close
Kabar Nasional

Biaya Degradasi Lingkungan yang Harus Dibayar Mahal

Sumber Foto: Pixabay

SAHIH.CO – Menggenjot pertumbuhan ekonomi saja tanpa memedulikan dan mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan, kerap menjadi bumerang bagi pencapaian-pencapaian ekonomi itu sendiri. Bank Dunia memproyeksikan kerugian ekonomi Indonesia akibat perubahan iklim dapat mencapai 2,5–7% dari produk domestik bruto (PDB) pada 2100, beriringan dengan meningkatnya biaya lingkungan dan kesehatan.

Viktor Pirmana dalam sebuah studinya yang berjudul “Environmental costs assessment for improved environmental-economic account for Indonesia” menganalisis tentang seberapa mahalnya dampak degradasi ingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas ekonomi Indonesia pada 2010 silam. Meski terpaut cukup lama, data-data ini masih sangat relevan dengan kondisi saat ini.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, sebagaimana dilansir dari theconversation.com, total biaya lingkungan di Indonesia pada 2010 mencapai Rp915,11 triliun atau setara dengan 13% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada tahun yang sama. Angka ini tentu cukup besar, jauh melampaui dua kali lipat anggaran pembangunan infrastruktur Indonesia pada 2021.

Rincian dari total biaya lingkungan yang besarannya mencapai Rp915,11 triliun tersebut ialah sebagai berikut: biaya degradasi lingkungan akibat polusi udara 38%, biaya yang diakibatkan oleh menipisnya sumber daya alam tidak terbarukan (sumber daya mineral) 55%, dan biaya karena dekadensi sumber daya hutan 6,7%. Sebagai catatan, pada kenyataannya biaya dari degradasi lingkungan bisa lebih besar lagi. Hal ini karena penelitian tersebut belum menghitung biaya lingkungan akibat polusi air dan timbunan sampah.

Penelitian tersebut juga menelaah sepuluh sektor dengan kontribusi biaya lingkungan terbesar akibat udara yang tercemar, yaitu (1) listrik; (2) industri besi dan baja (termasuk pengolahannya); (3) pertambangan batu bara, lignit, dan ekstraksi gambut; (4) transportasi laut dan pesisir pantai; (5) budi daya padi sawah; (6) industri produk karet dan plastik; (7) peternakan dan hasilnya; (8) industri semen, kapur, dan plester; (9) industri pupuk; dan (10) konstruksi.

Sepuluh sektor di atas berkontribusi terhadap sekitar 73% dari total biaya kerusakan lingkungan Indonesia. Sektor listrik merupakan sektor dengan biaya lingkungan dari polusi udara tertinggi, yakni sekitar Rp47,86 triliun atau 13,74% dari total nilai biaya degradasi lingkungan. Hal tersebut masuk akal karena pada 2010, 84% bauran energi untuk pembangkitan listrik Indonesia masih berasal dari energi fosil. Rinciannya, sekitar 40% dari batu bara, 24% dari bahan bakar minyak serta 40% dari gas bumi.

Namun ironisnya, alih-alih berubah atau menunjukkan reaksi ke arah yang lebih baik, pada satu dekade setelahnya, angka bauran energi tersebut malah tidak juga menunjukkan penurunan. Per 2020, sekitar 85% bauran energi untuk pembangkitan listrik nasional masih berasal dari energi fosil (tidak terbarukan).

Pencemar udara yang paling bertanggung jawab atas rusaknya udara Indonesia, antara lain, sulfur dioksida (SOx) sebesar 21,4%, nitrogen oksida (Nox) sebesar 16,4%, CO2 sebesar 13,6%, dan CH4 (gas metana) sebear 10,4%. Keempat pencemar ini diketahui terlepas akibat pembakaran sumber energi fosil.

Seterusnya, kontributor pencemaran udara lainnya adalah amonia (NH3), timbal (Pb), nitrogen, serta partikel pencemar lainnya, seperti TSP (total suspended particulate), partikel partikulat (PM) berukuran 10 mikron atau PM10, dan PM2,5. Sepuluh jenis pencemar udara tersebut bertanggung jawab terhadap 93,7% dari total biaya degradasi lingkungan akibat pencemaran udara di Indonesia.

Penulis: M. Haris Syahputra
Editor: Teuku Zulman Sangga Buana

Tags : bisnisekonomiindonesialingkungan

The author Redaksi Sahih