close
Kabar InternasionalProfil

Beberapa Kisah tentang Wanita Inggris Memeluk Islam (Kisah Pertama)

Ioni Sullivan, 37 tahun, pekerja otoritas lokal

Saya menikah dengan seorang muslim dan memiliki dua anak. Kami tinggal di Lewes, saya mungkin satu-satunya yang berhijab di desa itu. Saya lahir dan dibesarkan di keluarga ateis kelas menengah, condong ke kiri; ayah saya adalah seorang profesor, ibu saya seorang guru.

Setelah saya menyelesaikan studi MPhil (master of philosophy atau magister filsafat) saya di Cambridge, pada tahun 2000, saya mendapat kesempatan bekerja di Mesir, Yordania, Palestina, dan Israel. Saat itu, saya memiliki pandangan yang cukup stereotip tentang Islam.

Akan tetapi, saya terkesan dengan kekuatan orang-orang yang berasal dari kepercayaan itu. Hidup mereka susah, namun hampir semua orang yang saya temui tampaknya menghayati keberadaan mereka dengan ketenangan dan stabilitas, kontras sekali dengan dunia yang saya tinggalkan.

Pada tahun 2001, saya jatuh cinta dan menikah dengan seorang Yordania dari latar belakang yang tidak benar-benar mempraktikkan Islam. Pada awalnya, kami menjalani gaya hidup yang sangat kebaratan; pergi ke bar dan klub, tetapi pada waktu itu saya juga memulai kursus bahasa Arab dan mempelajari terjemahan Al-Qur’an bahasa Inggris.

Saya mendapati diri saya membaca buku yang mengeklaim bahwa bukti keberadaan Tuhan ada dalam keindahan dan keseimbangan ciptaan yang tak terbatas. Ini bukanlah buku yang meminta saya untuk percaya bahwa Tuhan berjalan di bumi dalam bentuk manusia; saya tidak membutuhkan seorang imam untuk memberkati saya atau tempat suci untuk berdoa.

Kemudian, saya mulai melihat praktik-praktik Islam lainnya yang saya anggap keras, seperti puasa, kewajiban membayar zakat, dan gagasan tentang kesopanan. Saya berhenti melihat itu semua sebagai pembatasan kebebasan pribadi dan menyadari bahwa itu adalah cara untuk mencapai pengendalian diri.

Dalam hati, saya mulai menganggap diri saya seorang muslim, tetapi tidak merasa perlu untuk meneriakkannya. Sebagian dari diri saya berusaha menghindari konflik dengan keluarga dan teman-teman saya. Pada akhirnya, hijablah yang “memperkenalkan” saya ke masyarakat yang lebih luas; saya mulai merasa tidak jujur ​​pada diri sendiri jika saya tidak memakainya.

Hal itu menyebabkan beberapa gesekan, dan juga humor. Orang-orang terus bertanya dengan nada lirih, apakah saya menderita kanker. Namun, saya sangat terkejut melihat betapa hal kecil itu penting dalam setiap hubungan bermakna yang saya miliki.

Pewarta: Veronique Mistiaen

Penerjemah: Muhajir Julizar
Editor: Teuku Zulman Sangga Buana

Sumber: The Guardian 

Tags : mualafmuslimah

The author Redaksi Sahih

Leave a Response