close
Sumber Foto Ilustrasi: Pixabay

SAHIH.CO – Dalam dua pekan terakhir, saya sengaja melibatkan diri dalam dua momen salat jenazah, di mana satu di antaranya saya ikuti hingga akhir rangkaian prosesi pemakaman. Pengalaman tersebut, seperti membuka tirai ke dalam kehidupan dan kematian, meninggalkan jejak refleksi yang mendalam dalam relung hati saya.

Mati, seolah menjadi tanya tak terjawab yang merayapi setiap sudut keberadaan kita. Mengapa kita mati? Bagaimana kita menghadapi eksistensi setelah mati? Rangkaian pertanyaan ini membuka pintu menuju lorong-lorong pikiran yang memerlukan kontemplasi mendalam. Kemana kita akan pergi? Apa warisan yang akan kita tinggalkan? Sekeping pemikiran yang terus bergelayut di benak, merayu untuk dijawab.

Kematian seseorang bukan hanya sekadar akhir dari sebuah perjalanan, tetapi juga titik awal bagi kita untuk merenung tentang arti hidup kita sendiri. Namun, seringkali, momen introspeksi ini hanya bertahan sejenak. Setelahnya, kita kembali terperangkap dalam rutinitas yang mengharuskan kita berlomba mengejar ambisi dunia, dan tanpa sadar, kita melupakan kenyataan yang paling pasti—kematian, yang seringkali kita tinggalkan jauh di belakang.

Memikirkan kematian, bukan sebagai ketakutan, tetapi sebagai cermin ontologis tentang kehidupan, membuat kita menangkap keterikatan manusia dengan dimensi ruang dan waktu. Dengan menyadari bahwa kematian adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan ini, kita dapat menjalani hidup dengan lebih bermakna dan memahami bahwa setiap detik memiliki nilai yang tak ternilai.

Kehidupan manusia, dengan segala dinamikanya—kaya, miskin, sakit, sehat—tak dapat diprediksi. Namun, satu-satunya kepastian yang diyakini oleh setiap anak manusia adalah kematian. Meskipun datangnya seperti kejutan dan terbungkus dalam misteri, kita tidak bisa menghindarinya.

Saat pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang eksistensi diri, tujuan hidup, dan kehidupan setelah mati muncul, agama memberikan rujukan yang kokoh. Jawaban terdapat dalam kitab-kitab suci, melalui ajaran Nabi dan juga penjelasan cendekiawan terdahulu. Dengan memegang erat iman, pertanyaan-pertanyaan ontologis dapat dijawab dengan keyakinan, mengubah perspektif bahwa hidup bukanlah sesuatu yang absurd, melainkan sebuah perjalanan yang penuh makna.

Jadi, mari kita terus menjalani setiap aspek kehidupan dengan baik, menerima kematian sebagai bagian tak terpisahkan dari perjalanan kita, dan menjalani setiap detik dengan penuh arti. Karena dalam pemahaman ontologis tentang kehidupan, kita akan menemukan makna yang lebih dalam dan menjadikan setiap langkah sebagai bagian dari menuju kehidupan yang bermakna.

Penulis: Misbahul
Editor: Nauval Pally Taran

Tags : agamaislamkalamkematianmanusia

The author Redaksi Sahih