close
Esai

Tanpa Minyak Sawit, Kita Terus Masak dan Mandi

Sumber Foto: Pixabay

Minggu pagi, ibu saya memarut beberapa buah daging kelapa [cocos nucifera]. Hasil parutan daging kelapa dijadikan santan. Santan dimasak menggunakan panci dengan api sedang. Tiga jam dimasak, ibu saya mulai mengambil minyak yang muncul di permukaan panci. Minyak diambilnya hingga tersisa galendo atau ampasnya. Saat makan siang, saya mencampurkan nasi dengan galendo.

Kenangan itu dari tahun 1978, ketika keluarga kami kesulitan membeli minyak goreng yang dibuat dari kopra atau kelapa kering. Selain harganya mahal, juga minyak goreng sulit didapatkan di pasaran, seperti halnya beras dan gula pasir.

Pertengahan tahun 1960-an hingga awal 1980-an di masa Orde Baru adalah masa suram bangsa Indonesia dalam memenuhi pangannya. Indonesia dikenal sebagai salah satu pengimpor beras terbesar di dunia. Baru tahun 1984, Indonesia mengeklaim mencapai swasembada pangan [beras].

Mungkin, tidak hanya ibu saya yang membuat minyak kelapa. Saya percaya, ada jutaan perempuan di Indonesia saat itu membuat minyak kelapa untuk kebutuhan keluarganya.

Ibu saya sangat hemat [pelit] menggunakan minyak kelapanya. Dia menggunakan sedikit minyak kelapa saat menumis sayuran atau sambal. Sementara ikan, daging, tempe atau tahu, lebih sering dibakar atau dimasak menggunakan kuah.

“Dari dulu kita menggunakan minyak kelapa. Saat kecil, ibu sering membantu nenekmu membuat minyak kelapa. Orang Belanda, orang Jepang, juga menggunakan minyak ini saat menjajah kita [Indonesia] dulu,” kata ibu saya.

Beberapa tahun kemudian di pasar tradisional ditemukan produk minyak goreng dari buah sawit. Harganya terjangkau, sehingga ibu saya tidak lagi membuat minyak goreng dari kelapa. Dia pun membeli minyak goreng dari buah sawit.

Saya meneruskan tradisi mengonsumsi minyak goreng dari sawit hingga hari ini.

Selama sebulan terakhir [2022], para ibu rumah tangga dan pedagang makanan di Indonesia “menjerit” dikarenakan langkanya minyak goreng [sawit]. Pemerintah terlihat kesulitan mengatasi kelangkaan minyak goreng ini. Akan tetapi, fakta ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia sangat membutuhkan minyak goreng.

Sejumlah kalangan menilai kelangkaan minyak goreng tidak masuk akal. Sebab, Indonesia memiliki kebun sawit sekitar 15,08 juta hektar [2021] dari luas daratan Indonesia sekitar 191 juta hektar. Yang memproduksi minyak sawit mentah atau CPO [crude palm oil] pada 2021 sebesar 46,88 juta ton.

Dalam sejumlah perjalanan ke beberapa dusun di Pulau Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, saya menemukan fakta, bahwa sebagian besar ibu rumah tangga dari masyarakat adat atau yang menetap di dusun, tidak “menjerit” kesusahan dengan kelangkaan minyak goreng [sawit].

“Kami di sini tidak pusing soal minyak goreng [sawit] dari toko itu. Kami buat minyak goreng sendiri. Dari dulu kami membuatnya,” kata Nek Ajam [65 tahun], warga Dusun Pejem, Desa Gunung Pelawan, Kabupaten Bangka, yang kemudian menunjuk sehamparan daging kelapa yang tengah dijemur atau dijadikan kopra.

“Caranya mudah, cincang daging kelapa kering itu hingga halus, lalu masak hingga mengeluarkan minyak. Dingin, ya, tinggal disaring,” jelas Nek Ajam.

Sebelumnya, saya juga melihat tradisi membuat minyak goreng dari kelapa, pada masyarakat [menetap di dusun] di Kabupaten Bangka, Bangka Barat, Bangka Tengah dan Bangka Selatan. Begitu pun pada masyarakat yang menetap di pesisir timur Sumatera, seperti di Sumatera Selatan dan Jambi.

Pada ruang hidup masyarakat yang masih memiliki tradisi membuat minyak goreng, dapat dipastikan dipenuhi tanaman pohon kelapa. Pohon kelapa tersebut, ditanam sebagai kebun, terhampar di pantai, atau tumbuh di sekitar rumah bersama tanaman lainnya.

Bahkan, sebagian warga menjadikan buah kelapa sebagai sumber ekonomi. Buah kelapa yang dijual, buah yang tua dan jatuh ke tanah.

Deep frying atau menggoreng bahan makanan yang terendam ke dalam minyak, merupakan teknik memasak yang membutuhkan banyak minyak goreng. Teknik ini dijelaskan dapat membuat masakan menjadi kering matang.

Dulu, teknik ini berkembang di Barat, yang dimulai dari menggoreng kentang, ayam, donat, yang saat ini banyak dijual sejumlah restoran siap saji. Selanjutnya, deep frying berkembang di Indonesia. Mulai dari pedagang gorengan hingga rumah makan atau restoran.

Dalam perkembangannya, teknik deep frying juga digunakan sejumlah keluarga di dunia, termasuk di Indonesia.

Jika menelisik ke belakang, sulit ditemukan menu masakan di Nusantara yang digoreng. Umumnya direbus, dikukus atau dipanggang. Meskipun dipengaruhi tradisi kuliner dari India dan Timur Tengah, penggunaan minyak sebatas dicampurkan pada masakan. Bukan digoreng.

Memang dalam perkembangan sejumlah masakan di Nusantara dikembangkan dengan teknik digoreng. Misalnya pempek, masakan khas Palembang, ini dulunya hanya direbus, dipanggang, atau berkuah, kini sudah banyak digoreng.

Dapat dikatakan teknik menggoreng ini dipengaruhi kuliner dari Barat, seperti masakan siap saji, serta membanjirnya minyak goreng di pasaran, seiring meluasnya perkebunan sawit sebagai bahan pembuatan minyak goreng.

Setiap rumah di Indonesia membutuhkan minyak goreng. Minyak goreng sudah menjadi kebutuhan pokok.

Asumsi saya, kelangkaan minyak goreng yang menyebabkan ibu-ibu “menjerit” merupakan sebuah pembuktian dari produsen atau pemilik kebun sawit, jika bangsa Indonesia tidak akan hidup tenang atau bahagia tanpa kebun sawit.

Mungkin, sejumlah ibu-ibu akan kembali “menjerit” jika sejumlah produk berbahan baku minyak sawit menjadi langka, misalnya sabun, sampo dan lipstik.

Di sisi lain, keberadaan kebun sawit di Indonesia terus bertambah. Jutaan hektar lahan pertanian dan hutan diubah menjadi kebun sawit. Bahkan dalam perkembangannya, sawit yang bukan tanaman asli Indonesia, meminta pengakuan sebagai tanaman hutan.

Syukur, Pemerintah Indonesia tidak mengakui sawit sebagai tanaman hutan. Jika sawit diakui sebagai tanaman hutan, maka akan banyak hutan di Indonesia yang ditumbuhi beragam tanaman menjadi kebun sawit, atau luasan hutan Indonesia bertambah karena kebun sawit diakui sebagai hutan.

Dari situasi ini, meskipun seluruh ibu rumah tangga di Indonesia “menjerit”, itu tidak menggugurkan fakta jika perkebunan sawit di Indonesia memiliki banyak persoalan, baik terkait lingkungan, perburuhan, plasma, hingga konflik lahan dengan masyarakat.

Ada baiknya masyarakat di Indonesia berpikir untuk menggali pengetahuan lokal dan kembali mempraktikkannya, sehingga hidupnya tidak lagi bergantung pada produk industri, terutama pangan, yang saat ini masih dijaga berbagai masyarakat adat di Indonesia.

Saya percaya, tanpa minyak sawit, bangsa Indonesia masih bisa masak dan mandi.

Penulis: Taufik Wijaya
Ia adalah seorang jurnalis, sastrawan, dan pekerja teater yang menetap di Palembang, Sumatera Selatan.

Editor: Nauval Pally Taran

Sumber: Mongabay

Tags : indonesiakulinerminyakminyak gorengnusantarasawit

The author Redaksi Sahih