close
Politik & Hukum

Menyoal Informasi Halal pada Produk di Pasar Digital

Kehadiran teknologi digital membuka kesempatan kepada semua pihak untuk membuka usaha, baik untuk usaha dengan skala UMKM maupun usaha besar. Beragam produk tersedia di pasar digital atau e-commerce, mulai dari produk peralatan rumah tangga, kosmetik, obat-obatan hingga makanan dan minuman.

Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW) Ikhsan Abdullah mengatakan bahwa penjualan makanan dan minuman di masa pandemi Covid-19 hampir sebagian besar dilakukan melalui online. Penjual dan Pembeli bertransaksi (bermuamalah) via daring. Pembeli hanya melihat produk melalui sajian visual, di mana interaksi dengan penjual maupun produsen sangat terbatas.

Apalagi saat ini juga bermunculan reseller, sehingga informasi tuntas terhadap suatu produk menjadi terbatas. Sangat berbeda dengan bila transaksinya dilakukan secara langsung. Informasi detail pasti bisa diperoleh termasuk informasi kehalalan suatu produk.

Atas fakta itu, Ikhsan menegaskan pentingnya bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam untuk mendapatkan jaminan atas kehalalan suatu produk sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), yang beberapa ketentuannya telah diubah, dihapus, atau ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).

Sebagaimana ketentuan dalam Pasal 4 UU JPH, mengatur bahwa “Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal”. Bagi pelaku usaha yang menjual produk dari bahan yang berasal dari bahan yang tidak halal, maka pelaku usaha tersebut wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada produknya. (Baca: Seluk-beluk Jaminan Produk Halal dalam UU Cipta Kerja)

Namun jika dilihat dari beberapa pasar e-commerce besar, Ikhsan menyebut masih banyak pelaku usaha yang abai akan kewajiban tersebut. Banyak pelaku usaha yang tidak menampilkan dengan lengkap sertifikat kehalalan produk, self-declare halal sebelum adanya pemeriksaan, dan tidak adanya direktori untuk kategori produk halal.

“Wajib adanya menu pilihan halal di menu kuliner. E-commerce harus mencantumkan pilihan tadi, yang tidak halal tetap ada informasi tidak halal dengan tanda. Tolong ini segera dibuat agar masyarakat bisa ebih aware, memilih yang halal atau tidak halal,” kata Ikhsan dalam sebuah webinar Kamis, (14/10).

Ikhsan memandang informasi halal dan tidak halal suatu produk adalah sangat penting, terutama untuk produk makanan dan minuman yang telah bersertifikat halal. Diharapkan konsumen dapat lebih berhati–hati dalam memilih produk, dan teliti saat melakukan pembelian makanan atau groceries melalui perdagangan daring di masa pandemi.

Indonesia Halal Watch pun sangat mengapresiasi niatan Pemerintah untuk menghimbau kepada seluruh usaha, serta layanan jasa E-commerce yang bekerja sama dengan pelaku usaha agar dapat mematuhi PP 39/2021, termasuk jasa layanan dan antar yang wajib memahami dan mematuhi ketentuan tersebut. Ini juga dalam rangka meningkatkan kepercayaan konsumen dan peningkatan penjualan dan omset produsen, serta kenyamanan konsumen (consumer satisfaction).

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai bahwa UU JPH belum efektif melindungi konsumen terkait pangan, apalagi farmasi sejak diterbitkan pada 8 tahun yang lalu. Kendalanya, merujuk pada teori Lawrence Friedman, adalah dari sisi efektivitas produk hukum yang dipengaruhi 3 aspek yakni struktur hukum, konten hukum, dan kultur hukum. Dari aspek struktur hukum, UU JPH tidak siap dalam menyediakan jumlah auditor halal. Saat ini baru terdapat 1800-an auditor halal di mana setiap tahun ada sekitar 920 ribuan produk yang harus disertifikasi halal, dan memerlukan idealnya 30.000-an orang auditor halal.

Kemudian menyoal self-declare untuk sektor UMKM sebagaimana diatur dalam UU Ciptaker. Pasal 4A UU Ciptaker menyebutkan: “(1) Untuk Pelaku Usaha Mikro dan Kecil, kewajiban bersertifikat halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 didasarkan pernyataan pelaku usaha Mikro dan Kecil; (2) Pernyataan Pelaku Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan standar halal yang ditetapkan oleh BPJPH.” Namun, Tulus berpendapat kemudahan sertifikasi halal untuk UMKM lewat self-declare menyebabkan kerentanan dari sisi perlindungan konsumen.

Merujuk pada UU JPH dan UU Perlindungan Konsumen, Tulus menghimbau pelaku usaha untuk memenuhi dan mematuhi ketentuan halal, sebagaimana diatur dalam UU JPH dan UU PK, serta diperlukan post market control yang kuat oleh pemerintah.

Pre-market control itu penting, tapi post market-control lebih penting,” ujar Tulus pada acara yang sama.

Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH Kementerian Agama (Kemenag) Matsuki HS mengatakan bahwa keberadaan UU JPH bertujuan untuk memastikan ketersediaan produk halal bagi muslim dan warga negara Indonesia dimana pelaku usaha diwajibkan melakukan sertifikasi halal, termasuk pelaku usaha pasar digital. Jika produk yang dijual mengandung bahan yang tidak halal, maka pelaku usaha juga memiliki kewajiban untuk mencantumkan keterangan tidak halal sebagaimana diatur dalam pasal 2, pasal 3, pasal 92 dan pasal 93 dalam PP 39/2021.

Selain itu BPJPH juga melakukan pengawasan terhadap produk halal. Sebagai bentuk jaminan pengawasan halal, BPJPH memiliki 3 “Pusat”, salah satunya adalah Pusat Pembinaan dan Pengawasan yang memiliki tugas dan fungsi menyiapkan aturan berkaitan dengan pengawasan JPH.

Kemudian, Penyelia Halal bertanggung jawab salah satunya membuat laporan pengawasan PPH, Pengawasan JPH dilaksanakan oleh pengawas JPH pada BPJPH, kementerian terkait, lembaga terkait, dan/atau pemerintah daerah provinsi/kabupaten/ kota, dan adanya keterlibatan masyarakat dalam pengawasan di mana dapat masyarakat dapat ikut mengawasi penyelenggaraan JPH, salah satunya pengawasan produk halal yang beredar.

 

Penulis: Fitri Novia Heriani

Sumber: Hukumonline.com

Tags : market placeproduk halal

The author Redaksi Sahih

Leave a Response