close
EsaiResonansi

Apa yang Harus Seorang Muslim Pikirkan tentang Larangan Media Sosial terhadap Andrew Tate?

Sumber: Muslimskeptic

Tanpa hidayah dan bimbingan yang baik, perjuangan untuk menentukan jalan tengah sangatlah berat. Selain beberapa orang terpilih, kebanyakan manusia gagal dalam tugas yang sulit ini. Dan mereka yang entah bagaimana berhasil melakukannya, hanya melakukannya berkat rahmat Allah.

Oleh karena itu, umat Islam harus sangat waspada dan menahan diri untuk tidak menjadikan non-muslim sebagai panutan mereka.

Bahkan meskipun beberapa orang kafir yang memiliki beberapa nilai yang benar itu langka, mereka juga menyembunyikan kekurangan berbahaya yang mungkin tidak terlihat. Faktanya adalah, tidak ada orang waras yang tidak percaya kepada Allah. Sayangnya, banyak muslim menjadi korban krisis representasi yang saat ini menimpa dunia Islam, dan mereka akhirnya mengambil sesembahan palsu sebagai teladan.

Kebiasaan buruk ini perlu dihilangkan. Kita perlu memiliki standar tertinggi untuk komunitas kita.

Sayangnya, sebagian (kecil) dari umat baru-baru ini menyokong orang kafir “sesat tapi baik” sebagai favorit baru mereka, Andrew Tate (juara kickboxing Rumania).

Beberapa influencer muslim bergegas untuk menunjukkan dukungan mereka kepadanya karena dia dilarang dari Youtube, Facebook, dan Instagram karena dugaan pidato kebenciannya.

Andrew Tate mendapatkan ketenaran online-nya karena pernyataan kontroversialnya tentang wanita, Islam, dan maskulinitas. Dia adalah yang terbaru dalam deretan kepribadian yang sangat mengesankan beberapa pemuda umat Islam. Orang lainnya termasuk orang-orang seperti Jordan Peterson dan Kevin Samuels.

Sepanjang dekade terakhir ini, gerakan Pil Merah telah mencapai banyak pengaruh atas subkelompok dari komunitas muslim. Feminisme telah menimbulkan banyak kebencian dalam diri laki-laki muda dan kadang-kadang bahkan perempuan. Influencer Pil Merah menemukan titik lemah ini dan memanfaatkannya untuk menyebarkan ide-ide mereka. Karena para influencer Pil Merah ini menganut berbagai nilai tradisional dan maskulinitas yang waras, banyak muslim yang secara tidak sadar berasumsi bahwa gerakan Pil Merah mirip dengan Islam, dan mereka hanya mengikuti tren.

Tidak ada ideologi buatan manusia yang sempurna, dan bahkan jika Pil Merah memang tumpang tindih dengan Islam, ia juga memiliki perbedaan signifikan yang harus disorot.

Beberapa orang telah menunjukkan masalah dalam kepribadian Andrew Tate. Saajid Lipham, dalam sebuah video, menyoroti perbedaan mencolok antara sifat arogan Tate dan maskulinitas ideal dari perspektif Islam. Mahdi Tidjani, dalam sebuah podcast, menarik perhatian pada promosi pergaulan bebas dan “pembebasan seksual” Tate.

Bagi saya, saya ingin mencela masalah signifikan lain yang merajalela dalam gerakan Pil Merah dan sesuatu yang masih ditemukan dalam wacana Andrew Tate: penolakan mereka terhadap gynosentrism sementara mereka sendiri adalah gynocentrists (para pelaku gynosentrism).

Para pemimpin gerakan Pil Merah mendefinisikan gynocentrism sebagai menjadikan tuntutan perempuan sebagai titik fokus dan kompas moral masyarakat. Masyarakat pasca-feminis modern sangat berputar di sekitar keinginan perempuan. Simp (julukan pria yang terlalu perhatian dan tunduk pada Wanita untuk mendapatkan perhatian/aktivitas seksual dari mereka) modern memandang perempuan sebagai makhluk yang memiliki hak istimewa alami untuk hidup sesuka mereka.

Influencer Pil Merah berhak melawan ini dan, sekali lagi, potret baru dilemparkan untuk pecundang besar modernitas: pria rata rata.

Namun, kesesatan para pemberi pengaruh Pil Merah ini menghalangi penglihatan mereka, dan mereka menjadi buta terhadap jenis gynocentrism lain, dan dengan demikian mereka menjadi korban kejahatannya. Lebih jauh lagi, bentuk gynocentrism kedua ini mungkin lebih merusak karena sifatnya yang berbahaya.

Mereka menempatkan kemauan perempuan sebagai inti dari filosofi baru mereka, dan ini kemudian menjadi kompas moral baru mereka. Mereka tidak lagi menggunakan kebutuhan perempuan sebagai dasar “pedoman” mereka. Sebaliknya, fokus utama kehidupan mereka sekarang menjadi apa yang menarik perhatian wanita.

Dengan demikian, tujuan akhir dari gerakan Pil Merah adalah menjadi pria yang bernilai tinggi, yaitu pria yang menarik di mata wanita.

Bagaimana ini berbeda dengan gynocentrism yang mereka kecam?

Perempuan berada di pusat kehidupan mereka di kedua skenario.

Apakah kita ditakdirkan untuk menjadi budak wanita sementara hanya memiliki pilihan apakah perbudakan ini dalam hal melayani kehendak mereka atau keinginan mereka?

Mereka ingin tampil seolah-olah mereka semacam “chad” (laki-laki super maskulin) independen yang bisa hidup tanpa wanita, tapi ini sangat jauh dari kenyataan. Mereka umumnya masih terobsesi dengan wanita, dan kebanyakan dari mereka akan gagal total dalam mencoba menjalani hidup mereka tanpa wanita.

Satu-satunya perbedaan antara mereka dan simp adalah bahwa simp secara emosional bergantung pada satu wanita (istri atau pacar), sedangkan “chads” Pil Merah memandang wanita secara individu yang dapat diganti tetapi mereka bergantung pada wanita secara keseluruhan.

Ini adalah Gynosentrism

Dan ini adalah kecacatan signifikan dalam seluruh pandangan mereka tentang maskulinitas.

Bersyukur atas Tuhan bahwa ada pilihan ketiga, dan sekarang saya mengundang semua orang Pil Merah untuk segera menerimanya tanpa penundaan. Ini adalah jalan yang diambil oleh orang-orang paling luar biasa dalam sejarah.

Para pahlawan ini mengakui kebesaran Allah. Mereka tunduk kepada-Nya dan menjadikan-Nya titik fokus kehidupan, cinta, nilai, dan penyembahan mereka. Tidak ada yang lain, tidak lebih.

Jalan ini disebut Tauhid (monetiesme murni), dan tidak ada agama yang menyerunya kecuali Islam.


Catatan:
Istilah Pil Merah diambil dari Film The Matrix, pil merah digunakan untuk sadar akan kenyataan, di artikel ini, maksudnya adalah para wanita yang mendesak kedudukan pria harus diberikan pil merah agar mereka sadar akan posisi mereka sebenarnya)

Penulis: Hud Lesprit

Penerjemah: Muhajir Julizar
Editor: Arif Rinaldi

Sumber: Muslim Skeptic

The author Redaksi Sahih