Sangga Buana

Satu klik membuka ruang gelap, satu pesan mengantar perempuan ke dalam “ruang eksekusi”. Dari balik layar ponsel, harga diri ditawar serendah senyap. Tak ada musik, tak ada lampu berkelap-kelip—hanya derap uang dan desah samar dari kota yang konon menjaga kehormatan. Di balik kaca hotel, tubuh-tubuh dipertukarkan.

Itu bukan sekadar rumor atau cerita warung kopi. Dalam sebuah wawancara eksklusif, kami berbincang panjang dengan Nodie (nama samaran), eks muncikari yang aktif selama empat tahun, dari 2019 hingga 2023, di jantung kota yang menjunjung syariat. Ia membuka tabir gelap yang jarang disingkap terang. Nodie bercerita tentang mahasiswi, tentang tarif jutaan rupiah, tentang pejabat daerah, dan tentang hotel-hotel “berkolam renang” (baca: berbintang) tempat dosa ditukar dengan diskon diam-diam.

Kami mewawancarainya melalui panggilan telepon, menyimak suara tenang yang datang dari jarak lebih enam ratus kilometer. Ia kini tinggal jauh dari kota yang selama empat tahun menjadi ladangnya menggiring perempuan ke ranjang-ranjang hotel. Butuh rasionalisasi yang alot sebelum akhirnya ia bersedia diwawancarai.

“Saya mulai tahun 2019, Bang,” ujarnya perlahan. Nodie mengaku bukan bagian dari jaringan tertentu, tidak pula bekerja di bawah komando siapa pun. “Mandiri, engga ada yang ajarin, belajar sendiri, bisa sendiri, berjalan sendiri.” Keputusan itu lahir setelah ia kehilangan pekerjaan tetap pada pengujung 2019, saat Covid-19 mulai mengguncang.

Selama empat tahun menapaki dunia itu, Nodie punya sejumlah perempuan yang ia “kelola”. Awalnya satu, lalu terus bertambah. Waktu membuat semua jadi lebih mudah. Katanya, di antara mereka ada yang masih duduk di bangku kuliah. Nodie menyebut kebanyakannya mahasiswi dari jurusan hukum, kedokteran, akuntansi, dan ekonomi.

“Mereka datang sendiri, Bang. nggak saya cari, nggak saya paksa,” ujarnya. Sebagian dari mereka memiliki cerita yang hampir seragam: ekonomi keluarga yang hancur dan harapan hidup yang nyaris habis. Tak sedikit yang datang dengan pengakuan getir, bahwa keperawanan mereka sudah dulu lenyap sebelum dunia malam menyentuh mereka. “Udah hilang sama pacarnya, (jadi) mereka merasa udah nggak punya apa-apa lagi yang bisa dijaga,” kata Nodie.

“Anak-anak” Nodie lebih banyak diminati “konsumen kelas kakap”, tarifnya: Rp1,8 juta untuk satu jam jika klien menyediakan tempat, dan Rp2,5 juta bila tempat disiapkan oleh Nodie. Dan, untuk opsi long-time, tarifnya menjadi berlipat-lipat: 6–7 juta rupiah. Soal kalangan mana saja yang jadi pemesannya, Nodie menyebutnya lugas, “Ya pejabat dan pengusaha, Bang, kebanyakan … (dari) provinsi ada, daerah ada, kota ada. Pejabat pemerintahan ada, aparat, DPRA dan DPRK (juga) keduanya ada. Dosen juga pernah saya dapati, Bang.”

Terkait dengan keterlibatan pejabat dan aparat, Nodie juga mengaku bahwa ia pernah ditawari backing-an. “Ada yang nawarin backing—dari oknum aparat juga. Tapi saya tolak. Dan justru setelah itu saya bermasalah. Tapi saya nggak menyesal,” jelas Nodie yang mengaku bahwa dia harus pindah ke kota lain setelah terjerat masalah di Banda Aceh. Akan tetapi, Nodie keberatan untuk menjelaskan lebih mendetail tentang permasalahan yang menjeratnya.

Dalam setiap transaksi yang diprakarsai oleh Nodie, pembagian hasilnya sudah jelas: 70 persen untuk perempuan, sisanya 30 persen menjadi hak Nodie sebagai muncikari. Ia juga mengaku menolak perantara atau calo. “Saya lebih suka langsung, Bang. Duduk bareng cewek-cewek. Klien lihat sendiri. Kalau lewat orang lain, saya nggak mau,” katanya.

Tempat pelaksanaan prostitusinya pun bukanlah tempat sembarangan. Ia menghindari wisma murah. Sebaliknya, ia menyewa kamar di hotel-hotel berbintang, yang punya kolam renang dan nama yang akrab di telinga publik Banda Aceh. “Yang umum-umum aja, Bang. Hotel yang banyak orang tahu, kan ada yang ada kolam renang. Biar nggak mencurigakan,” katanya, tanpa menyebut nama secara langsung.

Pengakuan Nodie itu selaras dengan data Penyelidik Kepolisian Daerah Aceh (Polda Aceh). Dari data yang dibeberkan kepada sahih.co, pada tahun 2023, dalam pemrofilan (profiling) prostitusi online, Polda Aceh mendapati pelaksanaan praktik prostitusi di Hermes Hotel, tepatnya di kamar 305, pada malam hari, 9 Februari 2023. Pihak Polda Aceh juga menyebut bahwa dalam pemrofilan yang mereka lakukan, sebagian besar transaksi muncikari kelas atas di Banda Aceh memang kerap terjadi di hotel tersebut.

Namun, informasi itu dibantah oleh pihak Hermes Hotel. Budi Syaiful, General Manager Hermes Hotel, membantah dugaan bahwa tempatnya memfasilitasi praktik esek-esek terselubung. “… itu tidak benar adanya, sebab kami tidak mau mendapatkan pendapatan dari hasil yang haram. Kami pun sudah mengupayakan beberapa hal untuk mencegah perbuatan yang tidak baik dan selalu menetapkan aturan syariah,” tegasnya melalui pesan WhatsApp kepada sahih.co. Mengenai detail waktu dan tempat pelaksanaan di Hermes Hotel sebagaimana diungkapkan pihak Polda Aceh di atas, Budi menyatakan tidak mengetahui tentang hal itu.

Melihat Upaya Pemerintah Kota

Banda Aceh masihlah amat cemerlang dalam terangnya, tetapi hantu prostitusi terus membayang-bayangi. Masalah itu kini menjadi salah satu fokus serius Wali Kota Banda Aceh, Illiza Saaduddin Jamal, seperti terlihat dalam wawancara yang kami lakukan.

Bunda Illiza, begitu ia kerap disapa, menegaskan bahwa meskipun kota ini dikenal dengan penerapan syariat Islam yang ketat, masalah prostitusi terselubung masih menjadi tantangan besar yang harus dihadapi. “Sebagai kepala daerah di provinsi yang memberlakukan syariat Islam, saya pastikan tak ada tempat bagi prostitusi di Banda Aceh. Kita akan konsisten melakukan pengawasan dan penindakan terhadap pelanggaran syariat Islam, tak hanya prostitusi,” tegas Illiza, melalui pesan WhatsApp yang disampaikan melalui juru bicaranya, Tommy.

Illiza juga mengungkapkan bahwa Pemerintah Kota Banda Aceh sudah memiliki pemetaan yang jelas terkait dengan titik-titik rawan maksiat dan lokasi praktik prostitusi. “Kami pastikan Dinas Syariat Islam dan Satpol PP dan WH Banda Aceh serta instansi terkait memiliki pemetaan titik-titik rawan maksiat, termasuk dugaan lokasi praktik prostitusi dan pelanggaran syariat lainnya,” jelasnya. Data tersebut berasal dari laporan masyarakat, razia sebelumnya, serta kerja sama dengan tokoh masyarakat dan keuchik (kepala desa).

Adapun terkait dengan dugaan keterlibatan para pejabat dalam praktik ini, Illiza menegaskan bahwa penegakan hukum akan dilakukan secara transparan dan tanpa pandang bulu. “Tak ada yang kebal hukum,” tuturnya tegas, menegaskan komitmennya untuk memastikan keadilan ditegakkan tanpa kompromi.

Illiza menjelaskan bahwa penyebab prostitusi ini kompleks, tidak terbatas faktor ekonomi saja sehingga penyelesaiannya harus menyentuh akar permasalahan. “Tak hanya kemiskinan penyebab seseorang terlibat prostitusi. Dalam visi-misi kami, nilai-nilai syariat Islam merupakan bagian utuh di seluruh sektor layanan. Sementara di RPJM kami juga memasukkan program pemberdayaan UMKM dan masyarakat berbasis gampong.  Prostitusi (juga) bukan hanya tentang perempuan, laki-laki juga. Solusinya harus menyeluruh menyentuh akar persoalan. Maka kita akan berkolaborasi dengan dayah, majelis taklim, dan lembaga dakwah.”

Terakhir, mengenai tantangan moral yang makin kompleks di tengah era digital, terutama terhadap generasi muda Aceh, Illiza berpesan, “Mari manfaatkan teknologi untuk hal-hal positif, membangun kapasitas diri, dan menjadi agen perubahan. Kota ini butuh pemuda-pemudi yang berani menjaga kehormatan diri dan menegakkan nilai-nilai keislaman dengan penuh kesadaran, bukan karena paksaan.”

Baca Selengkapnya
Kabar NasionalLiputan Mendalam

Dari Mispersepsi hingga Intoleransi: Ribut-Ribut Soal Ponpes As-Sunnah Lombok Timur

SAHIH.CO – Mungkin tak ada yang menduga tengah malam yang lengang seketika jadi mencekam. Amukan massa dan kobaran api menyentak penghuni Ponpes As-Sunnah di Desa Bagik Nyaka, Kecamatan Aikmel, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat pada Senin, 2 Januari 2022.

Ratusan massa yang datang pada sepertiga malam terakhir, sebagian beratributkan senjata tajam dan penutup muka, dengan cepat merangsek masuk dan merusak sejumlah fasilitas pondok. Massa merobohkan pagar, menghancurkan pos satpam, merusak klinik kesehatan, serta menggasak dan membakar sejumlah kendaraan: lima mobil dan tujuh sepeda motor hancur.

Beruntung, sekitar pukul 02.20 WITA aparat polsek setempat datang dan massa memilih bubar. Namun, misi perusakan nyatanya tak kelar di situ dan massa bersiap untuk aksi berikutnya. Tak lama, sekitar pukul 03.00 WITA, massa membakar bakal dan fondasi Masjid Imam Asy-Syafii yang terletak di Desa Mamben Daya, Kecamatan Wanasaba. Bakal masjid yang pembangunannya sedang digarap oleh kelompok As-Sunnah (merujuk kepada Ponpes As-Sunnah).

Baca juga: Wapres Tegaskan agar Penyerang Ponpes As-Sunnah Lombok Timur Diproses Hukum

Sebuah potongan video ceramah diduga menjadi pemicu amukan massa tersebut. Dalam video yang tersebar luas itu, Ustaz Mizan Qudsiyah, pengasuh Ponpes As-Sunnah Bagik Nyaka, dianggap telah melecehkan sejumlah makam leluhur di Lombok.

Dalam video yang berdurasi kurang dari dua menit itu, Mizan menyebutkan sejumlah nama makam leluhur di Lombok yang kerap menjadi destinasi ziarah warga dari berbagai tempat. “Makam Selaparang, Bintaro, Sekarbela, Loang Baloq, Ali Batu, Batu Layar, Kuburan Tain Acong, Keramat Tain Acong …”, tutur Mizan dalam potongan video yang beredar.

Dalam video versi potongan itu, cerita Mizan soal sejarah kunjungan-kunjungan ke makam-makam tersebut berhenti dan tersorot pada frasa Kuburan Tain Acong, yang itu berarti kotoran anjing. Dalam versi ini, frasa Kuburan Tain Acong diberi penekanan khusus sehingga mengesankan bahwa Mizan sedang menghina sederet nama kuburan yang disebut sebelumnya sebagai kuburan tain acong atau kuburan kotoran anjing.

Berdasarkan sebuah penelusuran, versi utuh video tersebut berdurasi lebih dari satu jam dan sudah setahun lebih dipublikasi, jauh terpaut mendahului versi potongan/editan yang baru-baru ini beredar. “Dulu datang kita, kadang sekali setahun, untuk datang ke mana? Makam Selaparang, Bintaro, Sekarbela, Loang Baloq, Ali Batu, Batu Layar, Kuburan Tain Acong, Keramat Tain Acong … masa ga ingat Allahyarham Tuan Guru Mahsun sebut itu.”

Sesuai dengan klarifikasi yang telah diberikan oleh Mizan, bahwa frasa Kuburan Tain Acong tidaklah dimaksud untuk menggelari sederet nama makam yang telah ia sebut, tetapi itu hanyalah nukilan satu nama kuburan lain yang melegenda di Lombok dengan nama yang memang agak aneh, makam/kuburan tain basong, yang punya arti serupa dengan tain acong; kotoran anjing. Sebutan tain acong itu sendiri digunakan oleh almarhum TGH Mahsun (salah seorang ulama karismatik Lombok) sebagai nama lain dari tain basong. Ada legenda yang beredar di kalangan masyarakat Lombok Timur yang menggambarkan latar historis mengapa kuburan itu memiliki nama yang tak biasa.

Namun, potongan video yang terpelintir dari maksud sesungguhnya terlanjur beredar dan menjalarkan salah paham secara meluas. Rentetan keributan terus terjadi hingga hari ini. Tuntutan massa agar aparat hukum memproses Mizan terus diampifikasikan. Klarifikasi Mizan sama sekali tak dihiraukan.

Sementara itu, Kabid Humas Polda NTB, Kombes Pol Artanto, sebagaimana keterangannya melalui tvOne pada hari Minggu lalu, mengatakan bahwa pihaknya kini tengah menyelidiki apa motif sesungguhnya penyebaran potongan video tersebut.

“Hasil penyelidikan awal dari kami, video itu dibuat pada bulan November, pada tahun 2020. Ada video utuhnya, namun baru kemarin itu diviralkan dalam bentuk potongan. Ini sedang kita dalami apa maksud tujuan dari memviralkan video tersebut karena antara video utuh dengan video potongan tersebut sangat berbeda sekali …”, ungkap Artanto.

Kendati demikian, Mizan sendiri saat ini telah diperiksa pula oleh pihak kepolisian untuk dimintai keterangan sebagai saksi terkait dengan materi ceramahnya. Bersamaan dengan itu, penyelidikan terhadap provokator dan pelaku perusakan juga terus dilakukan.

Jejak Intoleransi

Ribut-ribut yang baru-baru ini terjadi di Lombok Timur dengan sejumlah rentetan yang masih terus berlangsung, agaknya tak dapat hanya dikaitkan dengan soal amarah yang dipicu oleh potongan video ceramah Mizan yang beredar. Fondasi konflik sudah tersedia sebelumnya.

Penolakan terhadap aktivitas keagamaan kelompok As-Sunnah oleh sejumlah warga telah diketahui sejak lama dan potongan video menjadi titik masuk untuk mengobarkan kembali seteru dan semangat penolakan. Kelompok As-Sunnah memang dianggap oleh sejumlah warga setempat memiliki beberapa perbedaan pemahaman dengan keumuman mereka.

Pada Kamis, 2 Desember 2021 lalu, ratusan warga Desa Mamben Daya menggelar aksi unjuk rasa untuk memprotes pembangunan Masjid As-Syafii, masjid binaan kelompok As-Sunnah yang kemudian menjadi sasaran pemberangusan saat peristiwa 2 Januari 2022 kemarin.

“Jamaah. Saudara, kenapa masjid ini sudah jadi? Ada apa? Siapa yang mengizinkannya? Ingat saudara jangan rusak masjid ini, tetapi kita minta untuk dipergunakan oleh ahlussunnah wal jamaah. Kalaupun tidak ada kesepakatan ini, tidak diserahkan pada ahlussunnah wal jamaah, maka masjid tersebut tidak boleh berdiri,” kata Muh Zaini Akmal, salah satu tokoh yang berorasi.

Orasi itu dengan terang menunjukkan ada seteru pemahaman yang melatari penolakan. Stigma Wahabi terhadap kelompok As-Sunnah juga dengan berkobar-kobar disuarakan melalui aksi itu. “Siap kita usir Wahabi, siap kita usir Wahabi, siap kita usir Wahabi”, pekik salah seorang orator yang beraksi, sebagaimana terekam dalam salah satu video yang beredar.


Penulis:
Nauval Pally Taran
Editor: Teuku Zulman Sangga Buana

Baca Selengkapnya