close
Politik & Hukum

OTT Berlaku bagi Siapa Saja Termasuk Aparat Penegak Hukum

Sumber Foto: Pixabay

Jerat hukum berlaku bagi siapa pun yang diduga kuat melakukan kejahatan korupsi. Salah satunya adalah melalui tindakan Operasi Tangkap Tangan (OTT), termasuk bagi aparat penegak hukum yang diduga melakukan korupsi ataupun kejahatan/tindak pidana lain. Intinya, penegakan hukum berlaku bagi siapa pun, tak terkecuali terhadap aparat penegak hukum.

“Tidak ada pengecualian kedudukan jabatan dalam hukum, siapa pun bisa di-OTT. Tindakan OTT dimaknai sebagai represi kejahatan dan rule of law model,” ujar Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Azmi Syahputra kepada Hukumonline, Senin, 22 November 2021. Pernyataan ini menanggapi pandangan Anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan yang sempat mewacanakan agar aparat penegak hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim tidak layak dilakukan OTT dalam kasus dugaan korupsi.

Penegakan hukum tak memandang suku, agama, pangkat, dan jabatan. Azmi mengingatkan prinsip setiap warga negara sama di depan hukum tanpa diskriminasi atau equality before the law sudah tersebut dengan tegas dalam konstitusi. Asas hukum tersebut menegaskan bahwa tak ada seorang pun yang kebal hukum, termasuk polisi, jaksa, atau hakim sekalipun. “Sepanjang seseorang, sekalipun aparat/pejabat hukum bila melakukan perbuatan yang melanggar hukum atau turut membantu tindak pidana dan diancam pidana tetap harus dimintai pertanggungjawabannya,” kata dia.

Makna frasa “tertangkap tangan” telah diatur Pasal 1 angka 19 KUHAP yang menyebutkan, “Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu”.

Terdapat empat keadaan terhadap seseorang yang masuk kategori tertangkap tangan. Pertama, tertangkapnya seseorang saat sedang melakukan tindak pidana. Kedua, tertangkapnya seseorang setelah beberapa saat melakukan tindak pidana. Ketiga, tertangkapnya seseorang sesaat kemudian diserukan khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya. Keempat, sesaat kemudian terhadap orang yang melakukan tindak pidana ditemukan benda yang ditengarai kuat digunakan untuk melakukan tindak pidana.

“Ini berlaku bagi siapa pun yang tertangkap tangan saat melakukan tindak pidana atau sesaat kemudian ditemukan alat bukti yang diduga keras telah digunakan untuk melakukan tindak pidana,” lanjutnya.

Menurut Azmi, tindakan OTT masih diperlukan sebagai model penanggulangan kejahatan/tindak pidana yang memberikan mekanisme lebih mudah dalam penerapannya. Bahkan, dalam hukum pidana, kejahatan yang dilakukan aparat penegak hukum sanksinya diperberat. “Jadi, bila ada wacana bagi aparat hukum tidak bisa di-OTT dengan alasan sebagai pejabat simbol negara, ini harus dihindari,” katanya.

Secara terpisah Nurul Ghufron, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron menilai pandangan aparat penegak hukum, seperti kepolisian, jaksa dan hakim tak perlu dilakukan OTT, bertentangan dengan Pasal 11 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Pasal 11 ayat (1) huruf a menyebutkan, “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi yang: a. melibatkan aparat penegak hukum, Penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau Penyelenggara Negara; dan/atau b. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

“Makanya, menjadi tak logis bila aparat penegak hukum maupun penyelenggara negara yang ditengarai melakukan tindak pidana korupsi tidak di-OTT,” kata Ghufron.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi III Ahmad Sahroni berpendapat aparat penegak hukum yang melakukan korupsi atau kejahatan lain tak boleh diberikan perlakuan khusus karena asas equality before the law berlaku bagi siapa pun. Bahkan, hukuman bagi aparat penegak hukum yang terbukti melakukan korupsi diganjar hukuman yang diperberat.

“Jangankan penegak hukum, petinggi negara saja tidak ada yang kebal hukum. Karena itu, saya tidak setuju dengan pernyataan itu, siapa pun itu kalau korupsi ya ditangkap bagaimanapun metodenya, termasuk OTT,” ujarnya sebagaimana dikutip dari Antara.

“Tidak ada agenda, apalagi pembahasan mengenai jaksa, polisi, hakim yang tidak bisa di-OTT. Itu hanya pandangan pribadi, tidak ada kaitannya dengan Komisi III DPR,” tambah Sahroni.

Sebelumnya, Anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan sempat melontarkan wacana agar aparat penegak hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim tidak layak dijerat dengan OTT dalam kasus dugaan korupsi. Dia beralasan aparat penegak hukum dinilai sebagai simbol negara. Sontak saja, Sahroni menilai pernyataan Arteria Dahlan tidak mengatasnamakan Komisi III.

 

Sumber: Hukumonline

Tags : hukumkorupsiOTTpenegak hukum

The author Redaksi Sahih

Leave a Response