close
Opini

Hidup Sederhana ala Pahlawan

Foto: Freepik

Pada puncak pertempuran Surabaya 10 November puluhan tahun silam, Bung Tomo memekikkan takbir. Dia membangunkan semangat arek-arek Suroboyo untuk membeli kemerdekaan dengan darah mereka; tak sedikit darah yang tumpah, hitungan kasar menyebutkan bahwa nyaris 16.000 jiwa gugur.

Untuk mengenang hari-hari itu, 14 tahun kemudian, Soekarno menetapkan 10 November sebagai Hari Pahlawan, tetapi bukan hari libur. Penetapan tersebut kemudian diperingati setiap tahunnya dengan beragam cara.

Sebagai bangsa yang besar yang saban tahun makin terpuruk dalam oligarki dan korupsi, kita mungkin perlu mengingat lagi bahwa kita pernah punya negarawan luhur yang menaruh standar moral yang begitu tinggi dalam hidupnya untuk mengurus bangsa dan negara ini. Ada banyak nama dan cerita yang patut kita rujuk.

Hatta, misalnya, dia adalah patron yang amat ciamik dalam kesahajaan dan kesederhanaan, baik sebagai pribadi maupun pejabat negara. Lahir dari keluarga yang agamais dan serba berkecukupan justru membuat Hatta memilih jalan hidup yang minimalis, tak ada kosakata hedonis dalam kehidupannya. Bahkan hingga wafatnya, guntingan iklan sepatu bermerek Bally masih ada di dompetnya, tanpa sekalipun sepatu itu pernah dibeli.

Tak hanya bagi dirinya, ia juga bersikap ketat kepada keluarganya. Seperti pengakuan Meutia Hatta sendiri bahwa ia, Gemala, dan Halida dilarang untuk ikut menggunakan fasilitas negara. Pada kesempatan lain, ia juga menolak permohonan adiknya yang meminta dipasangkan telepon rumah. Padahal, saat itu ia sangat mampu untuk memberikan lebih dari sekadar telepon.

Hatta tak pernah memakan uang negara yang bukan haknya. Mantan Sekretaris Pribadi Hatta, I Wangsa Widjaja, bercerita bahwa Hatta selalu mengembalikan uang lebih anggaran rutin biaya rumah tangga Wakil Presiden.

Kesederhanaan Hatta makin jelas saat ia mundur dari jabatan Wakil Presiden, ia tak punya pemasukan, kecuali dari uang pensiun yang tidak besar jumlahnya, bahkan tidak cukup untuk membayar semua tagihan rumah. Untuk menutupi itu semua, Hatta mencari penghasilan lain lewat menulis dan mengajar.

Ali Sadikin pernah menuturkan bahwa pada saat ia menjabat Gubernur Jakarta (1966–1977) ia harus mencari akal karena khawatir bantuannya ditolak oleh Hatta. Alhasil, Hatta diberikan gelar “warga teladan” sehingga bebas biaya listrik.

Tidak jauh berbeda dengan Hatta, Natsir juga tercatat sebagai salah satu bapak bangsa yang amat bersahaja. Mantan Perdana Menteri ini tak sungkan untuk menambal sendiri baju lusuhnya yang telah koyak, atau langsung mengembalikan mobil dinas pada hari akhir jabatannya, demikian kenang Hasnah Faizah terhadap sosok ayahnya.

Kahin, seorang peneliti dari AS, juga memiliki kenangan khusus akan sosok Natsir ini. Waktu itu, ia bertemu dengan Natsir di Yogyakarta, saat Natsir masih menjabat Menteri Penerangan. Ia menuturkan tentang sosok Natsir, “Ia memakai kemeja bertambalan, sesuatu yang belum pernah aku lihat pada pegawai pemerintah mana pun.”

Setelah berhentinya Natsir dari dunia perpolitikan, ia tidak lantas berhenti bergerak, ia terus bermanfaat bagi umat hingga wafatnya. Ia tercatat pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Dakwah. Yusril yang saat itu adalah Sekretaris Natsir menyebutkan bahwa Natsir selalu ke kantor dengan pakaian yang itu-itu saja. Kalau bukan kemeja putih dengan noda tinta di bagian sakunya, ia mengenakan baju batik berwarna biru.

Kesederhanaan Natsir adalah kesederhanaan yang murni tanpa dibuat-buat, apalagi untuk suatu tujuan tertentu. Ia adalah satu di antara potret tokoh bangsa yang nasionalis-agamais. Agama yang tujuan utamanya adalah untuk menghidupsempurnakan manusia tampak teraplikasi dengan baik pada diri Natsir dan potret kesahajaan hidupnya.

Selain Natsir dan Hatta, penulis kira sosok Syafruddin Prawiranegara tak bisa tidak untuk disebutkan. Dia bahkan tidak memberitahukan kepada keluarganya rencana pemotongan uang atau yang masyhur dengan “gunting Syafruddin”. Walhasil, harta keluarganya juga ikut turun hingga separuh. Ia berkata, “Masa hanya rakyat saja yang kena.” Ia juga menolak bonus dari nasionalisasi perusahaan Belanda. Alasannya, ia sudah cukup menerima gaji dari negara.

Ada juga sosok Agus Salim, diplomat ulung Indonesia yang disegani kawan dan lawan. Hingga akhir hayatnya, ia bahkan tidak memiliki rumah sendiri, rumahnya masih ngontrak, jalan menuju rumahnya adalah langganan banjir saat musim hujan. Sebagai salah satu bapak bangsa, Agus Salim punya prinsip yang dipegang teguh, baginya memimpin itu adalah menderita; Leiden is lejden. Sjahrir lain lagi, dia pernah terpaksa menjual mesin jahitnya karena tidak ada uang belanja.

Ada banyak lagi para pendahulu bangsa ini yang hidupnya penuh dengan kesederhanaan. Cerita-ceritanya patut kita baca dan makin perlu dibawa-bawa, di tengah kehidupan bernegara yang kian terasa gersangnya, di tengah timbunan oligarki yang makin menambah kenestapaan.

Penulis: Misbahul

Editor: Nauval Pally Taran

Tags : hari pahlawanindonesianasionalismepahlawan

The author Redaksi Sahih

Leave a Response