close
Kabar Nasional

Aturan Speaker Masjid Disinggung Kembali dalam Ijtimak Ulama, Ini Aturannya

Foto: Pixabay

Ijtimak Ulama seluruh Komisi Fatwa MUI se-Indonesia menghasilkan dua belas poin kesepakatan mengenai persoalan keumatan dan kebangsaan dalam perspektif keagamaan. Dari dua belas poin tersebut, turut disinggung mekanisme penggunaan speaker masjid.

Ketua Komisi Fatwa MUI, Asrorun Niam Soleh, menjelaskan ketentuan lengkap mengenai mekanisme penggunaan pengeras suara di masjid dan musala. “Menggunakan pengeras suara untuk aktivitas ibadah yang memiliki dimensi syiar sehingga membutuhkan media untuk penyiaran, termasuk azan,” kata Niam.

Lalu, Bagaimana Aturan Penggunaan Speaker Masjid di Indonesia Saat Ini?

Dirjen Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kemenag membedakan penggunaan speaker masjid di lingkungan perkotaan  dan di perdesaan. Hal ini karena kedua lingkungan memiliki karakteristik sosial yang berbeda.

Panduan mengenai penggunaan speaker masjid tertuang dalam Instruksi Dirjen Bimas Islam No. 101/1978 tentang Tuntutan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar dan Musala. Pada 2018, saat Menag masih dijabat oleh Lukman Hakim Saifuddin, dilakukan sosialisasi tuntunan tersebut berdasarkan SE Dirjen Bimas Islam No. B.3940/DJ.III/HK tahun 2018. Namun, sifatnya tuntunan maka tidak ada sanksi yang mengikat.

Pedoman Speaker Masjid

Instruksi berisi tuntunan itu dikeluarkan dengan sejumlah pertimbangan, yaitu:

  1. Bahwa penggunaan pengeras suara oleh masjid/langgar/musala telah menyebar sedemikian rupa di seluruh Indonesia untuk azan, ikamah, membaca ayat Al-Quran, membaca doa, peringatan hari besar Islam, dan lain-lain.
  2. Bahwa meluasnya penggunaan pengeras suara tersebut selain menimbulkan kegairahan beragama dan menambah syiar kehidupan keagamaan, juga sekaligus pada sebagian lingkungan masyarakat telah menimbulkan ekses-ekses rasa tidak simpati disebabkan pemakaiannya yang kurang memenuhi syarat.
  3. Bahwa agar penggunaan pengeras suara oleh masjid/langgar/musala lebih mencapai sasaran dan menimbulkan daya tarik untuk beribadah kepada Allah Swt., dianggap perlu mengeluarkan tuntunan tentang penggunaan pengeras suara oleh masjid/langgar/musala untuk dipedomani oleh pengurus masjid/langgar musala di seluruh Indonesia.

Syarat Penggunaan Pengeras Suara

Dalam lampiran Instruksi poin D, dijelaskan syarat-syarat penggunaan pengeras suara, yaitu:

  1. Perawatan pengeras suara oleh seorang yang terampil dan bukan yang mencoba-coba atau masih belajar. Dengan demikian, tidak ada suara-suara bising, berdengung, yang dapat menimbulkan antipati dan anggapan tidak teraturnya suatu masjid, langgar, atau musala.
  2. Mereka yang menggunakan pengeras suara (muazin, pembaca Al-Qur’an, imam salat, dll.) hendaknya memiliki suara yang fasih, merdu, enak, tidak cemplang, sumbang, atau terlalu kecil. Hal ini untuk menghindari anggapan orang luar tentang tidak tertibnya suatu masjid dan bahkan jauh dari menimbulkan rasa cinta dan simpati yang mendengar, selain menjengkelkan.
  3. Dipenuhinya syarat-syarat yang ditentukan syarak, seperti tidak bolehnya terlalu meninggikan suara doa, zikir, dan salat. Hal ini karena pelanggaran hal-hal seperti itu bukan menimbulkan simpati, melainkan keheranan bahwa umat beragama sendiri tidak menataati ajaran agamanya.
  4. Dipenuhinya syarat-syarat orang yang mendengar berada dalam keadaan siap untuk mendengarnya. Bukan dalam waktu tidur, istirahat, sedang beribadah, atau melakukan upacara. Dengan keadaan demikian (kecuali panggilan azan), tidak akan menimbulkan kecintaan orang bahkan sebaliknya. Berbeda dengan di kampung-kampung yang kesibukan masyarakat masih terbatas. Maka dari itu, suara-suara keagamaan dari dalam masjid, langgar, dan musala, selain berarti seruan takwa, juga dapat dianggap hiburan mengisi kesepian sekitar.
  5. Dari tuntunan Nabi, suara azan sebagai tanda masuknya salat memang harus ditinggikan. Karena itu, penggunaan pengeras suara untuknya adalah tidak dapat diperdebatkan. Yang perlu diperhatikan adalah agar suara muazin tidak sumbang dan sebaliknya, yaitu enak, merdu, dan syahdu.

Hal-Hal yang Harus Dihindari

  1. Mengetuk-ngetuk pengeras suara.
  2. Berkata-kata, seperti percobaan-percobaan, satu-dua, dsb..
  3. Berbatuk atau mendeham melalui pengeras suara.
  4. Membiarkan suara kaset sampai lewat dari yang dimaksud atau memutar kaset (Al-Qur’an, ceramah) yang sudah tidak betul suaranya.
  5. Membiarkan pengeras suara digunakan oleh anak-anak untuk bercerita macam-macam.
  6. Menggunakan pengeras suara untuk memanggil-manggil nama seseorang atau mengajak bangun (di luar panggilan azan).

Pengeras Suara di Kampung

  1. Pada umumnya, ketentuan yang ketat ini berlaku untuk kota-kota besar, yaitu ibu kota negara, ibu kota provinsi, dan ibu kota kabupaten/kotamadya. Di tempat-tempat tersebut, penduduk beraneka agama dan kebangsaan, beraneka warna dalam jam kerja, dan beraneka keperluan bekerja tenang di rumah, dan lain-lain.
  2. Untuk masjid, langgar, dan musala di desa/kampung, pemakainnya dapat lebih longgar untuk memperhatikan tanggapan dan reaksi masyarakat, kecuali hal-hal yang dilarang syarak.

 

Editor: Teuku Zulman Sangga Buana

 

Sumber: Kumparan

Tags : fatwa ulamaindonesiamasjidmuispeaker masjid

The author Redaksi Sahih

Leave a Response