close
EsaiResonansi

Merespons Argumen Ateis: Lebih Baik Aku Tak Ada

Sumber Foto: iStock

Bagaimana seharusnya kita memahami ketika orang berkata, “Hidup ini terlalu keras. Saya berharap Tuhan bahkan tidak menciptakan saya. Tuhan salah karena menciptakan saya tanpa persetujuan saya!”

Ada dua mode utama penalaran etis: konsekuensialis dan deontologis.

Penalaran konsekuensialis berfokus pada menimbang manfaat vs. kerugian.

Penalaran deontologis berfokus pada kebaikan atau keburukan yang melekat pada sesuatu, terlepas dari manfaat atau bahaya yang ada.

Contoh penalaran konsekuensialis: Penggunaan pestisida secara etis diperlukan untuk melawan hama karena, jika hama tidak ditangani, mereka akan menyebabkan kerugian besar bagi manusia.

Contoh penalaran deontologis: Secara etis perlu untuk jujur dengan teman-teman saya meskipun itu dapat membuat hidup saya lebih sulit dalam kasus-kasus tertentu. Ini karena berbohong untuk menipu teman pada dasarnya salah, terlepas dari keuntungan pribadi apa pun bagi saya.

Masalah dengan mereka yang mengeluh tentang kesulitan hidup dan berharap kesulitan tidak ada adalah karena mereka hanya menggunakan penalaran konsekuensialis. Mereka menilai hidup hanya berdasarkan manfaat dan kerugian (biasanya dari variasi fisik).

Namun ini tidak terlarang, hanya saja mereka harusnya juga mempertimbangkan bahwa kehidupan di bumi memiliki nilai yang melekat yang tidak dapat direduksi menjadi sekadar soal manfaat dan kerugian fisik.

Pengalaman mengalami, misalnya, adalah sesuatu yang tak ternilai harganya. Pengalaman kesenangan, kebahagiaan, dll., jelas berharga. Akan tetapi, mengalami rasa sakit juga merupakan sesuatu yang berharga. Pria yang mengalami rasa sakit ketika dia bekerja keras untuk keluarganya, wanita yang mengalami rasa sakit saat melahirkan, prajurit yang mengalami rasa sakit saat dia berjuang untuk tujuan yang lebih mulia, kepedihan orang tua yang kehilangan anak, semua rasa sakit ini memiliki makna dan, oleh karena itu, penting dan, oleh karena itu, secara inheren berharga.

Secara ilmiah, penalaran materialis sepenuhnya mengabaikan gagasan nilai yang melekat dan hanya berkutat dalam soal kerugian konsekuensialis vs perhitungan manfaat. Inilah sebabnya mengapa orang-orang di negara-negara sekuler yang telah dicuci otak dengan materialisme makin tidak melihat nilai kehidupan dan berharap bahwa mereka tidak pernah ada.

Baca juga: Ateisme Tidak Selaras dengan Metode Ilmiah: Wawancara Bersama Fisikawan Teoretis Pemenang Templeton Prize

Ini sebenarnya adalah disfungsi mental karena pikiran manusia secara alami menemukan nilai dalam kehidupan dan manusia secara alami melarikan diri dari kematian.

Jadi intinya, sekularisme menciptakan disfungsi mental dalam populasi, di mana orang tidak hanya tidak percaya pada Tuhan, mereka juga tidak percaya pada nilai keberadaan mereka sendiri.

Islam, di sisi lain, menyeimbangkan penalaran konsekuensialis dan deontologis dalam sistem etika holistik. Kaum muslim bersyukur atas karunia keberadaan dan mengarahkan rasa syukur mereka semata-mata kepada Pencipta mereka dengan harapan dapat mendekatkan diri kepada-Nya.


Penulis:
Daniel Haqiqatjou

Penerjemah: Muhajir Julizar
Editor:
Nauval Pally Taran

Sumber: Muslim Skeptic

Tags : agamaateismeimankehidupankemanusiaantuhan

The author Redaksi Sahih