close
Opini

Pertumbuhan Sains dan bagaimana Muslim Melihat Dunia

Foto: Pixabay

Dalam perkembangan dunia modern dewasa ini, hampir segala sesuatunya dilihat melalui sudut pandang sains. Sains dianggap sebagai kunci untuk menjawab hampir seluruh fenomena yang kita ketahui di dunia. Sebuah survei oleh perusahaan global berbasis pengetahuan ilmiah dan teknologi terhadap 14.000 responden dari 14 negara pada tahun 2019 menunjukkan 87% responden percaya bahwa kita membutuhkan sains untuk menyelesaikan masalah dunia. Sebuah angka yang menakjubkan.

Perkembangan sains hingga pada tahap ini memang telah mencapai tingkat yang mengagumkan. Hampir semua persoalan manusia dijawab dengan sudut pandang sains, meskipun tidak semuanya terbukti benar. Beberapa hanyalah hipotesis yang tidak pernah berkembang menjadi fakta. Di sisi lain, tidak sedikit hal yang telah dikonfirmasi sebagai fakta sains beberapa dekade lalu berubah menjadi fakta salah pada hari ini.

Empirisme dan Perniknya dalam Jubah Sains

Sebenarnya, menarik untuk dicermati bahwa sebagian besar saintis masyhur pada masa modern cenderung ateis atau minimal agnostik, seperti Sagan, Dawkins, Hawking, Sakharov, Krauss, dan lain-lain.

Jika dicermati secara baik dan benar, hampir setiap tokoh di atas menganut salah satu aliran dalam ilmu filsafat, yaitu empirisme, naturalisme, positivisme, atau turunan dari salah satu aliran tersebut. Yang jika dicermati dengan baik, memiliki kesamaan satu sama lain, yakni menuntut bukti empiris dan menolak sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara empiris.

Locke menyebutkan bahwa data-data empiris tersebut diperoleh dengan apa yang ia sebut sebagai pandangan-pandangan sederhana (simple ideas) yang terbagi atas empat bagian. Pertama, pandangan yang hanya diterima oleh satu indra saja, seperti bunyi yang diterima oleh telinga. Kedua, pandangan yang diterima oleh beberapa indra, seperti ruang dan gerak. Ketiga, pandangan yang dihasilkan oleh refleksi kesadaran manusia, seperti ingatan. Keempat, pandangan yang menyertai saat terjadinya hal penerimaan dan refleksi, seperti rasa tertarik dan heran (John Locke, An Essay Concerning Human Understanding, 2007).

Pandangan Locke ini juga diamini oleh penganut positivisme yang dikenal dengan teori tentang makna yang dapat dibuktikan. Penganut positivisme kemudian berkembang menjadi lebih “radikal” dengan melakukan upaya pembersihan ranah filsafat dari hal-hal yang bersifat metafisika karena tidak dapat dibuktikan eksistensinya. Atas dasar tersebut, mereka tidak mempercayai adanya Tuhan, yang menurut mereka tidak dapat dibuktikan secara empiris.

Oleh karena itu, dapat saya nyatakan bahwa ateisme dalam dunia sains tidak pernah berdiri sendiri, paham tersebut selalu hadir dengan keyakinan terhadap salah satu paham dari paham-paham filsafat yang memang membangun sains itu sendiri.

Hubungan Panjang Sains dan Agama

Sebagai sebuah hubungan antara dua pihak yang berbeda, tentu saja konflik dan lika-liku akan senantiasa ada sepanjang hubungan itu terjadi. Terkadang berada di puncak romantisme, pada waktu lain berada di ujung konflik hingga tampak seakan telah terjadi talak antara keduanya.

Dalam sejarah Islam sendiri, agama dan sains pernah punya hubungan yang rumit, lebih tepatnya antara tokoh agama dan tokoh sains. Pada satu waktu, amat banyak tokoh ilmuwan masa lalu yang dianggap menyimpang menurut tokoh agama, sedangkan pada waktu lain, sains dianggap sebagai salah satu sisi yang turut melahirkan kegemilangan peradaban Islam.

Dalam kaitannya dengan itu, umat secara garis besar terbagi menjadi empat kelompok. Pertama, mereka yang menolak sains, walaupun setelah adanya fakta-fakta sains yang jelas dan tidak bertentangan dengan agama, kelompok ini termasuk kepada golongan pseudosains atau denialism. Kedua, kelompok yang bersifat pertengahan, mereka tidak menolak fakta sains, tetapi jika fakta sains tidak sejalan dengan agama, bahkan melabrak norma-norma agama, mereka lebih memilih agama dan kesempurnaan ajarannya. Ketiga, mereka yang berusaha melakukan pencocokan antara fakta sains dan agama dengan mencari dalil-dalil dari Al-Qur’an dan hadis yang cenderung agak dipaksakan. Keempat, kelompok ini beriman kepada agama dan juga sains, tetapi jika fakta-fakta sains tidak sesuai dengan agama mereka cenderung mengikuti fakta-fakta sains.

Maka dari itu, bagi kaum muslim, kelompok kedua merupakan pilihan yang lebih ideal. Hal ini karena sains adalah produk manusia yang meskipun telah terbukti, suatu saat bisa jadi salah dan sesuatu yang salah hari ini, suatu saat mungkin akan menjadi fakta sains. Adapun agama dan kesempurnaan yang ajarannya berasal dari Al-Qur’an dan hadis merupakan wahyu Ilahi, yang meskipun hari ini tidak semua atau banyak kandungannya tidak dapat dibuktikan secara sains, tetapi kebenarannya bersifat mutlak yang dapat dibutikan ketersambungannya sebagai wahyu ilahi, yang tidak akan runtuh walaupun oleh ribuan “fakta” sains.

Selain itu, sains dengan segala klaim kedigdayaannya ternyata tidak selalu tampak begitu. Saintis tidak mampu memverifikasi beberapa fakta yang mereka anggap fakta yang nyata, semisal organisme pertama yang menjadi asal muasal evolusi atau wujudnya kesadaran. Mereka meyakini adanya hal tersebut, tetapi metodologi mereka seketika runtuh dalam upaya membuktikannya. Namun begitu, dalam persoalan lainnya (metafisika) atau lebih sempit lagi, keberadaan Tuhan, mereka menolaknya hanya karena tidak dapat mereka buktikan keberadaannya, sebuah paradoks yang nyata.

Sebenarnya, Tuhan dan kewujudan metafisika dapat diterima keberadaanya dan memang seharusnya diterima. Sederhananya, silakan buktikan kalau Tuhan dan entitas lain dari alam metafisika sebenarnya tidaklah ada. Para saintis tidak dapat membutikan ketidakadaan Tuhan dan alam metafisika, karena memang metode mereka tidak kompatibel untuk itu, dan, sepanjang hal tersebut tidak bisa dibuktikan, maka bagaimana mungkin dengan begitu berani mereka katakan semua itu tidak ada. Atau, dalam kata Popper, silakan falsifikasikan keberadaan Tuhan dan entitas metafisika lainnya.

Al-Quran Mendahului Sains dari Segala Aspek

Al-Qur’an merupakan kitab yang absolut kebenarannya dan tidak ada keraguan padanya yang menjadi petunjuk bagi orang-orang bertakwa (Al-Baqarah: 2). Sedikit penggalan terjemahan bebas dari ayat tersebut seakan menjelaskan bagi kita sebagai umat Islam bahwa Al-Qur’an adalah kitab petunjuk, ia bukan kitab sains meski mengandung nilai-nilai sains, ia bukan kitab sejarah meski memuat sejarah masa lalu, ia juga bukan kitab nahu meski dalil-dalil nahu merujuk padanya. Dalam sangat banyak ayat disebutkan bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk bagi setiap individu muslim yang akan mengarahkan mereka menuju kebenaran absolut yang tidak ada keraguan padanya sedikit pun.

Meskipun Al-Qur’an adalah kitab petunjuk, sebagai kalam-Nya yang dipenuhi dengan ilmu-Nya, Al-Qur’an mendahului sains modern dalam segala aspek, seperti memprediksi masa depan, menceritakan kejadian masa lalu, dan menyebutkan fakta sains yang belum terbukti berabad-abad setelah Al-Qur’an turun. Sementara itu, pada saat Al-Qur’an turun, kerangka sains pun belum terbentuk.

Islam sebagai Sebuah Sudut Pandang

Sebagai seorang muslim, kita perlu bersikap konsisten dengan identitas kemusliman kita. Tidak perlu mengikuti orang banyak yang meninggalkan ciri kemusliman mereka. Islam dalam segala hal telah Allah sempurnakan di atas hal-hal lainnya. Sebagai sesuatu yang sempurna, Islam menuntut untuk diamalkan secara sempurna juga.

Sebab itu, menurut saya, di antara bentuk pengamalan terhadap Islam adalah menjadikannya sebagai sudut pandang utama dalam memandang berbagai persoalan sosial dan fenomena-fenomena yang terjadi di dunia ini. Hal ini karena Islam dengan kesempurnaan ajarannya dapat memperbaiki seluruh aspek kehidupan, dari pribadi, keluarga, tatanan masyarakat, hingga sebuah negara.

Pun, sebagai seorang muslim, sudah seharusnya kita bangga akan identitas kemusliman kita dengan menggunakan Islam sebagai sudut pandang dalam melihat dunia. Islam adalah cara kita memandang kehidupan, cara kita memandang kematian, cara kita memandang pencipta kehidupan dan kematian, dan cara kita memandang kehidupan setelah kematian. Islam is how we see the world!

Penulis: Misbahul

Editor: Teuku Zulman Sangga Buana

Tags : agamailmu duniamuslimsains

The author Redaksi Sahih

Leave a Response